Senin, 04 Januari 2010

Mendadak Priyayi

Heri Priyatmoko

Manohara Adelia Pinot beberapa waktu lalu memperoleh gelar Kanjeng Mas Ayu Laksminto Rukmi dari Keraton Kasunanan Surakarta dalam rangka Jumenengan Paku Buwono (PB) XIII Hangabei. Gelar itu membuat Manohara kini menjadi kerabat dekat keraton. Artis sohor lainnya yang diberi gelar yaitu Dorce Gamalama dengan gelar Kanjeng Mas Ayu Tumenggung (KMAT). Bagaimana sejarah priyayi dan apakah dengan gelar mentereng ini kedua artis itu telah menjadi priyayi atau bangsawan sepenuhnya?

Banyak kajian yang mengulas mengenai kepriyayian di masa lalu. Antara lain, Robert van Niel (1960), Leslie H. Palmer (1960), Clifford Geertz (1964), Soemarsaid Moertono (1968), Savitri Scherer (1975), Koentjaraningrat (1984) dan Sartono Kartodirdjo bersama dua rekannya, A Sadewo dan Suhardjo Hatmosuprobo (1993).

Clifford Geertz melalui karyanya The Religion of Java (1964) yang kontroversial dan menjadi perbincangan seru tiga dekade silam itu, berusaha menyediakan pengukur sejati siapa sebenarnya priyayi itu. Antropolog yang membesarkan nama Pare, kawedanan termasyhur di seantero Jawa Timur ini, membuat definisi priyayi yaitu elit pegawai negeri yang ujung akar-akarnya terletak pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket keraton yang halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, sandiwara, musik, sastra, serta mistisisme Hindu.

Sejarawan Sartono berkolaburasi dengan dua temannya itu menghidangkan sisik melik dunia priyayi dalam Perkembangan Peradaban Priyayi (1993). Sartono memang tidak menyebut buku ini untuk mengakhiri polemik tesis Geertz dengan ilmuwan lainnya, tetapi mengulas secara utuh asal-usul priyayi lengkap dengan kehidupan sosialnya.

Priyayi pada umumnya dan priyayi luhur pada khususnya memang mempunyai nilai-nilai kultural tersendiri yang berbeda dengan rakyat kebanyakan. Namun sebagai kelompok sosial, terutama –meminjam istilah Palmier– ”priyayi kecil”, bukanlah merupakan kelompok yang tertutup rapat. Priyayi kecil tidak tentu dan tidak harus keturunan bupati. Mereka yang berasal dari rakyat kebanyakan pun dapat menjadi priyayi karena jasa dan kesetiaannya pada penguasa, selain itu pula harus melalui jalan yang berkelok-kelok ketimbang jalan bagi anak keturunan priyayi.

Suwita

Sebagaimana yang ditelaah oleh sejarawan perempuan pertama Indonesia, Darsiti Soeratman dalam Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 bahwa seseorang yang ingin menjadi priyayi harus melewati jalur suwita dan magang. Suwita dimulai ketika anak masih berusia sekitar dua belas tahun dan dilaksanakan di rumah kerabat yang telah menjadi priyayi tingkat tinggi. Suwita berarti bersedia melakukan pekerjaan kasar sampai pada yang menggunakan pikiran, harus membiasakan diri dengan keadaan setempat, dan belajar sopan santun yang berlaku dalam keluarga tempat ia mengabdi. Selain itu, ia wajib belajar mengenal kebudayaan priyayi. Misalnya, mengetahui tentang pusaka, kuda, pengetahuan kesusastraan, tari, dan gamelan. Jika orang sudah dianggap lolos suwita, ia baru boleh melenggang ke tahap berikutnya, yakni magang di suatu pemerintahan lokal atau keraton disertai dengan surat rekomendasi dari tuannya dimana dia suwita.

Tempo doeloe, siapa pula yang tidak suka diangkat menjadi priyayi, sebab melalui jabatan ini terbukalah kesempatan untuk melakukan mobilitas vertikal dan kian tinggi statusnya. Sampai-sampai lega rasa hati seseorang diterima menjadi priyayi bisa diikuti bait dalam Serat Wulangreh. Salah satu baitnya berbunyi ”dihormati serta anak istrinya, juga mendapat tanah jabatan, berapa pun luasnya”. Priyayi akhirnya menjadi simbol status. Selanjutnya akan kita menjumpai nilai khas yang berkaitan dengan status, yang dalam bahasa Jawa disebut praja, atau lebih populernya dengan istilah ”gengsi”.

Yang menarik bahwa di dalam kehidupan priyayi, estetika dan etika bersatu, sehingga menimbulkan apa yang menjadi ciri khas peradaban priyayi, yaitu kehalusan berarti adab, sedangkan kekasaran berarti biadab. Tata cara berperilaku atau norma-norma kelakuan ada kalanya dirumuskan dalam tulisan-tulisan, seperti Serat Sana-Sunu, Serat Wedatama dan Serat Sewaka. Dalam berbagai tulisan Jawa tersebut mendokumentasikan berbagai standar atau model perilaku yang ideal, terutama dalam lingkungan sosialnya. Di sinilah kemudian kita menghadapi momentum besar dalam –meminjam ungkapan Sartono– regenerasi golongan priyayi. Berhasil tidaknya proses regenerasi nilai-nilai kepriyayian yang luhur, beradab, estetika dan etika padu, tergantung kepada saban individu masing-masing yang menerima pangkat atau gelar kebangsawanan.

Golongan Atas

Pemberian gelar Manohara maupun artis-artis lainnya merupakan sinengkakaken ingaluhur yang mengandung arti: orang mendapat anugerah raja dan telah menggabungkan diri dengan para luhur (golongan atas), yakni elite tertinggi dari kaum bangsawan. Akan tetapi, perolehan gelar sebagai priyayi yang mulanya musti lewat laku suwita dan magang, sekarang hanya dalam tempo singkat gelar prestisius itu bisa diperoleh. Maka, apabila mengacu pada akar historis pencapaian derajat priyayi di atas, dewasa ini yang ditemukan adalah priyayi karbitan atau mendadak menjadi priyayi.

Di balik kebanggaan yang didapat, gelar yang sudah disematkan raja kepada artis sebenarnya beban tersendiri bagi artis maupun keraton. Pasalnya, artis itu tiada mempunyai sumbangsih atau jasa secara khusus bagi keraton dan kebudayaan Jawa pada umumnya. Di sisi lain, tepatlah apa yang dikatakan budayawan Solo Murtidjono bahwa keraton ingin menumpang popularitas model yang mendadak jadi pesohor itu dan cenderung komersial.

Sekali lagi, bertindak santun, beradab, jauh dari keributan dan paham kebudayaan ialah bagian dari jati diri seorang priyayi. Oleh sebab itu, artis yang menerima gelar agung tersebut apabila suatu hari ternyata jauh dari perilaku ideal di atas, tentunya sudah siap dicemooh dan menjadi bahan tertawaan masyarakat. Wait and see.

Suara Merdeka 29 November 2009

Tidak ada komentar: