Minggu, 20 Juli 2008

DILEMA GERAKAN ISLAM


Oleh Yunanto Sutyastomo

Membaca kembali Gerakan Islam di Indonesia adalah membaca perjalanan sebuah gerakan dengan basis massa yang besar. Perjalanan ini tentu saja mengalami pasang surut tersendiri. Tak dapat dipungkuri bahwa Gerakan Islam memiliki peran yang besar di Indonesia.

Sejarah pergerakan di Indonesia tidak bisa lepas dari Gerakan Islam. Demikian juga kehadiran tokoh-tokoh nasional dari awal pergerakan hingga kini tidak pernah lepas dari andil Gerakan Islam. Soekarno, Agus Salim, Gus Dur atau Syafii Maarif adalah sedikit contoh tokoh-tokoh yang lahir dari Gerakan Islam. Saat ini pun kita mengenal NU dan Muhammadiyah sebagai Ormas Islam yang berkontribusi membangun Indonesia.

Kini setelah sekian tahun Gerakan Islam muncul di Indonesia, apa yang masih dilakukan ? warna Gerakan Islam kini sepertinya terbagi dalam dua perspektif. Yang cukup menjadi fenomena saat ini adalah kemunculan kelompok Gerakan Islam yang bersifat simbolik. Di sisi lain muncul kelompok yang membawa warna Gerakan Islam yang subtantif. Dua warna gerakan ini membuat Gerakan Islam di Indonesia mengalami dinamika tersendiri.

Mereka yang mewakili kelompok simbolik mempercayai bahwa manifestasi dari sebuah gerakan muncul dalam hal-hal yang sifatnya simbolik. Ini bisa dilihat dari pemikiran, simbol-simbol yang ada atau aktifitas yang mereka lakukan. Seolah ingin menunjukkan bahwa gerakan ini sebagai sebuah gerakan yang Islami, maka kemuculannya harus mudah ditandai.

Berbada dengan gerakan yang simbolik, maka kelompok yang mengangkat pentingnya pendalaman dalam gerakan , mencoba untuk tidak terjebak dalam segala hal bersifat simbolik. Kelompok ini biasanya hanya sedikit orang, tetapi mereka memiliki kekuatan pada kualitas individu.

Apa yang kemudian jadi persoalan dari dua gerakan tersebut ? Kita dapat menarik pada kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini dan keadaan dunia secara global. Mereka yang berada dalam kelompok simbolik menjadi gagap mengatasi persoalan sosial, sebab utamanya adalah mereka hanya melihat masyarakat pada permukaannya saja, ini sesuai sifat gerakan tersebut, pemikiran bahwa persoalan sosial hanya bisa diselesaikan dengan cara-cara yang pragmatis sangatlah tidak tepat saat ini. Simbol yang mereka bawa tidak memiliki kemampuan untuk menjangkau lebih dalam persoalan saat ini.

Sementara itu gerakan yang mementingkan subtantif mengalami kendala untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas. Ini terjadi semata-mata gerakan ini tidaklah populis, tidak bersifat taktis. Padahal masyarakat luas tidak cukup mampu memahami gerakan subtantif. Yang terjadi pada Jaringan Islam Liberal, Jaringan Inteletual Muda Muhammadiyah adalah salah satu contoh mengapa hal ini terjadi.

Jaringan Islam Liberal (JIL) yang rata-rata berisi anak-anak muda NU bahkan mengalami kesulitan untuk berdialog dengan orang-orang di NU. Demikian juga Jaringan Inteletual Muda Muhammadiyah yang mendapat tentangan terkait kehadirannya di Muhammadiyah. Tapi Gerakan Islam Subtantif ini memiliki kelebihan pada wacana. Mereka memiliki kemampuan untuk menganalisa persoalan secara lebih cerdas. Dan sebenarnya memiliki pemikiran solutif untuk persoalan kebangsaan secara lebih luas.

Sementara itu masyarakat kita tidak pernah terbiasa dengan dialektika yang telah lama mati. Mereka hanya bisa menerima berbagai hal yang sifatnya pragmatik semata. Maka dengan mudahnya segala sesuatu yang simbolik menjadi pilihan utama. Sebenarnya simbol tidak akan menjadi persoalan kalau memiliki fungsi yang jelas. Ketika yang simbolik kemudian bersifat normatif, maka akan menimbulkan persoalan di masyarakat.

Kebenaran yang hakiki dilihat semata-mata dari kemampuan kita untuk tetap menjunjung simbol. Sementara itu simbol tadi bersifat sesaat atau hanya bersifat kontekstual semata. Ini kita bisa lihat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, semakin banyak masyarakat yang tenggelam dalam nilai-nilai simbolik semata. Padahal kehidupan memiliki tantangan yang tidak hanya dijawab oleh nilai simbolik.

Gerakan Islam Simbolik memang memiliki berbagai kelebihan dibanding dengan Gerakan Islam Subtantif. Tapi realitas sosial masyarakat kita membutuhkan kerja keras untuk mendalaminya, dan membutuhkan strategi yang cukup cerdas untuk menghadapinya. Wacana tentang Islam yang kini cenderung didominasi gerakan simbolik bisa menjadi bumerang.

Maka sudah saatnya Gerakan Islam Simbolik masuk pada ruang publik. Dengan berada di ruang publik, mereka berpartisipasi lebih dari sekarang. Ruang publik memang bersifat terbuka, dan itu bukan tanpa resiko. Dalam ruang publik kita harus siap dengan perbedaan, dan mungkin saja hal itu memiliki pengaruh pada gerakan. Tetapi ruang publik akan mendewasakan sebuah gerakan, menjadikan gerakan lebih cerdas untuk berjuang. Sejarah membuktikan bahwa Islam adalah salah satu agama yang mampu beradaptasi dengan ruang publik. Tapi kini ruang publik sudah berubah sesuai dengan kondisi jamannya. Maka Gerakan Islam Simbolik haruslah berperan dengan cara-cara yang bisa diterima secara terbuka oleh partisipan ruang publik.

Kegagalan dalam ruang publik setidaknya menjadikan Gerakan Islam Simbolik tidak memiliki peran diluar dirinya. Dan itu bisa berakibat munculnya sifat rendah diri, dan akhirnya melahirkan gerakan yang sifatnya reaksioner semata.

1 komentar:

endy saputro mengatakan...

wah tulisannya bagus, tapi saya belum mengerti yang dimaksud gerakan Islam Simbolik dan gerakan Islam Substantif itu apa ya?