Senin, 04 Januari 2010

Proyek Masyarakat Sopan

Bandung Mawardi

Negeri ini tumbuh dengan pelbagai fondasi lahir dan batin dalam rumusan ajaran-ajaran tradisi dan konstitusi. Tradisi itu disemaikan dan diwariskan sebagai strategi hidup dengan mendapati titik-titik sambungan dengan episode lalu dan proyeksi ke masa depan. Persemaian itu mengalami pertemuan dan pertempuran dengan tradisi-tradisi lain untuk menjelma tradisi baru atau justru kehancuran dan kematian. Persemaian tradisi pun mesti menghadapi kesadaran manusia modern untuk merumuskan konstitusi sebagai perangkat hidup kolektif dalam urusan politik, ekonomi, pendidikan, keluarga, agama, sosial, atau seni. Konstitusi itu mengandung kekuatan hukum dan ideologis untuk diterjemahkan secara tak permanen ketika harus bersentuhan atau bertabrakan dengan tradisi.

Pilihan dan perbedaan kekuatan mengikat dari ajaran-ajaran tradisi dan konstitusi menjadi sumber dari lakon pembentukan masyarakat sopan. Proyek masyarakat sopan ini memiliki alur panjang dalam episode-episode lama peradaban Nusantara dan mengalami perubahan atau pergeseran ketika Indonesia sebagai negara terbentuk dengan pelbagai konstitusi. Imajinasi masyarakat sopan pada masa lalu menjadi acuan untuk ikhtiar merawat ajaran-ajaran tradisi sesuai dengan klaim kultural ketimuran. Realisasi masyarakat sopan pada episode hari ini merupakan ramuan ganjil dari sekian referensi tanpa ada kemutlakan untuk menganggap sebagai Timur atau Barat.

Ketegangan dan perebutan klaim dalam pembentukan masyarakat sopan kentara pada masa Orde Baru. Tata krama dijadikan sebagai istilah baku untuk melakukan penertiban dan penyeragaman dari percampuran tata nilai kehidupan individual dan kolektif. Politik ikut ambil peran sebagai pengesahan dari proyek masyarakat sopan melalui jalur pendidikan, keluarga, pemerintahan, atau sosial. Tata krama diwartakan untuk menjadi anutan dalam pencitraan dan pengamalan nilai-nilai sesuai kodrat ketimuran, naluri demokrasi, pemberadaban negeri, afirmasi modernitas, atau persesuaian dengan normativitas etika globalisasi.

Proyek masyarakat sopan adalah pembentukan dan pemunculan legitimasi dalam pembenaran terhadap tindakan dan serapan nilai-nilai sesuai dengan kondisi zaman. Tata krama atau etika makan, bicara, berjalan, atau bertamu diajarkan dan “dipaksakan” pada publik untuk diterima sebagai kepentingan negara dan pasar. Negara merasa memiliki kepentingan dengan model penertiban ini sebagai penganut dari penertiban ideologi parta politik, penundukkan pendidikan emansipatif, perampokan hak-hak politik, penyensoran imajinasi, pelarangan seni, atau penindasan tradisi. Tata krama menjangkiti siapa saja seperti ketika harus menghapal dan mengamalkan nilai-nilai P-4 melalui penataran dan kontrol negara.

Publikasi buku pada masa Orde Baru bisa dijadikan representasi dari kegairahan publik merayakan proyek masyarakat sopan dengan pelbagai dalil dan orientasi. Buku-buku dari pemerintah memang sengaja mengandung muatan ideologis dengan kekuatan imperatif agar publik menerima alias tidak membantah demi stabilitas politik dan kemapanan alur kekuasaan. Buku-buku di luar jalur pemerintah juga memiliki pengaruh besar untuk mengonstruksi rumusan tata krama dengan aroma tradisi, agama, filsafat, atau politik dalam tarikan sumber Timur dan Barat.

Kuraesin dalam buku Masyarakat Sopan (1968) dengan eksplisit menjelaskan bahwa materi dalam buku itu dimaksudkan untuk memberi bekal pada para remaja agar bisa menjadi anggota masyarakat sopan. Pemahaman dan afirmasi terhadap tata krama membuat orang aman dalam pergaulan sosial. Tata krama mesti dipelajari secara formal dan informal untuk menemukan identifikasi diri dalam kolektivitas. Dalil ini diterjemahkan melalui suguhan materi mengenai tata krama berkenalan, makan, pergaulan di tempat umum, persahabatan, pacaran, menelpon, dan berpakaian. Materi-materi ini dimadukan untuk membekali para remaja agar bisa menjadi manusia sopan dalam masyarakat sopan. Tata krama dalam konklusi Kuraesin selalu terkait dengan akal sehat untuk menjadi manusia. Buku ini memiliki peran penting dalam proyek masyarakat sopan karena suguhan materi dan pengesahan negara dengan pencantuman label: “Milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak Diperdagangkan.”

Gagasan dan proyek masyarakat sopan secara massif dirayakan oleh publik dengan kesadaran bahwa negara melakukan intervensi dengan pamrih ketertiban dan stabilitas. Tata krama jadi penting untuk mereduksi atau mengantisipasi benih-benih pemberontakan, resistensi, protes, kritik, atau suksesi pada masa Orde Baru. Penguasa dan para jajaran dengan intensif melakukan kampanye terbuka mengenai tata krama dengan iming-iming penghargaan atau perlindungan. Tata krama menjadi proyek untuk membuat manusia-manusia Indonesia jadi seragam karena kerap mengabaikan latar sosial-kultural. Tata krama dirumuskan dalam pembakuan terpusat dan abai terhadap pluralitas.

Tata krama dalam episode lanjutan dijadikan sebagai model penyaringan terhadap modernisasi alias westernisasi. Negara merasa perlu mengingatkan rakyat tentang ancaman dan risiko dari gempuran nilai-nilai Barat atau Amerikanisasi. Gempuran itu muncul dalam pelbagai bentuk dan memakai jalur-jalur strategis sehingga membuat negara kelimpungan. Penyelamatan publik menjadi misi penting untuk memberi kepastian bahwa stabilitas tidak terganggu dan kekuasaan masih aman dari rongrongan siapa saja. Ketakutan dan misi penyelamatan ini direpresentasikan dengan gairah negara mempromosikan tata krama demi pembangunan, persatuan dan kesatuan, dan nasionalisme.

Buku fenomenal mengenai proyek besar Orde Baru terbit dengan judul Tata Krama Pergaulan (1984) dan diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini lahir dari gagasan Nugroho Notosusanto selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan pengakuan: “... sudah sejak beberapa tahun terakhir ini saya merasakan, bahwa mulai banyak norma-norma tata krama sebagaimana yang dihayati dalam lingkungan beradab kita, yang dilanggar.” Kasus besar adalah cara berpakaian, cara duduk di tempat umum, dan cara bicara. Buku itu pun disebarkan dengan massif dan instruktif untuk mengajarkan pada siswa, mahasiswa, guru, dan dosen mengenai proyek masyarakat sopan dalam titel tata krama.

Sejarah dari proyek masyarakat sopan ala Orde Baru belum usai sampai hari ini. Negara masih meneruskan proyek itu dalam bahasa berbeda melalui pembuatan konstitusi. Publik tetap harus taat karena tata krama telah diterjemahakan dalam ranah hukum dan politik dengan sanksi. Proyek masyarakat sopan telah membuat publik merasa kehilangan otonomi sebagai manusia. Tata krama telah membuat orang-orang jadi lengah dengan nalar kritis. Kontinuitas dan perubahan sisah diidentifikasi karena publik direpotkan oleh definisi-definisi klise mengenai adat ketimuran atau tata krama ala negara.

Keributan kadang terjadi ketika negara melakukan sosialisasi atas produk undang-undang atau peraturan terkait dengan proyek masyarakat sopan. Pro dan kontra muncul sebagai cara tanggap publik terhadap nasib diri di dalam negara. Pengabaian terhadap substansi tata krama pun menimbulkan kericuhan karena elite politik kadang menunjukkan perilaku tanpa adab ketika mengurusi politik, hukum, ekonomi, pendidikan, atau instansi-instansi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Barangkali hari ini perlu ada rumusan mutakhir untuk menciptakan masyarakat sopan tanpa harus melukai, menodai, dan mematikan otonomi manusia di hadapan negara dan pasar. Begitu.



Dimuat di Koran Tempo (29 November 2oo9)

Tidak ada komentar: