Senin, 04 Januari 2010

Karnaval Rampok di Solo Tempo Doeloe

Heri Priyatmoko

Menimbang sederetan daftar kasus kriminalitas tingkat tinggi di Solo, betulkah kota ini sudah menjadi ’’lahan basah’’ para perampok? Atau, apakah ini menunjukkan gejala aparat tak mampu lagi mempersempit gerak para penjahat?

Pikiran penulis melayang ke akhir abad XIX, ke wilayah vostenlanden (daerah kerajaan) hampir saban hari geger karena rumah orang kaya disatroni perampok dan pencuri. Pelaku perampokan berupa kecu dan koyok.

Terminologi Soehartono dalam Bandit-bandit Pedesaan di Jawa (1995), kecu mengacu pada sekelompok orang atau kawanan orang yang merampas paksa harta korban pada malam hari dan sering dikuti dengan penyiksaan dan pembunuhan korban.

Sementara koyok juga seperti kecu, tapi jumlah gerombolannya lebih sedikit. Adapun di luar itu, ada begal yang modus operandinya mengadang korban di tengah jalan. Lengkap sudah jenis kejahatan di area kekuasaan Kasunanan dan Mangkunegaran.



Sejarawan Semarang, Wasino meriset sejarah onderneming (perkebunan) di Surakarta yang diterbitkan dalam Kapitalisme Bumi Putra (2008), menulis, pada 1872 tercatat 24 kali peristiwa kriminalitas yang dilakukan oleh kecu dan koyok. 24 kejadian dalam kurun setahun adalah suatu angka yang jelas bikin gemas aparatur kolonial dan penguasa pribumi. Memang, seiring perluasan perkebunan yang berkembang pasca-1830, maka tumbuhnya kecu —meminjam istilah Soehartono— bak cendawan pada musim hujan.

Tesis kembar yang diajukan kedua sejarawan itu terkait musabab kriminalitas di Solo tempo doeloe, yaitu ketimpangan sosial dan balas dendam.

Perluasan perkebunan di daerah yang subur, dan hasilnya subur pula isi kantong pengusaha dan pegawai perkebunan. Namun, kondisi ekonomi warga sekitar perkebunan justru kontras dengan controleur (pengawas), inspektur (pimpinan perusahaan), pakhtuis mester (penjaga gudang), mandor, bekel, dan elemen lainnya yang masuk dalam lingkaran bisnis perkebunan.

Pada 15 November 1873 kecu mengamuk membunuh istri tua bekel di Desa Kretek, Sragen.

Harta yang dikuras adalah f 108,84, sebelas ekor kerbau dan beberapa pikul padi. Sasaran perampokan pun merembet pada tuan tanah dan Cina kaya. Karena, menurut pelaku kejahatan, mereka juga ikut merugikan petani. Akhirnya, Mangkunegara VI tidak bisa tinggal diam melihat kecu ’’berpesta’’. Maka, diperintahkan polisi agar melacak secara sungguh-sungguh supaya pelaku ditangkap dan dikasih hukuman.

Tanpa tedheng aling-aling, Mangkunegara VI menyemprot habis polisi karena dinilai kurang serius dalam menjaga keamanan. Pengusaha perkebunan juga mengedarkan kecu serkuler guna mencegah para bandit dengan mengerahkan polisi sebanyak mungkin.

Kecu amat cerdik. Mereka tidak menetap di perbatasan dua distrik untuk menghindari pengejaran. Polisi dibikin keteteran, dan mengakui organisasi kecu rapi.

Dengan situasi kian genting ini, Residen Zouteliet turun tangan ikut bertanggung jawab atas keamanan vostenlanden. Segera ia mengintruksikan agar jalan-jalan desa ditutup pada malam hari dan digelar ronda malam (patrolan dusun).

Cara itu tidak seratus persen mujarab, hanya sekadar mengurangi serangan kecu atau mengalihkan sasaran ke tempat lain. Di sini bisa disimpulkan bahwa pemerintah tak sanggup menghapuskan perbanditan lantaran tak mengetahui sebab-sebab sosial politik yang lebih dalam dari masyarakat pedesaan.

Dari patologi sosial itu bisa dilihat betapa lemahnya sistem keamanan yang ada dalam masyarakat. Timbul pertanyaan, bagaimana langkah selanjutnya untuk mengatasi problem krusial itu?

Saking terbatasnya jumlah polisi di Solo tempo doeloe, lalu penduduk diwajibkan menanam bambu ori. Jalan-jalan desa harus dipagari dengan tanaman hidup. Jalan masuk diberi pintu dan dikunci pada malam hari. Penjagaan mulai selepas bedug magrib hingga pukul enam pagi. Penjaga dipersenjatai tombak, pedang, dan tampar, seimbang dengan senjata perampok yang kala itu belum menggunakan senjata api. Pikiran penulis pelan-pelan merayap kembali ke masa sekarang. Sejarawan Inggris, EJ Hobsbawn mengatakan, aksi mereka lakukan karena untuk bertahan hidup. Mereka dinamakan social bandits (bandit sosial).

Apakah dari sekian kejahatan perampokan yang marak terjadi di Solo akhir-akhir ini merupakan berlatar belakang untuk bertahan hidup? Nampaknya bukan itu. Ada asumsi, perampok ’’berkarnaval’’ di Kota Bengawan lantaran ñteringat ucapan Mangkunegara VI dua abad silam- polisi kurang bersungguh-sungguh.

Bahkan, pelaku sudah berani berkeliaran dan beraksi di ruang publik. Bukan saja harta yang diincar, namun nyawa pun begitu mudahnya ’’diambil’’ oleh perampok bila si korban melawan.

Tidak dulu tidak sekarang, Solo masih terus dihantui para perampok. Oleh sebab itu, kinerja kepolisian mestinya ditingkatkan guna menegakkan wibawa dan menunjukkan kekuatannya sebagai penegak hukum yang handal.

Kalau polisi lembek dalam mengamankan kota dari tindakan kriminalitas, maka sungguh mungkin orang-orang tidak akan membiarkan terutama istri, anak gadis, familinya untuk pergi ke Solo sendirian. Hal ini selain membuat masyarakat setempat dan pendatang tidak nyaman dan tidak betah tinggal, juga kegiatan ekonomi kota terganggu.

Suara Merdeka, 04 November 2009

Tidak ada komentar: