Kamis, 08 Januari 2009

Jurus Menulis Esai

Bandung Mawardi

Tradisi menulis esai di Indonesia memiliki jejak panjang sejak tahun 1930-an. Majalah Pujangga Baru memiliki ruang besar untuk tradisi penulisan esai dengan pelbagai fokus: bahasa, sastra, seni, kebudayaan, pendidikan, sosial, dan filsafat. Esai pada saat itu adalah tulisan bebas dengan acuan pengamatan, pembacaan, penafsiran, penilaian sesuai pandangan pengarang yang cenderung subjektif.
Penulis-penulis esai di Indonesia memiliki karakter, keunikan, dan ciri pluralistik. Penulis-penulis esai mumpuni di Indonesia antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Iwan Simatupang, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, Ariel Heryanto, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Arief Budiman, Ignas Kleden, Afrizal Malna, dan lain-lain. Esai-esai para penulis ini memiliki kekuatan dalam sisi-sisi tertentu untuk membuat pembaca merasa takjub, tersihir, tergoda, atau terlena.
Menulis esai adalah menulis dengan gairah dan pertaruhan ekspresi. Esai merupakan komposisi kata, ide, penalaran, asumsi, argumentasi, imajinasi, fakta, subjektivitas, objektivitas. Menulis esai membutuhkan kelihaian dalam mengungkapkan sesuatu dengan desain dan pembabakkan tertentu sesuai selera penulis. Esai mengandung tegangan antara tanda tanya dan tanda seru di awal dan akhir.
Esai itu fleksibel karena tidak memiliki konvensi-konvensi ketat. Menulis esai adalah menulis risiko dalam mempersoalkan sesuatu. Risiko paling kentara adalah penilaian atau pandangan dalam ambang batas objektivitas-subjektivitas dan fakta-fiksi. Esai memang tidak harus tunduk dengan struktur tulisan ilmiah seperti artikel atau makalah. Esai mengandung kemungkinan untuk kolaborasi atau kombinasi dalam mengoperasikan pelbagai struktur dan pola tulisan.
Esai tidak mutlak harus mengusung teori–teori secara baku atau formal. Teori dimungkinkan hadir dengan pengolahan dan penempatan sesuai dengan kebutuhan. Teori tidak harus memiliki peran pusat atau dominan. Teori mungkin sekadar jadi legitimasi atau pengungkapan dengan perspektif relasional. Ciri itu kentara dalam tradisi penulisan esai.
Esai mumpuni perlu memperhatikan jurus pengungkapan ide: konvergensi dan divergensi. Konvergensi adalah pemusatan ide dalam esai dengan penguatan argumentasi. Divergensi adalah sebaran ide dalam esai dengan pemunculan impresi-impresi sesuai kadar dan parameter tertentu. Jurus pengungkapan ide itu membutuhkan kekuatan penalaran untuk membangun komunikasi dan interaksi dengan pembaca dalam iklim keintiman dan ketegangan.
Menulis esai dengan tendensi intensitas pembacaan dan penilaian membutuhkan jurus “mekanisme berpikir referensial.” Jurus ini adalah operasionalisasi pengetahuan penulis sesuai dengan penguasaan terhadap pelbagai sumber referensi. Penguasaan itu digerakkan dengan hukum-hukum relasional dan konstruksi tulisan dalam batas esoteris dan eksoteris. Mekanisme berpikir referensial mengandung misteri atau implisitas dan transparasi atau eksplisitas. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (3 Januari 2oo9)

Tidak ada komentar: