Senin, 04 Januari 2010

Merancang Dedongengan Kutha Solo II

Heri Priyatmoko

Santer diberitakan bahwa walikota Solo Jokowi –sapaan hangat Joko Widodo– kini lebih memilih sikap bungkam soal pencalonan dalam pemilihan kepala daerah 2010. Beberapa pengamat politik lokal memprediksi beliau tidak maju pilkada. Arah politik sulit untuk ditebak, dan kita hanya bisa menduga-duga saja. Akan tetapi, jika benar, partai berlogo banteng moncong putih itu bakal sukar mencari kader dengan kualitas yang setara. Sebab, selama ini masyarakat telah memelototi kinerja plus figur Jokowi. Hasilnya, jempol diacungkan kepadanya. Ia sangat familiar, warga pun terlanjur kepincut. Terus terang memang sedap membicarakan Jokowi, ketika orang Solo sekarang berhasil menggapai mimpi historisnya, yaitu memperoleh tempat untuk bersuara.

Dalam tulisan ini, penulis sengaja tidak akan mendiskusikan siapa nama bakal calon yang pantas ”bertempur” di atas panggung pilkada atau konstelasi politik pilkada tahun depan. Penulis ingin mengajak masyarakat Solo memasuki lorong waktu empat setengah tahun yang silam, dimana calon kepala daerah memasuki musim kampanye.

Pada pertengahan Mei 2005, dua pasangan calon walikota sibuk menyiapkan tempat untuk acara Dedongengan Kutha Solo. Paket acara tersebut dikerjakan oleh Komunitas Pemerhati Budaya Surakarta. Tampil sebagai pendongengnya sejarawan Soedarmono dan dimoderatori wartawan kawakan Kastoyo Ramelan. Dedongengan yang disambut pasangan Jokowi dan FX Hadi Rudyatmo berlangsung di halaman gedung Graha Saba Buwana. Peserta duduk lesehan dengan disuguhi beragam makanan dari beberapa gerobak wedangan. Acara terkesan santai dan semarak. Sementara pasangan H Achmad Purnomo-Istar Yuliadi menyediakan tempat di nDalem Wuryaningratan.

Maksud dari acara itu adalah memberikan modal berupa gambaran historis kepada calon walikota mengenai Kota Solo tempo doeloe. Fakta sejarah dibentang dan kemudian dikemas melalui dongeng agar orang yang mendengarkan terasa terhibur dan mudah ngendon (bercokol) dalam pita ingatan. Melalui narasi-narasi lisan itu, mereka diajak memasuki jagat petualangan yang indah serta pahit yang tergores dalam lembaran sejarah Kota Bengawan. Harapan panitia kala itu, siapapun walikotanya kelak harus melek sejarah kota biar tidak gampang mencabik-cabik bangunan bersejarah, menggusur tata ruang kota dan ruang publik untuk kepentingan investor seperti masa sebelumnya.

Dongeng memang resep paling mujarab buat warga dan pemimpinnya yang sedang mengalami amnesia sejarah terhadap kotanya sendiri. Pernyataan itu sulit dibantah. Karena, dari hasil telaah James Danandjaja dalam Folklor Indonesia (1984), dikatakan, dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia itu suka didongengi dan suka ngobrol, ngrumpi, bahkan gosip. Sebab itulah, budaya lisan sampai kini tetap kuat mengakar di masyarakat meskipun kita sudah memasuki budaya tulis dan visual.

Berkatalah Kiekergard ”hidup dilalui ke depan, tapi dipahami ke belakang”. Diktum ini berlaku untuk Solo. Serangkaian peristiwa dramatik yang terjadi di Solo, persoalan perkotaan yang teramat kompleks dan dinamika politiknya yang saban-saban menampakkan suhu panas, yang semua itu terangkum dalam Dedongengan Kutho Solo berhasil merasuk ke kepala dan hati sanubari Jokowi. Diawal berkuasa, walikota yang masuk terpilih menjadi salah satu tokoh dari sepuluh kepala daerah terbaik versi Tempo ini, mulai mengedepankan sejarah. Dia mengusung visi yang konkret Solo’s Past is Solo’s Future (Solo Masa Lalu adalah Solo Masa Depan). Kota dipercantik, taman kota tinggalan Paku Buwono X dan Mangkunegara VII yang mangrak dipoles, dan dilakukan banyak terobosan serta menggelar berbagai acara seni-budaya-sejarah untuk membawa nama Solo moncer ke tingkat internasional. Di sinilah terpampang bukti nilai pemerintahan yang historis.

Masyarakat selalu mendambakan adanya sosok pemimpin yang ideal sebagai ujung tombak di masa gawat atau kota sedang dalam dekapan kapitalisme dan modernisasi yang rawan menggilas wong cilik dan bermacam nilai tradisi yang ada. Wajar suara warga kerab terdengar melengking di saban acara Rembuk Kota. Di diskusi formal, ramai nian para pengamat sejarah lokal tak jemu-jemunya berteriak ihwal pentingnya asupan sejarah bagi siapapun yang bermimpi menjadi AD 1. Pasalnya, –meminjam istilah Drajat Tri Kartono– Solo merupakan sebuah proyek yang tak pernah rampung.

Memang, Solo kota yang sejarahnya terus berevolusi. Berawal dari sebuah desa, lalu menjadi kota kerajaan, kemudian disambung kota kolonial (termasuk kota pergerakan), kota budaya, dan berubah kota modern yang tak tahu kemana larinya nanti. Maka, bisa dipermaklumkan di sini kalau beberapa walikota yang menjabat gagap dan kikuk menahkodai kota yang memiliki sebutan bersumbu pendek ini sebab tidak paham karakter dan local genius kota, tidak mau mendengarkan kemauan warga alias mempertahankan budaya politik kota agar tetap mati suri, dan abai pada pelindungan heritage. Jadi harus dipahami, kandidat walikota yang kelak terpilih jikalau hanya bermodal kelihaian berpolitik dan punya segepok duit, bukanlah jaminan mutlak dapat membawahi kota ini berjalan mulus.

Nah, dengan berkaca dari betapa faedahnya gelaran perdana Dedongengan Kutha Solo, sudah semestinya kita lekas mulai merancang untuk menyiapkan kegiatan serupa karena beredar kabar bahwa pilkada Solo digelar April mendatang. Bagaimanapun, wong Solo tak mau kotanya jatuh ke tangan orang yang salah alias mengulang dosa sejarah. Perlu ditambahkan pula materi dalam Dedongengan Kutha Solo jilid II yakni model kepemimpinan raja sampai walikota yang pernah bertengger di kursi kekuasaan.

Misalnya, diuraikan ketokohan Mangkunegara I, Mangkunegara IV, Mangkunagara VII, Pakubuwono IV, Pakubuwono X dan walikota pertama hingga era Jokowi. Meskipun mereka menjabat dalam periode atau zaman yang berlainan, tetapi paling tidak ada nilai-nilai dan moralitas yang dikenang dan bisa kita comot. Justru ini bukan ahistoris atau anakronisme sejarah karena memetik kearifan sejarah dan keteladanan mereka untuk keperluan kekinian. Menurut pemikiran yang dikembangkan sejarawan Bennedeto Croce, ini disebut sejarah kotemporer, menghadirkan sejarah untuk kepentingan sekarang. Bahkan segaris dengan sebuah ungkapan bahwa memimpin kota ibarat orang memanah, menarik busur panah ke belakang dan melesatkan ke depan.

Yang tidak kalah penting ialah dalam Dedongengan Kutha Solo jilid II kelak, si pendongeng haruslah piawai merangkai kisah, menghadirkan tokoh dengan sangat ekspresif, dan mampu menghadirkan teater di dalam kepala para pendengar. Dengan begitu, visi dan konten dongeng secara diam-diam telah meng-install sikap dan pandangan kita tentang ketokohan para pembesar Kota Solo itu. Sulit disangkal bahwa program Dedongengan Kutha Solo walaupun hanya digelar lima tahun sekali atau ketika kampanye pilkada dan wabil khusus ditujukan kepada calon walikota, namun berdampak besar bagi kehidupan sosial warga dan nasib Solo ke depan.

Kompas Jateng, 16 Desember 2009

Tidak ada komentar: