Senin, 04 Januari 2010

Proyek Bus Tingkat Di Solo

Heri Priyatmoko

Dalam menjalani sebuah kehidupan, salah besar manakala kita meremehkan sejarah. Terbukti Bung Karno menyerukan “Jasmerah” dan Kierkegaard berteriak “hidup memang dijalani ke depan, tapi dipahami ke belakang”. Bahkan, Walikota Jokowi –sapaan asyik Joko Widodo– dalam membangun kotanya pun juga mendengungkan visi konkrit, ”Solo’s Past is Solo’s Future”.

Kota Solo dalam genggaman Jokowi memang bagai putri bangun dari tidurnya. Beragam acara berskala nasional dan internasional diadakan demi mencuri hati para turis agar bersedia berkunjung dan menepis stigma kota konflik dan bersumbu pendek. Jokowi menghadirkan pula surga kota yang hilang dengan menyolek ruang publik yang mangkrak. Dari sinilah kemudian dapat dimaklumi mengapa dari sekian walikota hanya Jokowi yang mempunyai karir yang gemilang dan memperoleh tepuk tangan begitu riuh dari warga karena ia sadar sejarah.

Belum lama ini, topik yang paling hangat di Kota Bengawan adalah rencana Pemkot Solo mengadakan bus tingkat untuk wisata kota. Pemkot ngotot dengan proyek ini walau DPRD Solo menolaknya. Alokasi anggaran yang semula Rp 4 miliar, dicukur menjadi Rp 2 miliar, tak bikin Pemkot mundur selangkah pun. Pemotongan anggaran dan perubahan desain bus wisata itu, dilatarbelakangi kondisi sarana prasarana jalan dan kondisi lalu lintas yang tidak mendukung. Selain itu, soal pemeliharaan bus yang bakal merogoh kocek yang tidak sedikit. Kemudian terkait pula dengan ketentuan tarif, rute dan hal-hal lainnya.

Sikap Pemkot ini apabila dipandang lewat kacamata sejarah lokal, merupakan sikap yang ahistoris alias tidak paham sejarah. Memang, di Solo di era 1980-an pernah hidup ”bus tumpuk” dengan rute Palur-Kartasura. Tapi yang musti diingat, pengadaan bus tingkat ini adalah rekayasa Ibu Tien Suharto (alm) yang tidak segaris dengan gagasan masyarakat yang kala itu mengharapkan transportasi tradisional asli Solo seperti andong atau dokar, lebih layak diprioritaskan biar lestari.

Solo kota kedua setelah Jakarta yang mempunyai bus berbentuk menyerupai kue lapis itu. Ini merupakan hal wajar karena Solo salah satu ”anak emas” Orde Baru. Mulailah masyarakat menggerutu. Tapi apa daya, banyak yang sia-sia menentang segala kebijakan yang diterapkan oleh rezim yang otoriter ini yang implementasinya memakan korban heritage dan kearifan lokal. Pada tahun 1987 jumlah bis tingkat ada 30 buah dengan biaya perawatan bis tingkat terbilang mahal dan semua komponen harus impor dari luar negeri.

Lantaran masih sedikitnya angkutan umum di Solo waktu itu, bus tersebut sempat bikin warga jatuh hati, dan hingga sekarang pun masih terekam dalam memori karena jalannya seperti keong, tarif tak mencekik dan bisa dipakai untuk mengusir rasa sebal. Dengan duduk santai di atas, terlihat pohon-pohon rindang berbaris yang kadangkala menimbulkan suara akibat gesekan dengan badan bus. Badai krisis ekonomi menerpa bumi Indonesia, berimbas pula pada kuantitas bus ini. Saking tak mampu bertahan dan persaingan moda transportasi kian pelik, buntutnya ”raksasa tumpuk” program Orde Baru itu gulung tikar.

Pemkot menjelaskan, bus wisata dengan model tingkat ini berbeda dengan bus pada umumnya. Pengadaan bus tersebut memang khusus untuk memberikan fasilitas kepada wisatawan yang hendak menikmati keindahan Solo. Darmaningtyas, pengamat transportasi yang terkemuka dalam esainya yang menantang ”Transportasi sebagai magnet pariwisata” menulis, sistem transportasi yang baik di suatu kota dapat menjadi magnet bagi datangnya wisatawan dari luar daerah atau bahkan luar negeri. Sistem transportasi yang dimaksudkan bukan sekadar sebagai sarana mobilitas selama wisata, tapi sistemnya itu sendiri. Dengan kata lain, orang datang ke suatu kota itu dengan tujuan ingin melongok sistem transportasinya, seperti yang terjadi di Bogota yang mengembangkan busway atau Tokyo dengan kereta api cepat.

Andong

Pemkot yang sejak awal mengusung slogan ”Solo’s Past is Solo’s Future”, kini semestinya juga mencari transportasi macam apa yang menjadi ciri khas Solo tempo doeloe, bukan malah memakai bus tingkat yang sebetulnya bagi turis itu hal biasa karena mudah ditemukan di luar negeri. Andong merupakan jenis alat transportasi lokal yang sepantasnya dibidik. Sekali dayung tiga pulau terlampaui, itulah peribahasa yang tepat apabila berhasil memanfaatkan andong sebagai sarana penunjang pariwisata.

Wisatawan tentunya berburu sesuatu yang unik manakala bepergian ke tempat lain. Andong hanya ditemukan di Solo dan Jogja. Dengan andong, maka para pelancong disuguhi keunikan dan bisa menikmati dari transportasi ini yang sulit ditemukan di daerahnya.

Kemudian, keberadaan andong sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas kebudayaan tersendiri yang seharusnya diuri-uri, dewasa ini justru kian terpinggir dan jumlahnya menyusut, mendekati kepunahan. Sebab itulah, membidik transportasi yang digerakkan dengan kuda ini berarti Pemkot berusaha menjaga tanda kultural Kota Solo. Dan, kita tidak mau anak-cucu terbelalak melihat andong lantaran asing dengan transportasi nenek moyangnya.

Lebih jauh lagi, andong memuat filosofi Jawa. ”Alon-alon waton kelakon” akan kita rasakan di saat andong mengangkut tubuh kita melewati jalan raya. Andong bersama kusirnya banyak yang membudayakan tertib lalu lintas meski berkejaran dengan sang waktu. Kemudian, andong menghidangkan suatu interaksi antara manusia dan binatang (kuda) untuk saling mewujudkan kerjasama, yang dirumuskan oleh orang Jawa kuno dalam ungkapan ”urip lan nguripi”.

Dari penjelasan sejarah serta latar belakang di atas, tentunya kita bisa menilai bahwa penggunaan andong memang berfaedah besar ketimbang bus tingkat. Selanjutnya, kita hanya berharap semoga Pemkot lebih arif dalam mengambil keputusan tersebut dan mempertimbangkan potensi lokal yang telah ada agar lestari. Jika tetap ngotot, Pemkot secara tidak langsung mengingkari visi historis yang sesungguhnya masyarakat telah sepakat untuk selalu diusung dalam membangun Kota Solo.


(JOGLOSEMAR, 29 Des 2009)

Tidak ada komentar: