Senin, 04 Januari 2010

Proyek Kultural Solo 2010

Bandung Mawardi

Ambisi Kota Solo untuk menjadi kota budaya terus direalisasikan dan disahkan melalui pelbagai agenda kebudayaan dari taraf lokal sampai taraf internasional. Kota Solo telah menebar sihir kultural dan memikat siapa saja untuk tak jemu memerkarakan pelbagai suguhan wacana dan praktik kebudayaan dalam acuan tradisi dan rumusan kontemporer. Kota Solo tak ingin sekadar tumbuh sebagai kota ekonomi, kota uang, kota mall, atau kota apartemen.

Antusiasme untuk menyemaikan Kota Solo tampak dari ancangan menghadapi 2010. Pemerintah Kota Solo sejak dini telah memikirkan suguhan-suguhan pada publik untuk mengesahkan diri sebagai pusat perhatian dari pelbagai penjuru negeri. Kota Solo ingin menjelma sebagai kota dengan martabat dan derajat dalam parameter kultural. Ancangan itu diwartakan dalam publikasi Calender of Cultural Event Solo 2010. Kalender ini menghimpun pelbagai agenda kultural dalam taraf besar dengan orientasi mampu memikat publik secara massif dan mencitrakan Solo agar semakin moncer.

Agenda-agenda besar untuk 2010 antara lain: Solo Karnaval, Seni Kampung Solo, Solo Batik Fashion, Solo Batik Carnival, Solo Keroncong Festival, Festival Keraton Sedunia, Mangkunegaran Perfoming Art, Keraton Art Festival, Solo International Perfoming Art, dan Solo International Ethnic Music. Penjadwalan sekian acara besar ini ditata dengan pelbagai pertimbangan untuk menjadi peristiwa mengesankan dan patut untuk dikenangkan. Jadwal memang ikut menentukan pencapaian target dan efek dalam guliran wacana sebab peristiwa-peristiwa besar itu melibatkan kerja sama dari pelbagai instansi dan individu.

Prioritas untuk agenda besar memang patut dijadikan bukti kesanggupan potensi kota untuk mewartakan dan memaknai diri. Acuan tradisi atau etnis tetap menjadi ciri dari ikhtiar mengonstruksi Kota Solo sebagai basis penting dalam wacana historis-kultural Jawa dan Nusantara. Kesadaran dan pengolahan kreatif terhadap seni tradisi atau nilai-nilai lokalitas memang jadi realisasi dari pemunculan identitas kultural tanpa harus tunduk dan luluh oleh arus besar modernitas. Pelbagai agenda kultural di Kota Solo selama ini mulai menampakkan kecenderungan untuk merawat atau menyemaikan tradisi dengan cara modern. Pemodernan dilakukan dalam manajemen dan pengemasan agar bisa menyapa publik dengan memikat.

Orientasi kultural kerap dilekatkan dalam pelbagai agenda untuk mendapati pengesahan kendati tak mungkin orinetasi itu secara utuh diciptakan. Lakon zaman mutakhir selalu meletakkan agenda-agenda kultural dalam ketegangan negara dan pasar. Negara dalam pamrih politik dan kultural menghendaki ada pola pelestarian dan pengembangan tradisi agar ada kontinuitas pewarisan nilai-nilai dalam acuan lokalitas. Negara mengambil peran dengan memberikan restu dalam bentuk kebijakan, pendanaan, dan rekomendasi pada pelbagai pihak untuk terlibat dalam menarasikan biografi kultural.

Peran negara itu kadang tampak sebagai perlakuan normatif sebab ada pamrih besar dalam realisasi agenda-agenda kultural. Pamrih itu diterjemahkan sebagai pencitraan diri dan pendapatan melalui perselingkuhan negara dan pasar. Perselingkuhan ini diistilahkan sebagai pariwisataisme. Pasar menjadi parameter untuk menentukan nilai dan efek secara ekonomi-politik dari agenda-agenda kultural.

Godaan pariwisataisme ini juga melekat dalam sekian agenda kultural di Kota Solo. Kehadiran publik dengan pendataan jumlah turis dan pengunjung lokal kerap menjadi kunci dari vonis keberhasilan suatu agenda kultural. Cara pikir ini lumrah terjadi karena terjadi kerancuan dalam pembedaan dan pemilahan kepentingan dari institusi di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan kemauan pelbagai pihak atas nama budaya atau pariwisata. Simbisosis mutualisme mungkin terjadi tapi efek politis dari perselingkuhan negara dan pasar kerap mengecoh alias melenakan kesadaran kritis.

Konstruksi Kota Solo 2010 dalam agenda-agenda kultural megesankan ada orientasi untuk mendapatkan tempat dalam sorotan internasional. Labelitas acara dengan kelas internasioanal kadang membuat publik takjub karena Solo dicitrakan seperti kota milik dunia. Ketakjuban itu kadang bercampur dengan keprihatinan bahwa Kota Solo mungkin habis energi untuk menjadi tuang rumah dan meladeni sekian agenda kultural internasional. Keterlenaan dengan kelas internasional mungkin memunculkan ketakdasadaran terhadap potensi-potensi lokal. Seniman-seniman lokal lumrah saja ketika merasa terabaikan dan sekian agenda kultural di kampung-kampung atau sudut kota tak mendapati perhatian secara proporsional.

Kondisi tak seimbang ini memerlukan pemikiran ulang agar dalam penentuang agenda-agenda kultural tidak terjebak dengan imaji dan kelas internasional. Sekian agenda kecil memang ikut dicantumkan dalam Calender of Cultural Event Solo 2010 tapi seperti jadi catatan kaki. Ketidakpekaan mungkin bakal menimbulkan ironi dan menjadikan publik perlu melakukan resistensi. Publik kadang ragu dan curiga terhadap Pemkot Solo dengan tanya: “Apakah Pemkot Solo memiliki data komplet mengenai aktivitas kesenian dan mengenali sosok-sosok seniman dan budayawan di Solo? Apakah Kota Solo ini mau dijadikan kota panggung karena riuh oleh acara seni pertunjukkan dan karnaval? Apakah Pemkot Solo mafhum bahwa pencitraan kota dengan sastra juga memiliki makna strategis?

Optimisme tentu menjadi modal untuk merealisasikan sekian agenda kultural di Kota Solo pada 2010. Kesadaran terhadap prioyek persemaian agenda kultural memang patut mendapati perhatian besar tanpa harus tergesa untuk menghitung hasil dalam bentuk duit atau citra. Kesadaran terbentuk dengan intensitas dalam warta kultural melalui institusi keluarga, sekolah, dinas pemerintahan, kampung, atau media massa cetak dan elektronik. Realisasi atas proyek kultural Kota Solo 2010 mesti terpahamkan sebagai ikhtiar konstruktif dan tidak terlena dalam hura-hura alias pesta hiburan. Begitu.



Dimuat di Kompas Jateng (3o November 2oo9)

Tidak ada komentar: