Jumat, 25 Juli 2008

Nostalgia dan Utopia Kota Solo

Oleh: Bandung Mawardi.

Joko Widodo dalam suatu wawancara di harian nasional pada awal 2008 mengatakan bahwa dia ingin membantu mengubah Solo menjadi kota yang berkarakter. Keinginan itu ingin direalisasikan dengan menjadikan Solo sebagai kota dengan identitas budaya yang memiliki karakter. Joko Widodo sebagai wali kota Solo berusaha membuktikan hal itu dengan kebijakan-kebijakan dan ancangan program. Pemerintah kota Solo telah melakukan revitalisasi pasar tradisional, revitalisasi Balekambang, penataan PKL, tamanisasi, pembangunan city walk, dan pelaksaan pelbagai festival seni budaya yang menunjukkan keseriusan untuk membangun Kota Solo dengan kebijakan-kebijakan yang populis dan kultural.
Keinginan pemerintah kota menjadikan Solo sebagai kota yang berkarakter dan memiliki identitas budaya perlu memperhatikan pelbagai fakta sebagai pertimbangan untuk penentuan kebijakan. Marco Kusumawijaya (2004) seorang pengamat masalah kota mengatakan bahwa identitas kota yang berkarakter bukan sesuatu yang bisa sekadarnya. Identitas kota harus terus-menerus dibentuk, diaktualisasi, dan diperkuat secara fungsi, artistik, dan kultural. Identitas kota bukan sesuatu yang dicari-cari, melainkan harus berdasarkan fakta atau “bahan” yang ada secara historis dan empiris.
Kota Solo sebenaranya memiliki fakta historis dan empiris. Kota Solo dalam sejarah merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa dan secara empiris Kota Solo adalah kota yang masih memiliki akar dan nilai-nilai tradisi yang kuat dalam pertumbuhan sebagai kota modern. Kota Solo mungkin untuk menjadi kota yang berkarakter dan memiliki identitas sebagai kota budaya jika kebijakan-kebijakan pemerintah kota sadar atas pertimbangan budaya. Pemerintah kota harus menyadari untuk tidak mengambil kebijakan yang hanya berpihak pada kepentingan ekonomi dan invenstasi yang sering merugikan aspek kebudayaan dan kepentingan publik.
Gagasan Joko Widodo dalam konsep membangun Kota Solo layak diapresiasi secara positif dan optimis. Gagasan itu adalah “Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu”. Gagasan itu mengandung komitmen bahwa kota Solo ingin menjadi kota yang dinamis dalam perubahan zaman tanpa harus meninggalkan sejarah. Fakta sejarah menjadi dasar penting untuk menentukan kota sebagai kota yang berkarakter dan memiliki identitas budaya.
Kebijakan pemerintah kota untuk menguatkan keinginan menjadikan Solo sebagai kota budaya adalah pemunculan visi dan slogan “Solo Kotaku, Jawa Budayaku” dalam peringatan HUT Kota Solo yang ke-262 pada 17 Februari 2008. Kebijakan yang mengundang polemik adalah pengesahan dan pemberlakuan penggunaan aksara Jawa untuk papan nama kantor pemerintahan, sekolah, dan pusat perbelanjaan. Kebijakan itu sebenarnya ingin menegaskan niat pemerintah kota untuk mempertahankan dan melestarikan budaya Jawa secara populis.
Kota Solo yang terus berubah dalam pembangunan fisik sering menimbulkan kekhawatiran jika tidak diimbangi dengan pembangunan nilai atau mentalitas kebudayaan. Solo termasuk kota yang mengalami perubahan cepat sebagai kota modern dengan adanya bangunan dan fasilitas-fasilitas modern. Beberapa mall, hotel, sekolah internasional, pusat hiburan, dan lain-lain telah berdiri di Kota Solo yang ikut memberi pengaruh dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Kota Solo. Rencana pendirian beberapa apartemen di Kota Solo juga akan memberi pegaruh besar secara positif dan negatif. Pemerintah kota diharapkan menyadari efek dan cara mengimbangi pemebangunan kota secara fisik.
Pembangunan mentalitas kota Solo untuk menjadi kota budaya tentu membutuhkan partsisipasi aktif dari berbagai pihak dan tidak saja tergantung pada pemerintah kota. Partisipasi yang bisa diberikan oleh masyarakat adalah kesadaran untuk mentransformasikan visi “Solo Kotaku, Jawa Budayaku”. Kesadaran itu tentu akan memberi pengaruh besar dalam pembentukan Solo sebagai kota budaya. Visi itu hendaknya bukan sekadar slogan tapi kesadaran bersama yang dibuktikan dengan pelbagai bentuk dan cara.
Perhatian pemerintah kota dan partisipasi masyarakat Kota Solo adalah kunci dari keinginan menjadikan Solo sebagai kota budaya. Keinginan itu harus bisa dibuktikan dan tidak sekadar dibayangkan. Pembuktian itu memang berat dan butuh kerja keras dan kebersamaan anatar pemerintah dan masyarakat. Membayangkan itu mungkin menyenangkan tapi bisa terjebak dengan masa lalu dan lengah untuk menghadapi masa depan. Solo sebagai kota budaya bukanlah hanya dalam bayangan masa lalu tapi harus dibuktikan mulai sekarang untuk menentukan masa depan. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (24 Juli 2oo8)

Tidak ada komentar: