Selasa, 08 Juli 2008

Ketika Hukum (Tidak) Setimpal

Oleh: Heri Priyatmoko


Hari Senin hingga Sabtu, KRHT Darmadipuro alias Mbah Hadi duduk santai di belakang Museum Radya Pustaka ditemani stafnya, Jarwadi. Profesi sebagai ahli pawukon cukup untuk menghidupi keluarganya, begitu pula Jarwadi. Tamu duduk berderet antre kepingin diramal dan diruwat oleh mantan wasit tersebut.

Daun kalender menunjuk pertengahan bulan November 2007, kompleks Taman Sriwedari gempar. Mbah Hadi dan dua anak buahnya tidak bisa duduk tenang melayani tamu. Kriminalitas pada arca klasik museum yang rapi mereka kubur selama dua tahun (2006-2007) terkuak. Kelima arca asli yang digondol dan diganti dengan arca palsu antara lain, arca Syiwa laku Rp 35 juta, Durgamahisasura mardini tangan dua terjual Rp 80 juta, Durgamahasasura mardini tangan delapan dijual Rp 200 juta, Agastya laku 90 juta, dan Mahakala Rp 100 juta (Joglosemar, 20/11/07). Mereka konspirasi dengan Heru Suryanto, broker atau pialang tenar yang malang-melintang sebagai agen benda antik.

Mbah Hadi memang bukan Hardjonagoro (Go Tik Swan) yang rajin menggelar aktivitas kebudayaan di dalam museum ketika menjabat ketua. Sebelum “tongkat estafet” diserahkan kepada Mbah Hadi, Hardjonagoro banting tulang menghidupkan museum. Seperti dituturkan dalam karya Rustopo “Jawa Sejati” (Ombak, 2008), Hardjonagoro merenovasi bangunan museum atas bantuan dana dari Ditjen Kebudayaan, menyelenggarakan lomba penulisan tentang museum yang diikuti para siswa SLTA di Surakarta, dan ikut pameran antarmuseum di luar negeri. Ia juga menjalin hubungan dengan Cornel University untuk pembuatan microfilm buku-buku kuno koleksi Radya Pustaka dan menerbitkan buku.

Mbah Hadi memang tidak mempunyai basic ilmu permuseuman. Bagi Mbah Hadi, arca adalah barang yang menggiurkan untuk dibisniskan. Pikirannya tidak bulat ke upaya pelestarian, logis dia tega mengutak-atik barang titipan leluhur dari zaman Hindu tersebut.

Jika berkaca kepada negara tetangga, Thailand, di mana pemerintah dan masyarakat bahu-membahu melestarikan dan menyelamatkan warisan nenek moyang, pantaslah kita malu. Sekitar akhir dekade 1980-an, warga di Thailand berkampanye dengan mengenakan kaus bertulisan: Stolen from Thailand, memperjuangkan kembalinya (hanya) sebuah relief Dewa Wisnu berbaring di atas naga yang berasal dari ambang pintu Candi Phnom Rung (abad XI-XIII Masehi). Setelah dua puluh tahun relief mendekam di salah satu museum di AS, akhirnya relief kembali berkat perjuangan pemerintah dan rakyat yang tidak kenal putus asa. Sedangkan museum kita yang katanya tempat aman menyimpan peninggalan purbakala, justru berubah bak toko antik. Ada transaksi penjualan, sungguh ironis.

Seandainya KRA Sosroningrat IV sebagai pendiri museum (28 Oktober 1890) masih hidup, mungkin ia akan menangis. Lima koleksi arca langka di museum tertua kedua di Nusantara sebagai salah satu masterpiece kebudayaan Indonesia kuno tega-teganya dijahili. Museum yang lampau bernama Paheman Radyapustaka itu sengaja beliau dirikan untuk lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang menyediakan sumber atau bahan pembelajaran dan riset. Setelah kasus memalukan di bekas rumah seorang Belanda bernama Johannes Buselaar itu terungkap, bertanda bahwa (saya mengutip pernyataan Hardjonagoro), ”Museum Radya Pustaka telah tamat”.

Vonis Hakim

Meski beberapa bulan meringkuk di bui menunggu sidang, Mbah Hadi tetap fasih bertutur soal pawukon saat majelis hakim menjatuhkan vonis berupa hukuman penjara selama satu tahun enam bulan. “Senin wage itu punya watak lakune geni, wasesa segara” (bersikap berani dan berlapang dada), begitulah ujar kakek berumur 60 tahun lebih. Dengan hukuman ini, Mbah Hadi lapang dada menerimanya. Lantas, bagaimana penilaian publik atas vonis itu?

Mari kita tengok regulasi tentang Undang-undang Benda Cagar Budaya (BCB). Benda-benda kuno di seluruh Indonesia termasuk dalam kategori BCB. Menurut UU BCB Tahun 1992 (sebagai perbaikan dari Undang-Undang Kepurbakalaan 1931), semua BCB dikuasai oleh negara (Pasal 4 ayat 1). Namun, bukan berarti perorangan atau individu tidak boleh memiliki benda kuno. Pasal 6 ayat 1 mengatakan, BCB tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam regulasi ini. Salah satu syaratnya adalah BCB ini dimiliki atau dikuasai secara turun-temurun atau merupakan warisan (Pasal 6 ayat 2a) serta jumlah untuk setiap jenisnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh negara (Pasal 6 ayat 2b).

Selain itu, menurut Pasal 15 ayat 2b, tanpa izin dari pemerintah, setiap orang dilarang memperdagangkan atau memperjualbelikan BCB. Regulasi itu juga memuat tentang ketentuan pidana bagi para pelanggar, yakni pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100 juta. Sesungguhnya, terdapat berbagai jenis kejahatan terhadap peninggalan masa lampau. Yang tergolong ”ringan” adalah pencurian, penyelundupan, dan penyingkiran. Sementara yang tergolong ”berat” adalah penggalian liar, pengrusakan, dan penggusuran. Dikatakan ”ringan” karena benda-bendanya masih ada, hanya berpindah tangan (kepemilikan). Sebaliknya yang berkategori berat, benda-bendanya sudah dalam keadaan rusak atau bahkan sudah hilang/musnah sama sekali (Djulianto Susantio, 2008)

Palu pengadilan digedok. Mbah Hadi bersama Heru Suryanto hanya diganjar 18 bulan. Sementara Jarwadi dan Gatot 14 bulan penjara. Bila ditimbang adil dengan perbuatan mereka, sungguh suatu hukuman yang tidak setimpal. Betapa tidak, vonis tersebut telah menyadarkan bahwa kita belum memiliki pemahaman mengenai UU BCB. Sependapat dengan arkeolog UGM, Daud Aris Tanudirdjo, semuanya baru diukur dari nilai ekonomi dari penjualan arca, bukan dari nilai historisnya. Jadi, proses hukum ini belum mampu menjadi pembelajaran yang baik bagi masyarakat.

Sangat relevan kalau publik menyatakan kecewa terhadap keputusan hakim. Fenomena ini bakal menjadi tertawaan orang akibat ketidakpekaan hakim terhadap bagaimana menghargai produk budaya yang bernilai sejarah. Sebetulnya skandal yang dilakukan Mbah Hadi dan rekan-rekannya merupakan pelanggaran kelas berat. Pasalnya, kerugian yang dialami bukan saja material, namun menyangkut keilmuan dan moral. Ada upaya penghilangan, pemalsuan hingga pembohongan publik, bahwa yang dipajang dan diterangkan kepada pengunjung museum adalah benda palsu. Mbah Hadi cs di museum telah memainkan lakon (saya meminjam istilah sejarawan Solo Soedarmono dalam artikelnya yang menantang di Suara Merdeka) ”rampokan museum”. Dengan demikian, aparatur hukum tampaknya kurang bersemangat mendukung upaya perlindungan dan merawat benda purbakala yang ada di Indonesia.

Dimuat di Joglosemar 3 Juli 2008

Tidak ada komentar: