Senin, 04 Januari 2010

Tanggul Semanggi

Heri Priyatmoko

Terangnya sinar bulan purnama menerangi wajah Yatmo yang sedang duduk termenung di wedangan Mbak Arum. Saat itu pikiran Yatmo melayang tertuju pada apa yang diteriakkan oleh seorang bocah penjaja koran di perempatan Panggung kemarin (07/11). Dengan memegang koran Suara Merdeka, bocah belasan tahun itu berteriak “Berita hangat, ribuan warga di lima RW Kelurahan Semanggi turun gunung demo ke Pemkot dan DPRD. Mereka dirundung kecemasan lantaran tanggul yang melindungi kawasan pemukiman mereka mengalami longsor sepanjang lima puluh meter”.

Mbak Arum yang sibuk ngepeti arang dalam anglo, mengetahui pelanggan setianya ini gundah gulana.

“Ini malam minggu lho, Mas. Malam happy bagi kaum muda, kok kamu malah bersedih. Ada apa gerangan?” sapa Mbak Arum seraya membetulkan posisi arang dengan gagang kipasnya.

”Saya khawatir dengan tanggul Semanggi di perbatasan Solo-Sukoharjo yang kian kritis kondisinya itu kalau tidak segera tertangani, maka malapetaka Situ Gintung jilid dua bisa terjadi. Sebab, jarak sungai dengan kampung ibarat gigi dengan gusi, dekat sekali,” jawab Yatmo diikuti tangannya mengupas pisang yang memang lagi tidak nafsu makan, turut prihatin dengan kondisi tanggul di tempat kelahirannya itu.

”Penyebabnya apa kok sampai menakutkan begitu dampaknya?” Mbak Arum sodorkan kembali pertanyaan.

”Tanggul setinggi sepuluh meter terus terkikis oleh bocoran air IPAL. Ditambah kekuatan tanggul yang tak lagi kokoh dan deras arus sungai yang disebabnya oleh kian berkurangnya penahan alamiah seperti pepohonan. Ditemukan pula keretakan dan longsor sepanjang seratus meter lebih. Padahal, kita tahu di balik tanggul itu ribuan nyawa berlindung. Andai tanggul itu jebol, bukan saja masyarakat Semanggi yang diterjang banjir, tapi Kota Bengawan ikutan terendam,” Yatmo panjang lebar dan melempar kulit pisang ke bawah gerobak.

Rido yang sejak tadi duduk di samping Yatmo, nguping. Ia tiba-tiba angkat bicara, ”Betul, Mas. Apalagi ini sudah masuk musim penghujan. Kita tentunya tiada mengharapkan warga kocar-kacir tersapu limpasan air dari sungai Bengawan Solo seperti tahun-tahun kemarin. Ini bukan mendramatisir lho ya.”

Memang, kerugian material yang ditanggung penduduk akibat amukan Bengawan Solo yang kemarin saja belum pulih. Belum terhitung kerugian yang disebabkan oleh menurunnya aktivitas sosial dan ekonomi kota selama banjir serta dampak psikologi korban banjir. Maka, sudah barang tentu insiden banjir 2007 dan 2008 semestinya menjadi bahan pelajaran untuk selalu diingat.

”Tapi, kita pun harus memaklumi Pemkot yang tidak bakalan mampu kalau diserahi untuk memikul beban ini sendirian. Pasalnya, hal tersebut bagian dari tanggungjawab Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo dan Departemen Pekerjaan Umum pula,” komentar Rido meluncur begitu saja sembari menyelonjorkan kakinya di atas dingklik panjang.

Masyarakat Semanggi yang rumahnya di dekat tanggul mayoritas rakyat kecil yang tetap menantikan uluran bantuan dari pemerintah yang tengah gencar dan bersemangat membangun infrastruktur pendukung ekonomi kota, yang seolah-olah melupakan nasib permukiman di bibir sungai. Sementara wong cilik itu jelas kethar-kethir jika sewaktu-waktu tanggul yang menjadi benteng kedua setelah waduk, dadal tak kuat menahan air sungai.

”Makanya, perlu komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dan pusat untuk mengerjakan tanggul itu bersama-sama. Ingat, Kota Bengawan sudah disulap cantik dan taman dipoles tiada berarti manakala di musim hujan nanti air bah kembali menenggelamkan kota seperti tahun 1966 dan 2008. Solo bagian timur bak lautan selama dua hari,” pekik Mbak Arum dalam hati, mengenang sejarah kelam itu.

Yatmo dan Rido saling berpandangan, mengerti apa yang dipikirkan Mbak Arum.

Suara Merdeka 16 Nov 2009

Tidak ada komentar: