oleh Heri Priyatmoko
Beberapa waktu lalu Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) menjadi sorotan media lokal. Tim evaluasi dan pembinaan dari berbagai elemen ”menyerbu” TSTJ. Seperti yang diberitakan Joglosemar pada bulan Desember 2008, tim itu terdiri dari unsur Ditjen Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam (PHKA) Departemen Kehutanan (Dephut), Dirjen Bina Pembangunan Daerah (Bangda) Depdagri, dan Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia (PKBSI). Mereka sidak ke TSTJ lantaran kondisi taman satwa beserta isinya dikabarkan memprihatinkan dan pengelola TSTJ yang ”tak jelas”.
Namun demikian, Dephut masih memberi hati dengan tidak menarik koleksi satwa TSTJ. Tapi, pihaknya menuntut keseriusan Pemkot Surakarta dalam mengelola Taman Jurug. Sementara itu, Walikota Solo Joko Widodo menargetkan revisi Perda Taman Jurug akan selesai dua hingga tiga bulan ke depan. Agar usaha tersebut tepat sasaran, Jokowi meminta pendampingan PKBSI, termasuk pantauan terkait kondisi satwa.
Memang beberapa tahun terakhir, taman yang berlokasi di tepi Bengawan Solo ini merana tak terpelihara dan terabaikan. Pada hari Minggu maupun hari libur lainnya tempat ini sepi peminat, dan hanya berjubel saat acara larungan Joko Tingkir. Sesudahnya kembali lengang. Dalam riwayatnya, Taman Jurug yang resmi berdiri tahun 1983 tersebut bermula dari dipindahkannya beberapa koleksi satwa yang ada di Kebon Rojo (Sriwedari) karena keberadaannya tidak lagi memadai di tengah kota. Namun, jauh sebelum itu, lokasi ini sudah ramai dipakai kawula dalem dan rakyat cilik bercengkerama. Mereka menggelar tikar menikmati semilirnya angin dan keteduhan rimbun pepohonan sehingga melahirkan ketentraman lahir dan batin. Bahkan, maestro keroncong Gesang kerab berkunjung untuk mencari inspirasi menciptakan lagu (Heri Priyatmoko, 2008).
Kebun binatang, menurut definisi ICOM (International Council of Museums) atau Dewan Museum Internasional, merupakan salah satu bagian dari museum. Sebagai museum, kebun binatang menjadi objek pendidikan sekaligus objek wisata yang bisa diandalkan (Djulianto Susantio, 2003). Sebagai objek yang rekreatif-edukatif, keberadaan TSTJ sudah mampu menghibur masyarakat. Areal di TSTJ memang luas dan banyak pepohonan yang rindang. Ini bikin pengunjung betah untuk berlama-lama di sini. Makan siang bersama di atas tikar, dinaungi teduhnya pepohonan dan semilirnya angin. Sayangnya, bila dipandang dari aspek pariwisata, TSTJ belum memiliki kelas yang berkualitas.
Kandang-kandang hewan sangat memprihatinkan, terkesan kotor dan kurang terawat. Ada gajah di TSTJ yang hamil, tetapi kondisi kandangnya tidak ideal. Gajah itu tidak punya tempat berkubang yang ideal. Masih banyak satwa dengan kondisi serupa. Padahal, menurut Koordinator Bidang Humas dan Hubungan Antarlembaga PKBSI Singky Soewadji, dua tahun lalu pernah ia minta dibangun lubang untuk buang kotoran, namun belum terlaksana jua. Singky pun tak percaya kalau pengelola TSTJ memberi makan singa dan macan, yaitu empat kilogram daging dalam sehari. Jika benar sesuai takaran itu, macan dan singa tentunya sangat gemuk (Radar Solo, 25 Desember 2008).
Masyarakat tidak usah heran kalau manajemen TSTJ kurang baik. Pasalnya, organisasi TSTJ bentuknya tidak jelas. Taman satwa ini secara struktur tidak masuk dalam SOTK (Susunan Organisasi Tata Kerja), dan ironisnya juga bukan perusahaan murni. Imbasnya, membuat TSTJ terseok-seok kesulitan untuk mendapatkan suntikan dana atau anggaran yang dibutuhkan dalam pengembangan kebun binatang.
Langkah Konkret
Sebagai salah satu taman margasatwa besar di Indonesia, TSTJ bukan hanya tempat memamerkan segala jenis satwa. TSTJ berfungsi menangkarkan satwa-satwa langka pula. Lagi pula mengingat Kota Solo yang panas dan rawan banjir, adanya TSTJ yang di dalamnya ditumbuhi pepohonan besar, sungguh membantu mengurangi polusi kota dan penyerap air.
Sepinya pengunjung domestik di TSTJ, bukan berarti mutlak akibat dari pengelolaannya yang amburadul. Ada berbagai fasilitas dan langkah yang sekiranya kurang diperhatikan pengelola TSTJ. Untuk turut serta menggairahkan Solo sebagai kota wisata, terdapat beberapa langkah konkret yang semestinya ditempuh pengelola TSTJ.
Pertama, TSTJ sebaiknya dikelola langsung oleh Pemkot dan bekerjasama dengan pihak swasta. Sebab berbagai upaya pembenahan memerlukan banyak biaya, TSTJ perlu melakukan terobosan. Nantinya diharapkan TSTJ dikelola secara profesional oleh orang-orang yang mengerti akan bidangnya. Kedua, memperbarui kandang. Kandang dibuat semirip mungkin dengan habitat aslinya. Oleh karena itu, pembuatan hutan buatan harus dikerjakan secara bersama-sama oleh seniman, teknolog, dan ilmuwan. Setiap kandang monyet, misalnya, dibuatkan pohon berikut fasilitas permainan (ban mobil, tali). Kemudian pada bagian depan kandang ditutupi kaca agar pengunjung tak bisa mengganggu hewan. Kandang mesti dibikin sejajar dengan penglihatan agar pengunjung tidak perlu bersusah payah melongok ke bawah mencari-cari suatu hewan.
Ketiga, mengembangkan atraksi hewan. Perlu ditambah dengan atraksi saat memberi makan hewan. Saban atraksi dengan jadwal yang tidak bersamaan. Keempat, menghidupkan bagian bimbingan atau edukasi. Kegiatan untuk anak-anak dan pelajar disediakan dan dibimbing tenaga profesional agar kegiatan lebih rekreatif dan edukatif. Kelima, TSTJ dituntut memiliki tenaga SDM yang andal. Setidaknya diisi oleh orang-orang yang mempunyai mimpi memajukan TSTJ, keuletan menjual TSTJ, keluwesan mempromosikan TSTJ, dan kreativitas dalam melebarkan sayap TSTJ. Keenam, menambah koleksi satwa. Misalnya, pinguin, gorila, dan beruang kutub.
Bila langkah konkret ini dilaksanakan, bukan tidak mungkin dapat mengembalikan pamor TSTJ. Dan, TSTJ akan menjadi salah satu primadona pariwisata di Kota Bengawan. Selain sebagai sarana wisata pendidikan, kebun binatang juga digunakan untuk tempat menumbuhkan kecintaan manusia pada satwa. Harapan kita bersama ialah penataan pengelolaan TSTJ segera mungkin tercapai, sebab selama ini objek pariwisata TSTJ ibarat raksasa yang masih tertidur dan harus segera dibangunkan.
(Dimuat di Joglosemar pada 10-01-2009)
Jumat, 16 Januari 2009
Selasa, 13 Januari 2009
Doa dan Puisi
Bandung Mawardi
Puisi dan doa adalah urusan estetika dan religiositas. Puisi dan doa lahir dengan bahasa. Kata-kata memiliki peran dan kekuatan yang dikonstruksi untuk representasi atau realisasi. Puisi adalah konstruksi kata yang memiliki konvensi-konvensi estetika untuk mencapai sublimasi. Doa adalah konstruksi kata dengan konvensi-konvensi religius untuk mengucapkan dan mengungkapkan seruan, keluhan, pengharapan, dan kemauan. Doa dan puisi terus lahir dengan rahasia kata dan rahasia makna. Annemarie Schimmel (1996) menjelaskan bahwa doa adalah inti agama (lex orandi lex credendi). Doa adalah suatu pengorbanan kata.
Tradisi sufistik memiliki catatan panjang untuk kelahiran dan pewarisan doa-puisi yang mempertemukan dan meleburkan estetika religius. Kaum sufi melantunkan kata-kata yang merepresentasikan kehidupan rohani. Kata-kata itu adalah doa dan puisi yang mengantarkan manusia pada komunikasi religius dengan Tuhan. Tradisi sufi mewariskan puisi-puisi Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Ibnu ‘Atha’illah, Fakhruddin Iraqi, Rabi’ah, Fariduddin Attar, Hafidz, dan lain-lain.
Doa-puisi Jalaluddin Rumi adalah salah satu puncak manifestasi estetika religius. Schimmel membaca dan menafsirkan Rumi untuk menemukan rumusan doa dalam tradisi sufi yang memiliki keunikan dibandingkan dengan pemahaman mayoritas. Rumi diakui sebagai seorang pendoa yang fasih melantunkan puisi-puisi dengan arahan pencapaian rahasia kata dan makna untuk sampai pada pengetahuan Tuhan. Rumi mengucapkan: “Aku telah begitu banyak berdoa sehingga aku berubah menjadi doa. Setiap orang yang melihatku meminta doa dariku.” Rumi melahirkan sekian puisi dan doa yang mengantarkan manusia dalam jalan sufi. Rumi menjelma doa. Rumi adalah doa-doa yang diucapkan berabad-abad lamanya di pelbagai negeri.
Bahasa dalam doa-puisi memiliki batasan-batasan dan kemungkinan-kemungkinan makna. Bahasa manusia dikonstruksi untuk kepentingan komunikasi yang mengarah pada pelbagai ekspresi, sistem, dan mekanisme. Bahasa dalam pengertian agama mengacu pada sumber atau asal: Tuhan. Bahasa yang diolah dan dimengerti manusia dimungkinkan menjadi medium komunikasi karena kata memiliki kekuatan representasi dan realisasi. Rumi memahami kata-kata dalam kemungkinan religius untuk pengungkapan cinta pada Tuhan. Kata-kata tak sekadar materi tapi substansi yang kompleks.
Doa ada dengan basis dan orientasi ibadah. Doa adalah tindakan untuk menghadirkan hubungan manusia dengan Tuhan. Hazrat Inayat Khan (2000) menjelaskan bahwa doa bisa dimengerti dalam tiga jenis pemikiran: (1) Doa adalah rasa terima kasih kepada Tuhan; (2) Doa adalah pemujaan dari keberadaan Tuhan melalui keindahan alam; (3) Doa untuk nama dan kebenaran Tuhan.
Rumi dalam Masnawi mengabarkan bahwa doa adalah manifestasi ibadah hamba pada Tuhan. Doa merupakan ajaran-ajaran hidup yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis. Doa puisi kaum sufi adalah pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan diajarkan Nabi. Rumi mengingatkan manusia pada Hadis Nabi: “Tiada doa yang sempurna tanpa kesiapan hati.” Doa adalah persoalan iman, cinta, dan rindu pada Tuhan yang dimanifestasikan dalam bahasa.
Doa-puisi yang dilantunkan Rabi’ah menjadi babak penting dalam tradisi sufi yang memuja cinta dalam kehendak intim dan bertemu Tuhan. Rabi’ah kerap dikisahkan mengucapka doa pada malam hari. Rabiah beradad di atap rumahnya dengan mengenakan baju tidur. Inilah doa puisi indah Rabiah: “Ya Allah, Ilahi Rabbi, tampak di atas sana bintang-bintang gemerlap cahayanya. Tiap pasang mata telah terlelap tidurnya. Raja-raja telah menutup rapat pintu gerbang-gerbangnya. Tiap kekasih sedang asyik dengan yang dicintanya. Sedang aku sendiri berdua bersama-Mu.” Doa puisi Rabi’ah mengandung arti percakapan cinta dengan Tuhan. Doa itu representasi dan realisasi cinta.
Doa-puisi panjang dilantunkan Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Al-Hikam. Ibnu ‘Atha’illah melakukan munajat dalam doa-puisi yang kontemplatif. Kitab Al-Hikam bukan sekadar risalah tasawuf tapi manifestasi teks estetika religius. Ibnu “Atha’ilah melantunkan doa-puisi: “Tuhanku, kapan saja dosa-dosaku membungkamku, maka kemurahan-Mu membuatku berbicara, dan kapan saja sifat-sifatku membuatku putus asa, maka karunia-Mu memberiku setitik harapan.” Ibnu ‘Atha’illah hidup dalam tradisi doa dengan perspektif makrifat. Pada masa itu doa adalah perkara penting yang dipelajari dan diamalkan oleh kaum sufi dengan acuan ayat-ayat al-Qur’an.
Doa-puisi adalah manifestasi pemikiran, perasaan, renungan dalam bahasa. Doa-puisi kaum sufi merepresentasikan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi religius dan estetis memerlukan pengolahan untuk mencapai puncak kenikmatan bahasa dan keintiman. Bahasa menjadi perkara yang menentukan nilai dan pamrih yang dikehendaki dalam doa-puisi. Pemahaman terhadap kaidah dan metafisika bahasa adalah ikhtiar memakai bahasa sebagai alat ekspresi dan realisasi manusia.
Doa-puisi hadir dalam kondisi manusia yang rindu dan menginginkan suatu pembahasaan dan komunikasi. Kata-kata ada dalam konstruksi yang ingin menampung dan memungkinkan makna sebagai nilai yang sakral dan estetis. Doa-puisi adalah realisasi yang ingin lepas dari kekangan (tirani) bahasa konvensional tanpa harus melakukan reduksi terhadap laku ajaran agama. Bahasa dalam penguasaan individual menjadi suatu ekspresi yang membuka kemungkinan-kemungkinan pesan dan makna. Doa-puisi kaum sufi menjadi warisan yang dilantunkan dan dipahami dalam konteks estetika religius. Kitab dan risalah yang mengekalkan ekspresi sufi menemukan pewaris yang menerima sebagai teks untuk mengungkapkan diri dalam interpretasi dan pemahaman yang beragam.
Doa-doa dalam kitab suci menjadi basis religius yang menemukan derivasi dan tafsiran-tafsiran berbeda oleh kaum sufi. Doa dalam bahasa menemukan ekspresi dalam kompetensi dan kesadaran estetika religius. Kehadiran doa puisi dari kaum puisi tidak menempati posisi yang menandingi doa-doa dalam kitab suci. Doa puisi itu adalah manifestasi yang ingin menembus kekakuan konvensi bahasa dan dogma.
Penjelasan dan tafsir keberadaan doa didedahkan oleh penyair-filosof Mohammad Iqbal. Doa menjadi prolog dalam puisi panjang Javid Nama. Iqbal mengisahkan manusia dalam pemahaman religius dan visi-visi yang imajinatif-puitis. Doa adalah pembebasan dan ikhtiar mencapai pengetahuan menuju Tuhan. Doa-puisi Mohammad Iqbal menjadi manifestasi yang memberi kesadaran religiusitas atas lakon manusia.
Iqbal menulis: “Dalam kepedihan kuarungi kehidupan. Kini aku berdoa agar terbebas dari kegamangan.” Doa adalah realisasi yang positif dan konstruktif untuk laku hidup manusia yang dihadapkan pada realitas-realitas dunia. Doa mengantarkan manusia untuk mengenali dan intim dengan Tuhan. Doa adalah ekspresi estetika religius untuk pencerahan. Begitu.
Dimuat di Pikiran Rakyat (1o Januari 2oo9)
Puisi dan doa adalah urusan estetika dan religiositas. Puisi dan doa lahir dengan bahasa. Kata-kata memiliki peran dan kekuatan yang dikonstruksi untuk representasi atau realisasi. Puisi adalah konstruksi kata yang memiliki konvensi-konvensi estetika untuk mencapai sublimasi. Doa adalah konstruksi kata dengan konvensi-konvensi religius untuk mengucapkan dan mengungkapkan seruan, keluhan, pengharapan, dan kemauan. Doa dan puisi terus lahir dengan rahasia kata dan rahasia makna. Annemarie Schimmel (1996) menjelaskan bahwa doa adalah inti agama (lex orandi lex credendi). Doa adalah suatu pengorbanan kata.
Tradisi sufistik memiliki catatan panjang untuk kelahiran dan pewarisan doa-puisi yang mempertemukan dan meleburkan estetika religius. Kaum sufi melantunkan kata-kata yang merepresentasikan kehidupan rohani. Kata-kata itu adalah doa dan puisi yang mengantarkan manusia pada komunikasi religius dengan Tuhan. Tradisi sufi mewariskan puisi-puisi Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Ibnu ‘Atha’illah, Fakhruddin Iraqi, Rabi’ah, Fariduddin Attar, Hafidz, dan lain-lain.
Doa-puisi Jalaluddin Rumi adalah salah satu puncak manifestasi estetika religius. Schimmel membaca dan menafsirkan Rumi untuk menemukan rumusan doa dalam tradisi sufi yang memiliki keunikan dibandingkan dengan pemahaman mayoritas. Rumi diakui sebagai seorang pendoa yang fasih melantunkan puisi-puisi dengan arahan pencapaian rahasia kata dan makna untuk sampai pada pengetahuan Tuhan. Rumi mengucapkan: “Aku telah begitu banyak berdoa sehingga aku berubah menjadi doa. Setiap orang yang melihatku meminta doa dariku.” Rumi melahirkan sekian puisi dan doa yang mengantarkan manusia dalam jalan sufi. Rumi menjelma doa. Rumi adalah doa-doa yang diucapkan berabad-abad lamanya di pelbagai negeri.
Bahasa dalam doa-puisi memiliki batasan-batasan dan kemungkinan-kemungkinan makna. Bahasa manusia dikonstruksi untuk kepentingan komunikasi yang mengarah pada pelbagai ekspresi, sistem, dan mekanisme. Bahasa dalam pengertian agama mengacu pada sumber atau asal: Tuhan. Bahasa yang diolah dan dimengerti manusia dimungkinkan menjadi medium komunikasi karena kata memiliki kekuatan representasi dan realisasi. Rumi memahami kata-kata dalam kemungkinan religius untuk pengungkapan cinta pada Tuhan. Kata-kata tak sekadar materi tapi substansi yang kompleks.
Doa ada dengan basis dan orientasi ibadah. Doa adalah tindakan untuk menghadirkan hubungan manusia dengan Tuhan. Hazrat Inayat Khan (2000) menjelaskan bahwa doa bisa dimengerti dalam tiga jenis pemikiran: (1) Doa adalah rasa terima kasih kepada Tuhan; (2) Doa adalah pemujaan dari keberadaan Tuhan melalui keindahan alam; (3) Doa untuk nama dan kebenaran Tuhan.
Rumi dalam Masnawi mengabarkan bahwa doa adalah manifestasi ibadah hamba pada Tuhan. Doa merupakan ajaran-ajaran hidup yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis. Doa puisi kaum sufi adalah pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan diajarkan Nabi. Rumi mengingatkan manusia pada Hadis Nabi: “Tiada doa yang sempurna tanpa kesiapan hati.” Doa adalah persoalan iman, cinta, dan rindu pada Tuhan yang dimanifestasikan dalam bahasa.
Doa-puisi yang dilantunkan Rabi’ah menjadi babak penting dalam tradisi sufi yang memuja cinta dalam kehendak intim dan bertemu Tuhan. Rabi’ah kerap dikisahkan mengucapka doa pada malam hari. Rabiah beradad di atap rumahnya dengan mengenakan baju tidur. Inilah doa puisi indah Rabiah: “Ya Allah, Ilahi Rabbi, tampak di atas sana bintang-bintang gemerlap cahayanya. Tiap pasang mata telah terlelap tidurnya. Raja-raja telah menutup rapat pintu gerbang-gerbangnya. Tiap kekasih sedang asyik dengan yang dicintanya. Sedang aku sendiri berdua bersama-Mu.” Doa puisi Rabi’ah mengandung arti percakapan cinta dengan Tuhan. Doa itu representasi dan realisasi cinta.
Doa-puisi panjang dilantunkan Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Al-Hikam. Ibnu ‘Atha’illah melakukan munajat dalam doa-puisi yang kontemplatif. Kitab Al-Hikam bukan sekadar risalah tasawuf tapi manifestasi teks estetika religius. Ibnu “Atha’ilah melantunkan doa-puisi: “Tuhanku, kapan saja dosa-dosaku membungkamku, maka kemurahan-Mu membuatku berbicara, dan kapan saja sifat-sifatku membuatku putus asa, maka karunia-Mu memberiku setitik harapan.” Ibnu ‘Atha’illah hidup dalam tradisi doa dengan perspektif makrifat. Pada masa itu doa adalah perkara penting yang dipelajari dan diamalkan oleh kaum sufi dengan acuan ayat-ayat al-Qur’an.
Doa-puisi adalah manifestasi pemikiran, perasaan, renungan dalam bahasa. Doa-puisi kaum sufi merepresentasikan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi religius dan estetis memerlukan pengolahan untuk mencapai puncak kenikmatan bahasa dan keintiman. Bahasa menjadi perkara yang menentukan nilai dan pamrih yang dikehendaki dalam doa-puisi. Pemahaman terhadap kaidah dan metafisika bahasa adalah ikhtiar memakai bahasa sebagai alat ekspresi dan realisasi manusia.
Doa-puisi hadir dalam kondisi manusia yang rindu dan menginginkan suatu pembahasaan dan komunikasi. Kata-kata ada dalam konstruksi yang ingin menampung dan memungkinkan makna sebagai nilai yang sakral dan estetis. Doa-puisi adalah realisasi yang ingin lepas dari kekangan (tirani) bahasa konvensional tanpa harus melakukan reduksi terhadap laku ajaran agama. Bahasa dalam penguasaan individual menjadi suatu ekspresi yang membuka kemungkinan-kemungkinan pesan dan makna. Doa-puisi kaum sufi menjadi warisan yang dilantunkan dan dipahami dalam konteks estetika religius. Kitab dan risalah yang mengekalkan ekspresi sufi menemukan pewaris yang menerima sebagai teks untuk mengungkapkan diri dalam interpretasi dan pemahaman yang beragam.
Doa-doa dalam kitab suci menjadi basis religius yang menemukan derivasi dan tafsiran-tafsiran berbeda oleh kaum sufi. Doa dalam bahasa menemukan ekspresi dalam kompetensi dan kesadaran estetika religius. Kehadiran doa puisi dari kaum puisi tidak menempati posisi yang menandingi doa-doa dalam kitab suci. Doa puisi itu adalah manifestasi yang ingin menembus kekakuan konvensi bahasa dan dogma.
Penjelasan dan tafsir keberadaan doa didedahkan oleh penyair-filosof Mohammad Iqbal. Doa menjadi prolog dalam puisi panjang Javid Nama. Iqbal mengisahkan manusia dalam pemahaman religius dan visi-visi yang imajinatif-puitis. Doa adalah pembebasan dan ikhtiar mencapai pengetahuan menuju Tuhan. Doa-puisi Mohammad Iqbal menjadi manifestasi yang memberi kesadaran religiusitas atas lakon manusia.
Iqbal menulis: “Dalam kepedihan kuarungi kehidupan. Kini aku berdoa agar terbebas dari kegamangan.” Doa adalah realisasi yang positif dan konstruktif untuk laku hidup manusia yang dihadapkan pada realitas-realitas dunia. Doa mengantarkan manusia untuk mengenali dan intim dengan Tuhan. Doa adalah ekspresi estetika religius untuk pencerahan. Begitu.
Dimuat di Pikiran Rakyat (1o Januari 2oo9)
Kamis, 08 Januari 2009
Jurus Menulis Esai
Bandung Mawardi
Tradisi menulis esai di Indonesia memiliki jejak panjang sejak tahun 1930-an. Majalah Pujangga Baru memiliki ruang besar untuk tradisi penulisan esai dengan pelbagai fokus: bahasa, sastra, seni, kebudayaan, pendidikan, sosial, dan filsafat. Esai pada saat itu adalah tulisan bebas dengan acuan pengamatan, pembacaan, penafsiran, penilaian sesuai pandangan pengarang yang cenderung subjektif.
Penulis-penulis esai di Indonesia memiliki karakter, keunikan, dan ciri pluralistik. Penulis-penulis esai mumpuni di Indonesia antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Iwan Simatupang, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, Ariel Heryanto, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Arief Budiman, Ignas Kleden, Afrizal Malna, dan lain-lain. Esai-esai para penulis ini memiliki kekuatan dalam sisi-sisi tertentu untuk membuat pembaca merasa takjub, tersihir, tergoda, atau terlena.
Menulis esai adalah menulis dengan gairah dan pertaruhan ekspresi. Esai merupakan komposisi kata, ide, penalaran, asumsi, argumentasi, imajinasi, fakta, subjektivitas, objektivitas. Menulis esai membutuhkan kelihaian dalam mengungkapkan sesuatu dengan desain dan pembabakkan tertentu sesuai selera penulis. Esai mengandung tegangan antara tanda tanya dan tanda seru di awal dan akhir.
Esai itu fleksibel karena tidak memiliki konvensi-konvensi ketat. Menulis esai adalah menulis risiko dalam mempersoalkan sesuatu. Risiko paling kentara adalah penilaian atau pandangan dalam ambang batas objektivitas-subjektivitas dan fakta-fiksi. Esai memang tidak harus tunduk dengan struktur tulisan ilmiah seperti artikel atau makalah. Esai mengandung kemungkinan untuk kolaborasi atau kombinasi dalam mengoperasikan pelbagai struktur dan pola tulisan.
Esai tidak mutlak harus mengusung teori–teori secara baku atau formal. Teori dimungkinkan hadir dengan pengolahan dan penempatan sesuai dengan kebutuhan. Teori tidak harus memiliki peran pusat atau dominan. Teori mungkin sekadar jadi legitimasi atau pengungkapan dengan perspektif relasional. Ciri itu kentara dalam tradisi penulisan esai.
Esai mumpuni perlu memperhatikan jurus pengungkapan ide: konvergensi dan divergensi. Konvergensi adalah pemusatan ide dalam esai dengan penguatan argumentasi. Divergensi adalah sebaran ide dalam esai dengan pemunculan impresi-impresi sesuai kadar dan parameter tertentu. Jurus pengungkapan ide itu membutuhkan kekuatan penalaran untuk membangun komunikasi dan interaksi dengan pembaca dalam iklim keintiman dan ketegangan.
Menulis esai dengan tendensi intensitas pembacaan dan penilaian membutuhkan jurus “mekanisme berpikir referensial.” Jurus ini adalah operasionalisasi pengetahuan penulis sesuai dengan penguasaan terhadap pelbagai sumber referensi. Penguasaan itu digerakkan dengan hukum-hukum relasional dan konstruksi tulisan dalam batas esoteris dan eksoteris. Mekanisme berpikir referensial mengandung misteri atau implisitas dan transparasi atau eksplisitas. Begitu.
Dimuat di Suara Merdeka (3 Januari 2oo9)
Tradisi menulis esai di Indonesia memiliki jejak panjang sejak tahun 1930-an. Majalah Pujangga Baru memiliki ruang besar untuk tradisi penulisan esai dengan pelbagai fokus: bahasa, sastra, seni, kebudayaan, pendidikan, sosial, dan filsafat. Esai pada saat itu adalah tulisan bebas dengan acuan pengamatan, pembacaan, penafsiran, penilaian sesuai pandangan pengarang yang cenderung subjektif.
Penulis-penulis esai di Indonesia memiliki karakter, keunikan, dan ciri pluralistik. Penulis-penulis esai mumpuni di Indonesia antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Iwan Simatupang, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, Ariel Heryanto, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Arief Budiman, Ignas Kleden, Afrizal Malna, dan lain-lain. Esai-esai para penulis ini memiliki kekuatan dalam sisi-sisi tertentu untuk membuat pembaca merasa takjub, tersihir, tergoda, atau terlena.
Menulis esai adalah menulis dengan gairah dan pertaruhan ekspresi. Esai merupakan komposisi kata, ide, penalaran, asumsi, argumentasi, imajinasi, fakta, subjektivitas, objektivitas. Menulis esai membutuhkan kelihaian dalam mengungkapkan sesuatu dengan desain dan pembabakkan tertentu sesuai selera penulis. Esai mengandung tegangan antara tanda tanya dan tanda seru di awal dan akhir.
Esai itu fleksibel karena tidak memiliki konvensi-konvensi ketat. Menulis esai adalah menulis risiko dalam mempersoalkan sesuatu. Risiko paling kentara adalah penilaian atau pandangan dalam ambang batas objektivitas-subjektivitas dan fakta-fiksi. Esai memang tidak harus tunduk dengan struktur tulisan ilmiah seperti artikel atau makalah. Esai mengandung kemungkinan untuk kolaborasi atau kombinasi dalam mengoperasikan pelbagai struktur dan pola tulisan.
Esai tidak mutlak harus mengusung teori–teori secara baku atau formal. Teori dimungkinkan hadir dengan pengolahan dan penempatan sesuai dengan kebutuhan. Teori tidak harus memiliki peran pusat atau dominan. Teori mungkin sekadar jadi legitimasi atau pengungkapan dengan perspektif relasional. Ciri itu kentara dalam tradisi penulisan esai.
Esai mumpuni perlu memperhatikan jurus pengungkapan ide: konvergensi dan divergensi. Konvergensi adalah pemusatan ide dalam esai dengan penguatan argumentasi. Divergensi adalah sebaran ide dalam esai dengan pemunculan impresi-impresi sesuai kadar dan parameter tertentu. Jurus pengungkapan ide itu membutuhkan kekuatan penalaran untuk membangun komunikasi dan interaksi dengan pembaca dalam iklim keintiman dan ketegangan.
Menulis esai dengan tendensi intensitas pembacaan dan penilaian membutuhkan jurus “mekanisme berpikir referensial.” Jurus ini adalah operasionalisasi pengetahuan penulis sesuai dengan penguasaan terhadap pelbagai sumber referensi. Penguasaan itu digerakkan dengan hukum-hukum relasional dan konstruksi tulisan dalam batas esoteris dan eksoteris. Mekanisme berpikir referensial mengandung misteri atau implisitas dan transparasi atau eksplisitas. Begitu.
Dimuat di Suara Merdeka (3 Januari 2oo9)
Langganan:
Postingan (Atom)