Bandung Mawardi
Puisi dan doa adalah urusan estetika dan religiositas. Puisi dan doa lahir dengan bahasa. Kata-kata memiliki peran dan kekuatan yang dikonstruksi untuk representasi atau realisasi. Puisi adalah konstruksi kata yang memiliki konvensi-konvensi estetika untuk mencapai sublimasi. Doa adalah konstruksi kata dengan konvensi-konvensi religius untuk mengucapkan dan mengungkapkan seruan, keluhan, pengharapan, dan kemauan. Doa dan puisi terus lahir dengan rahasia kata dan rahasia makna. Annemarie Schimmel (1996) menjelaskan bahwa doa adalah inti agama (lex orandi lex credendi). Doa adalah suatu pengorbanan kata.
Tradisi sufistik memiliki catatan panjang untuk kelahiran dan pewarisan doa-puisi yang mempertemukan dan meleburkan estetika religius. Kaum sufi melantunkan kata-kata yang merepresentasikan kehidupan rohani. Kata-kata itu adalah doa dan puisi yang mengantarkan manusia pada komunikasi religius dengan Tuhan. Tradisi sufi mewariskan puisi-puisi Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Ibnu ‘Atha’illah, Fakhruddin Iraqi, Rabi’ah, Fariduddin Attar, Hafidz, dan lain-lain.
Doa-puisi Jalaluddin Rumi adalah salah satu puncak manifestasi estetika religius. Schimmel membaca dan menafsirkan Rumi untuk menemukan rumusan doa dalam tradisi sufi yang memiliki keunikan dibandingkan dengan pemahaman mayoritas. Rumi diakui sebagai seorang pendoa yang fasih melantunkan puisi-puisi dengan arahan pencapaian rahasia kata dan makna untuk sampai pada pengetahuan Tuhan. Rumi mengucapkan: “Aku telah begitu banyak berdoa sehingga aku berubah menjadi doa. Setiap orang yang melihatku meminta doa dariku.” Rumi melahirkan sekian puisi dan doa yang mengantarkan manusia dalam jalan sufi. Rumi menjelma doa. Rumi adalah doa-doa yang diucapkan berabad-abad lamanya di pelbagai negeri.
Bahasa dalam doa-puisi memiliki batasan-batasan dan kemungkinan-kemungkinan makna. Bahasa manusia dikonstruksi untuk kepentingan komunikasi yang mengarah pada pelbagai ekspresi, sistem, dan mekanisme. Bahasa dalam pengertian agama mengacu pada sumber atau asal: Tuhan. Bahasa yang diolah dan dimengerti manusia dimungkinkan menjadi medium komunikasi karena kata memiliki kekuatan representasi dan realisasi. Rumi memahami kata-kata dalam kemungkinan religius untuk pengungkapan cinta pada Tuhan. Kata-kata tak sekadar materi tapi substansi yang kompleks.
Doa ada dengan basis dan orientasi ibadah. Doa adalah tindakan untuk menghadirkan hubungan manusia dengan Tuhan. Hazrat Inayat Khan (2000) menjelaskan bahwa doa bisa dimengerti dalam tiga jenis pemikiran: (1) Doa adalah rasa terima kasih kepada Tuhan; (2) Doa adalah pemujaan dari keberadaan Tuhan melalui keindahan alam; (3) Doa untuk nama dan kebenaran Tuhan.
Rumi dalam Masnawi mengabarkan bahwa doa adalah manifestasi ibadah hamba pada Tuhan. Doa merupakan ajaran-ajaran hidup yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis. Doa puisi kaum sufi adalah pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan diajarkan Nabi. Rumi mengingatkan manusia pada Hadis Nabi: “Tiada doa yang sempurna tanpa kesiapan hati.” Doa adalah persoalan iman, cinta, dan rindu pada Tuhan yang dimanifestasikan dalam bahasa.
Doa-puisi yang dilantunkan Rabi’ah menjadi babak penting dalam tradisi sufi yang memuja cinta dalam kehendak intim dan bertemu Tuhan. Rabi’ah kerap dikisahkan mengucapka doa pada malam hari. Rabiah beradad di atap rumahnya dengan mengenakan baju tidur. Inilah doa puisi indah Rabiah: “Ya Allah, Ilahi Rabbi, tampak di atas sana bintang-bintang gemerlap cahayanya. Tiap pasang mata telah terlelap tidurnya. Raja-raja telah menutup rapat pintu gerbang-gerbangnya. Tiap kekasih sedang asyik dengan yang dicintanya. Sedang aku sendiri berdua bersama-Mu.” Doa puisi Rabi’ah mengandung arti percakapan cinta dengan Tuhan. Doa itu representasi dan realisasi cinta.
Doa-puisi panjang dilantunkan Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Al-Hikam. Ibnu ‘Atha’illah melakukan munajat dalam doa-puisi yang kontemplatif. Kitab Al-Hikam bukan sekadar risalah tasawuf tapi manifestasi teks estetika religius. Ibnu “Atha’ilah melantunkan doa-puisi: “Tuhanku, kapan saja dosa-dosaku membungkamku, maka kemurahan-Mu membuatku berbicara, dan kapan saja sifat-sifatku membuatku putus asa, maka karunia-Mu memberiku setitik harapan.” Ibnu ‘Atha’illah hidup dalam tradisi doa dengan perspektif makrifat. Pada masa itu doa adalah perkara penting yang dipelajari dan diamalkan oleh kaum sufi dengan acuan ayat-ayat al-Qur’an.
Doa-puisi adalah manifestasi pemikiran, perasaan, renungan dalam bahasa. Doa-puisi kaum sufi merepresentasikan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi religius dan estetis memerlukan pengolahan untuk mencapai puncak kenikmatan bahasa dan keintiman. Bahasa menjadi perkara yang menentukan nilai dan pamrih yang dikehendaki dalam doa-puisi. Pemahaman terhadap kaidah dan metafisika bahasa adalah ikhtiar memakai bahasa sebagai alat ekspresi dan realisasi manusia.
Doa-puisi hadir dalam kondisi manusia yang rindu dan menginginkan suatu pembahasaan dan komunikasi. Kata-kata ada dalam konstruksi yang ingin menampung dan memungkinkan makna sebagai nilai yang sakral dan estetis. Doa-puisi adalah realisasi yang ingin lepas dari kekangan (tirani) bahasa konvensional tanpa harus melakukan reduksi terhadap laku ajaran agama. Bahasa dalam penguasaan individual menjadi suatu ekspresi yang membuka kemungkinan-kemungkinan pesan dan makna. Doa-puisi kaum sufi menjadi warisan yang dilantunkan dan dipahami dalam konteks estetika religius. Kitab dan risalah yang mengekalkan ekspresi sufi menemukan pewaris yang menerima sebagai teks untuk mengungkapkan diri dalam interpretasi dan pemahaman yang beragam.
Doa-doa dalam kitab suci menjadi basis religius yang menemukan derivasi dan tafsiran-tafsiran berbeda oleh kaum sufi. Doa dalam bahasa menemukan ekspresi dalam kompetensi dan kesadaran estetika religius. Kehadiran doa puisi dari kaum puisi tidak menempati posisi yang menandingi doa-doa dalam kitab suci. Doa puisi itu adalah manifestasi yang ingin menembus kekakuan konvensi bahasa dan dogma.
Penjelasan dan tafsir keberadaan doa didedahkan oleh penyair-filosof Mohammad Iqbal. Doa menjadi prolog dalam puisi panjang Javid Nama. Iqbal mengisahkan manusia dalam pemahaman religius dan visi-visi yang imajinatif-puitis. Doa adalah pembebasan dan ikhtiar mencapai pengetahuan menuju Tuhan. Doa-puisi Mohammad Iqbal menjadi manifestasi yang memberi kesadaran religiusitas atas lakon manusia.
Iqbal menulis: “Dalam kepedihan kuarungi kehidupan. Kini aku berdoa agar terbebas dari kegamangan.” Doa adalah realisasi yang positif dan konstruktif untuk laku hidup manusia yang dihadapkan pada realitas-realitas dunia. Doa mengantarkan manusia untuk mengenali dan intim dengan Tuhan. Doa adalah ekspresi estetika religius untuk pencerahan. Begitu.
Dimuat di Pikiran Rakyat (1o Januari 2oo9)
Selasa, 13 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar