Kamis, 24 September 2009

Legislator Baru, Barang Baru?

Heri Priyatmoko


Sepulang dari shalat tarawih dan tadarus Al Quran di langgar kampung, Rakiyo mampir sebentar di warung Simbok Sukinem membeli telur asin untuk lauk sahur.

Warung ini pada bulan Ramadhan tampak lebih ramai karena juga melayani orang yang hendak sahur. Dari samping warung, terdengar tawa lepas para pemuda kampung yang menikmati acara Thukul dengan joki-jokinya yang khas.

“Mbok, telur asinnya masih?” tanya Rakiyo seraya tangannya membetulkan letak kopyah yang sedikit melenceng.

“Masih dua, nang. Pakai nasi sekalian nggak?” Simbok Sukinem mencoba menawari.

“Nggak usahlah mbok, di rumah nasi masih cukup untuk sahur nanti,” jawab Rakiyo sembari bola matanya melirik ke arah Paidi yang duduk di dingklik panjang tampak sedang mengibas-ngibaskan koran.

“Berita apa yang kamu baca, Di? Kok keliatannya serius amat, sampai kamu mengernyitkan dahi segala,” Rakiyo penasaran melihat perubahan raut muka Paidi.

“Ini lho, berita pimpinan Dewan Sementara yang mendesak Pemkot Solo untuk mengalokasikan anggaran pengadaan laptop baru pada APBD 2010 mendatang. Juga pengadaan barang baru untuk mobil dinas ketua DPRD dan adanya sekretariat fraksi yang bersumber dari dana APBD kota. Wis ono-ono wae wakil rakyat yang terhormat itu,” jawab Paidi dengan nada kecewa, dan menggeser sedikit untuk memberi tempat bagi Rakiyo duduk di sampingnya.

Setelah menenggelamkan pantatnya di dingklik, Rakiyo pun ikut nggedumel, “Anggaran untuk membeli laptop dan mobil dinas ini jelas duit rakyat. Saya malah mempertanyakan, betulkah tanpa laptop para dewan tiada bisa bekerja untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya? Bahkan ada yang memberi alasan, laptop dapat meningkatkan kemampuan SDM dewan. Namun, siapa pula yang sanggup menjamin laptop itu bisa meningkatkan kemampuan SDM?

“Sebagai wong cilik, saya turut merasa prihatin dengan usulan itu, nang. Seharusnya, dewan melihat banyaknya kebutuhan lain penduduk kota yang lebih mendesak dan lebih diutamakan. Tengok saja warga Joyotakan yang belum terbebas dari banjir, soal relokasi warga bantaran yang belum selesai, bangunan sekolah SMP N 18 Surakarta yang rawan roboh, masalah kemiskinan, dan setumpuk persoalan infrastruktur kota,” suara Simbok Sukinem lirih sembari menyerahkan bungkusan plastik yang berisi telur asin kepada Rakiyo.

Dari samping rumah, terdengar ungkapan “kembali ke laptop” yang keluar dari mulut Thukul saat kembali mengawali acara “Bukan Empat Mata” setelah jeda pariwara.

“DPRD tentunya tidak mau dinilai memanfaatkan kekuasaan alias aji mumpung.. Yaa..mumpung berkuasa, mumpung dapat mengatur anggaran, dan mumpung logis untuk beralasan mengenai kebutuhan peningkatan kinerja yang berbungkus muara ideal untuk warga. Makanya, jangan sampai dirinya terjangkit “wabah” laptop Thukul,” sahut Paidi yang masih sibuk membolak-balik halaman Metro Solo.

Sambil menerima bungkusan dari Simbok Sukinem, Rakiyo menambahi “Bila ditinjau dari sisi anggaran, duit yang akan diusulkan untuk pengadaan laptop ini kabarnya memang tidak besar. Tapi, dilihat dari nilai guna dan sensitivitas atas kondisi rakyat dewasa ini, usulan itu tidaklah tepat tho ya. Akan tampak lucu, sebab dengan perolehan gaji yang dikantongi setiap anggota dewan, mereka mampu membeli sendiri laptop ini. Kita bandingkan dengan bagaimana jeritan wong kecil saat terjadi kenaikan harga gula di kala bulan Ramadhan ini. Para pedagang warung kecil seperti Simbok Sukinem ini kebingungan mematok harga minuman. Segelas es teh, misalnya. Di jual seribu, tombok. Dijual seribu limaratus, kok kemahalan”.

Simbok Sukinem langsung teringat bahwa DPRD itu dipilih oleh rakyat. Harapan perempuan sepuh itu ialah agar dewan konsisten memperjuangkan aspirasi orang yang memilihnya dan bukan justru melukainya.

(Suara Merdeka, 31-08-2009)

Kaligrafi dan Biografi

Bandung Mawardi



Kaligrafi mengusung fragmen-fragmen penting dalam biografi panjang peradaban Islam. Kaligrafi sebagai manifestasi estetika dan religius menjadi tanda dari ikhtiar manusia untuk mencari dan mencapai sublimitas nilai-nilai tauhid. Kaligrafi merupakan seni menulis indah dalam tegangan religiositas, estetika, dan politik. Kaligrafi mengacu pada Al Qur’an sebagai ruh dan realisasi karakter estetika religius. Ismail R. Al Faruqi (1986) menilai bahwa kaligrafi adalah manifestasi sublim dari ungkapan estetika religius (tauhid).

Kaligrafi lahir dan tumbuh dalam otoritas religius, legitimasi politis, dan olah estetika sejak Dinasti Ummayah (661-750) sampai pada masa seni kaligrafi kontemporer di negara-negara muslim. Kaligrafi pada masa lalu memiliki pusat-pusat pengaruh di Damascus, Baghdad, Mesir, Turki, dan Persia. Kaligrafi dalam masa mutakhir mulai menunjukkan karakteristik estetika sesuai dengan latar kultural dan pengaruh seni rupa modern. Karakter-karakter itu ada dalam seni kaligrafi di pelbagai penjuru pusat-pusat peradaban Islam mulai dari Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika, Eropa, dan Asia Tenggara.

Kaligrafi sebagai manifestasi estetika religius tak luput dari tegangan politik dan kultural. Kasus fenomenal dalam eksistensi dan pertumbuhan kaligrafi terjadi di Turki pada abad XX. Tegangan itu merupakan akumulasi dari benturan referensi dan orientasi peradaban. Turki merupakan titik temu dari Timur dan Barat dengan retakan dan rentan konflik. Keputusan politik untuk program sekulerisasi dalam spirit Barat membuat seni kaligrafi mengalami represi dan marginalisasi. Kaligrafi dalam konteks politik sekuler adalah juru bicara agama. Peran dan pengaruh kaligrafi pun mendapat tindakan pembungkaman dan pengalihan status sebagai representasi pandangan tradisional atau ortodoks dalam progresivitas pembentukan negara modern.

Jejak-jejak dalam fragmen fenomenal itu dikisahkan dengan apik dalam novel Seniman Kaligrafi Terakhir (La Nuit Les Calligraphes) anggitan Yasmine Ghata. Novel itu merupakan narasi liris dalam perspektif kritis. Kaligrafi dalam masa sekularisasi Turki merupakan korban dalam konteks estetika, religiositas, dan politik. Refleksi kritis mengenai tegangan kaligrafi dalam sekularisasi Turki tampak dalam narasi ini: “Tuhan tidak tertarik pada abjad Latin. Napas-Nya yang padat tidak dapat meluncur di atas huruf-huruf berbentuk pendektambun yang terpisah-pisah itu. ‘Ataturk telah mengusir Tuhan dari negeri ini,’ kata para seniman kaligrafi berulang-ulang.”

Kaligrafi yang pernah menjadi puncak estetika religius di Turki tiba-tiba sekarat oleh politik dan sekularisasi. Represi dan peminggiran seni kaligrafi pada rezim Ataturk membuat seniman kaligrafi terluka. Seni kaligrafi mengalami nasib apes karena untuk eksis harus ada di ruang-ruang sempit dan mendapati stigma sebagai momok modernitas.

Keputusan politik untuk menggantikan bahasa Arab dengan bahasa Latin di Republik Turki pada tahun 1928 menimbulkan benturan-benturan keras. Nasib seni dan seniman kaligrafi pun berada dalam batas tipis hidup dan mati. Tokoh Rikkat (nenek Yasmine Ghata) dalam novel itu menuturkan pertaruhan nasib dari seniman-seniman kaligrafi atas nama estetika religius dalam represi politik dan kultural. Rikkat mengisahkan bahwa politik Ataturk membuat tangan-tangan seniman kaligrafi gemetar. Gemetar itu representasi dari gairah untuk hidup dalam ketakutan dan kebencian. Harga diri menjadi taruhan untuk eksistensi seniman kaligrafi.

Tokoh Selim (guru Rikkat) menjadi juru bicara dari kaum seniman kaligrafi di Turki. Selim adalah seorang saleh, ulet, dan pendiam. Selim memberikan diri dalam seni kaligrafi. Ritual religius adalah basis untuk seni kaligrafi. Ritual dilakukan dengan menciumi Al Quran secara khidmat setiap hari. Salim percaya bahwa ketika menulis kaligrafi berada dalam pengawasan ketat Rasulullah. Seni kaligrafi menjelma sebagai manifestasi keselarasan sabda dan gerakan tangan dalam orientasi tauhid. Represi politik membuat Selim bunuh diri sebagai proteksi dan resistensi. Kematian Selim itu dalam pandangan Rikkat adalah kematian dengan darah dingin.

Kisah tragis Selim menimbulkan pesimisme pada diri Rikkat untuk tekun menjadi seniman kaligrafi atau mengundurkan diri sejak dini. Kondisi zaman itu memberi ragu bahwa seorang seniman kaligrafi bakal susah hidup makmur karena ekspansi mesin cetak dan kuasa huruf Latin. Pilihan untuk menjadi seniman kaligrafi adalah ilusi mengenaskan. Pesimisme itu mendapatkan jawaban mumpuni dari Rikkart. Dalil untuk menjadi seniman kaligrafi: (1) resistensi kreatif seorang perempuan dalam rumah tangga; (2) ekspresi estetika religius; (2) meneruskan jalan atau alur seniman-seniman kaligrafi di Turki; (3) resistensi politis atas sekulerisasi.

Rikkat membuat putusan eksistensialis untuk melunaskan diri sebagai perempuan dalam kompleksitas estetika, religiusitas, keluarga, politik, dan kultural. Peristiwa fenomenal terjadi pada tahun 1936 ketika Rikkat memenangi ujian kaligrafi di Akademi Kesenian (Istanbul). Peristiwa itu memberi hak pada Rikkat untuk menjadi pengajar dengan kompensasi dilematis: kontrol politik dan pamrih pewarisan seni kaligrafi. Rikkat menganggap pengajaran kaligrafi di institusi pendidikan formal mungkin untuk memiskinkan seni kaligrafi, tunduk terhadap otoritas politik, dan pesimisme puncak-puncak kaligrafi dalam sejarah Turki.

Kaligrafi dalam biografi tokoh Rikkat mencakup dalam pengetahuan esoteris dan eksoteris. Otoritas Selim dan seniman-seniman tua memberikan gairah untuk Rikkat khusuk meleburkan diri dalam laku estetika religius. Pengalaman rohani selalu menjadi referensi penting untuk mencecap pengetahuan kaligrafi. Laku dalam menulis kaligrafi menuntut keintiman dan interaksi dalam gairah. Imajinasi (gagasan), peralatan kerja, dan tubuh adalah komponen ketat dalam menulis kaligrafi. Rikkat percaya bahwa laku religius menjadi basis untuk eksistensi seniman kaligrafi. Laku menulis kaligrafi menjadi akumulasi dari puncak ekspresi estetika religius dalam tegangan politik dan kultural.

Biografi Rikkat dalam novel itu merepresentasikan sekian perkara pelik dalam seni kaligrafi. Rikkat sebagai perempuan menjadi fenomena minoritas dalam tradisi seni kaligrafi. Rikkat sadar diri dalam posisi sebagai perempuan tapi kompetensi dan kapasitas membuat diri sanggup menempati posisi puncak sebagai seniman kaligrafi kontemporer papan atas. Rikkat juga harus menghadapi tegangan dalam kehidupan keluarga. Ikhtiar menjadi seniman kaligrafi mungkin jadi alasan instrumental dari dua kegagalan kehidupan rumah tangga Rikkat. Sekularisasi menjadi godaan besar untuk Rikkat menentukan putusan menjadi seniman kaligrafi atau mengundurkan diri dengan naif. Kondisi politik dan kebudayaan pun memberi tegangan untuk menekuni seni kaligrafi dalam ekstase estetika religius.

Kaligrafi sebagai tanda besar dalam sejarah peradaban Islammenemukan godaan-godaan mutakhir dalam abad-abad modern. Kaligrafi di Turki menjadi representasi pertarungan dan tegangan estetika, religiositas, dan politik. Annemarie Schimmel (1992) mengungkapkan bahwa kaligrafi dalam sejarah awal Islam adalah puncak pemahaman atas berkah huruf-huruf suci dalam Al Quran. Tradisi estetika religius itu perlahan mengalami pergulatan-pergulatan dalam konteks politik dan kultural. Kaligrafi menjadi akumulasi dari kompleksitas referensi dan orientasi dari alur tradisionalitas sampai modernitas. Begitu.



Dimuat di Lampung Post 13 September (2oo9)

Membaca Puisi dan Kota Solo

Oleh Bandung Mawardi



Membaca puisi bisa menjadi jalan alternatif udan reflektif untuk membaca kota Solo. Sejarah dan perubahan Solo secara dokumentatif bisa diketahui dari catatan-catatan resmi pemerintah, artikel, berita, laporan penelitian, novel, dan tulisan-tulisan yang lain. Puisi sebagai genre sastra memiliki karakteristik yang memungkinkan penyair menceritakan sesuatu dengan kapasitas kebahasaan dan sistem pemaknaan yang kompleks dan sublim. Puisi-puisi yang menceritakan Solo sebagai suatu nostalgia kota atau dokumentasi sosial kultural pada proses penulisan dan pembacaan mengandung suatu perbedaan pesan, kesan, dan tafsir.

Rendra menulis sebuah puisi yang mengingatkan pembaca pada ruang publik yang terkenal di Solo, Sriwedari. Puisi berjudul “Pasarmalam Sriwedari, Solo” mendeskripisikan tentang suasana pasar malam Sriwedari pada tahun 1970-an dan cerita orang-orang yang ingin menemukan hiburan, rekreasi, petualangan, atau sekadar iseng hadir tanpa maksud yang jelas. Rendra menuliskan puisi itu sebagai bentuk pengalaman ketika lama mukim di Solo.

Rendra menulis: Di tengah lampu aneka warna,/ balon mainan bundar-bundar/ rok-rok pesta warna,/ dan wajah-wajah tanpa jiwa, kita jagal sendiri hati kita,/ setelah telinga jadi pekak/ dan mulut terlalu banyak tertawa/ dalam dusta yang murah/ dan bujukan yang hampa. Sriwedari sebagai ruang publik dan pusat hiburan-kesenian pada masa itu memiliki kekhasan dalam pandangan masyarakat Solo. Pasar malam adalah keramaian acara, hiburan, orang, dan suasana. Pelbagai hiburan dihadirkan dari tradisional sampai modern. Para pedagang menjajakan dagangan dari makanan-minuman sampai mainan bocah.

Pengamatan Rendra terhadap pasar malam Sriwedari terasa kritis ketika menyebutkan ada “wajah-wajah tanpa jiwa” yang mengesankan terjadinya krisis batin dalam diri para pengunjung. Alasan yang biasa diajukan ketika orang datang ke pusat hiburan adalah mencari hiburan, makanan, rekreasi, melepas lelah, atau memenuhi keinginan-keinginan yang lain. Pandangan kritis yang disampaikan Rendra itu mengandung persoalan besar tentang kondisi manusia-manusia kota yang hidup dalam suatu sistem dan tatanan kota yang keras.

Seseorang yang mengalami hidup di kota tentu mendapati pengaruh dari sistem politik, ekonomi, dunia kerja, hubungan sosial, kriminalitas, dan hal-hal lain yang berlaku di kota. Seseorang yang tidak mampu mengatasi kondisi represif kota atau terpengaruh dengan janji-janji atau mimpi-mimpi indah kota tentu akan mengalami kekosongan batiniah. Hidup dijalani dengan pura-pura (dusta) dan menampakkan diri sebagai sosok manusia yang kehilangan jiwa, spiritualitas, pikiran kritis, atau kesadaran..

Deskripsi tentang kota Solo diceritakan dengan pembahasaan yang berbeda oleh Andrik Purwasito dalam puisi berjudul “Fragmen Kota Solo” (1986). Andrik menceritakan suatu perjalanan yang dilakukan dari daerah Sriwedari menuju Jurug dengan menggunakan bus tingkat. Alat transportasi bus tingkat itu dulu terkenal pada tahun 1980-an dan menjadi suatu kendaraan umum yang menyenangkan untuk melakukan perjalanan keliling kota atau untuk keperluan sekolah dan kerja. Bus tingkat itu sekarang sudah tidak ditemukan lagi di jalan-jalan kota Solo. Bus tingkat tinggal jadi kenangan.

Membaca puisi Andrik mengantarkan pembaca pada suatu ingatan lama dan perbandingan suasana kota Solo. Perubahan-perubahan besar yang terjadi di kota Solo memang membuat kita mungkin tercengang dengan sesuatu yang baru dan kehilangan yang lama. Perubahan Solo niscaya mengandung risiko negatif dan optimisme pertumbuhan kota yang positif dan konstruktif. Andrik dalam puisinya mengungkapkan pandangan yang mengusung sejarah dan keinginan untuk terjadinya perubahan kota. Andrik menulis: Bulan berseri./ Kota yang tak kenal usai/ Siapa pun kau cintai, biar rumput-rumput memerah/ Meskipun sebuah kerajaan besar hampir musnah/ Tak lapukkan semangat juang rakyat ‘ntuk berbenah.

Deskripsi mengenai proses perubahan kota Solo terungkap dengan kritis dalam puisi-puisi Wiji Thukul. Penyair ini lahir pada tanggal 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen Solo. Wiji Thukul menulis puisi “Jalan Slamet Riyadi Solo” (1991) untuk mengenang perubahan besar yang terjadi di sepanjang jalan Slamet Riyadi. Kenangan itu: dulu kanan kiri jalan ini/ pohon-pohon asam besar melulu. Kondisi itu berubah pada tahun 1990-an. Pohon-pohon itu semakin jarang ditemukan dan yang ada adalah kesemrawutan jalan dan kondisi pinggir jalan yang sesak. Wiji Thukul menemukan banyak perubahan besar. Perubahan yang ada adalah di pinggiran jalan Slamet Riyadi terdapat diskotik, taksi, dan gedung-gedung tinggi-besar.

Wiji Thukul juga menulis puisi “Pasar Malam Sriwedari” (1986). Puisi ini menceritakan tentang suasana pasar malam yang kerap diadakan di Sriwedari. Deskripsi yang dituliskan Wiji Thukul mengandung kritik sosial dan mengarah pada penceritaan orang-orang dari kelas bawah. Inilah kondisi pasar malam Sriwedari pada tahun 1980-an: bel karcis di loket/ pengemis tua muda anak-anak/ mengulurkan tangan/ masuk arena corong-corong berteriak/ udara terang benderang tapi sesak/ di stand perusahaan rokok besar/ perempuan montok menawarkan dagangannya/ di stand jamu tradisionil/ kere-kere di depan video berjongkok/ nonton silat mandarin.

Wiji Thukul denga jeli memberi informasi tentang kondisi dan ruang dalam pasar malam Sriwedari. Ada subjek-subjek yang jadi pusat perhatian penyair: pengemis, perempuan yang berdagang, dan kaum kere. Kondisi kontras terasa ketika dibandingkan dengan hal-hal berikut: stand perusahaan rokok, stand jamu tradisionil, dan video. Perbedaan nasib terjadi dalam peristiwa apa pun dan dalam ruang publik tempat pertemuan banyak orang. Perbedaan nasib itu manandakan ada klasifikasi sosial dalam struktur-tatanan hidup di kota.

Deskripsi menarik yang dituliskan Wiji Thukul adalah nasib kesenian wayang orang Sriwedari. Perubahan kota Solo terus membawa banyak bentuk hiburan modern (mutakhir) yang gampang diterima dan dinikmati masyarakat. Kesenian sebagai bentuk hiburan estetika dan sosial perlahan ditinggalkan oleh masyarakat dengan banyak alasan. Wiji Thukul menceritakan: di dalam gedung wayang wong/ penonton lima belas orang. Cerita itu menunjukkan kebangkrutan yang dialami oleh seniman wayang wong Sriwedari yang pada zaman dulu terkenal dan disukai masyarakat penonton. Kondisi tragis dan jumlah penontong 15 itu tentu tidak sebanding dengan ruang pertunjukkan yang besar, jumlah kursi banyak, dan jumlah penyaji pertunjukkan (seniman) yang banyak, petugas gedung, dan pedagang.

Membaca puisi-puisi yang ditulis oleh Rendra, Andrik Purwasito, dan Wiji Thukul bisa mengajak pembaca untuk melakukan pengingatan (rekonstruksi) atas Kota Solo pada tahun 1970-an sampai 1980-an. Kondisi itu cepat mengalami perubahan pada saat ini. Perubahan-perubahan itu adalah keniscayaan dari keberadaan kota dan pertumbuhan modernitas di Kota Solo. Kesadaran kritis yang ditemukan dalam puisi-puisi tiga penyair itu adalah adanya perubahan yangh diinginkan membawa risiko yang tragis dan menimbulkan ketimpangan masalah-masalah sosial kultural. Kota Solo yang sekarang berbenah layak untuk dilihat dan dinilai. Puisi bisa menjadi sebuah medium yang reflektif dan dokumentatif untuk mencatat perubahan-perubahan Kota Solo. Membaca puisi tentang Solo mengingatkan pembaca pada nostalgia kota dan menjadi suatu refleksi untuk mengangankan kondisi kota yang terus berubah. Begitu.



Dimuat di Joglosemar (6 September 2oo9)

Mobil Mendefinisikan Manusia

Bandung Mawardi



Mobil di negeri ini adalah diskursus terang dan gelap mengenai proses peradaban dan pemaknaan semiotis terhadap konstruksi identitas. Mobil telah memberi pengesahan secara artifisial terhadap laku ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan kultural. Biografi mobil telah melahirkan gagasan-gagasan besar atas nama perubahan alias kemajuan dalam jejak-jejak modernitas. Biografi identitas kultural manusia-manusia Indonesia dengan intim melekatkan diri dengan biografi mobil. Inilah lakon genit mobil dan manusia dalam tafsir ambiguitas.

Biografi Hindia Belanda mencatat bahwa pemakaian mobil di negeri jajahan ini sejak awal abad XX sudah terhitung banyak. Pada tahun 1938 telah terdapat 51.615 mobil di Hindia Belanda. Sejumlah 37.500 tersebar di kota kota di Jawa (Rudolf Mrazek, 2006: 25). Mobil di Jawa jadi simbol dari perayaan modernitas dengan sirkulasi modal dan pencapaian identitas kultural melalui ketegangan nilai-nilai Barat dan Timur.

Pemilik mobil di sebuah kota penting di Jawa adalah Paku Buwono X. Raja dari Solo ini memiliki mobil pada tahun 1907 dan mendahului kepemilikan mobil oleh Residen. Kepemilikan ini menandakan afirmasi keraton terhadap impian menjadi manusia modern. Mobil merupakan tanda besar selain makanan, pakaian, kereta, atau persenjataan. Raja memiliki mobil buatan Eropa berarti ada permainan simbolis untuk menguatkan kedudukan di mata kaum pribumi, Belanda, Eropa, dan Cina di Jawa. mobil sanggup mengisahkan kebesaran raja dan otoritas keraton dalam bayang-bayang kolonial dan modernitas. Mobil telah masuk dalam ranah klangenan.

Kuntowijoyo (2004: 31) mengungkapkan bahwa Paku Buwono X kerap bercengkrama (thedakan) ke berbagai pesanggrahan di luar kota. Prosesi ini mendapat pemberitaan di koran lokal sesuai perintah raja. Kepergian ke luar kota dengan memakai mobil tentu mengindikasikan ada perubahan makna terhadap identitas diri, jalan, perjalanan, dan konsep mobilitas diri.. Mobil tidak sekadar alat transportasi tapi menyuguhkan potensi-potensi imaji dan auratik untuk kepentingan raja. Mobil bisa mendefinisikan pemakai dan penonton sesuai dengan latar sosial dan kultural.

Imaji dan aura juga bisa ditafsirkan melalui foto Paku Buwono X di samping mobil jenis Daimler-Benz. Foto bersejarah ini termuat di buku Kratonkoetsen op Jawa. Foto itu memperlihatkan sosok raja dalam balutan pakaian kebesaran paduan Jawa-Eropa dengan pose gagah dan berwibawa. Mobil menjadi latar belakang dengan pose besar, tinggi, dan seksi. Foto ini mengesankan raja ingin mendapati makna lebih secara semiotis dari keberadaan mobil, pengawal, dan sopir. Definisi diri dengan logis bisa ditentukan dengan mobil. Raja telah merepresentasikan diri sebagai pemuka dari model konstruksi identitas kultural dalam percampuran Timur-Barat.

Mobil dalam konteks sosial dan kultural memang mengandung misteri dan impian. Kepemilikan mobil di Solo pun menyebar ke para pejabat kolonial, priyayi, pengusaha, dan tokoh-tokoh penting. Mobil-mobil bersliweran di jalanan dengan kegagahan dan keangkuhan di anatara para pejalan kaki, pengendara sepeda onthel, sepeda motor, kereta, atau kuda. Mobil menjadi argumentasi untuk mengukuhkan identitas dalam kalkulasi status sosial, ekonomi, politik, dan kultural. Mobil menjadi pembeda untuk permainan tanda dan makna dalam kepentingan identitas. Interaksi sosial secara simbolis terjadi dengan kemenangan dan kekalahan.

Satire terhadap perebutan makna identitas manusia dan mobil di jalanan diungkapkan dengan apik oleh Sulasno dalam lukisan kaca. Lukisan ini dijadikan ilustrasi sampul dalam buku John Pamberton dengan judul “Jawa” atau On the Subject of “Java” versi terjemahan Indonesia pada tahun 2003. Pembaca bisa mencermati bagaiman pola relasional antara dua tokoh pewayangan (lelaki dan perempuan) ketika mengendarai mobil jenis lawas berwarna merah dengan kap terbuka. Mobil itu tampak melaju dengan santai di atas jalan aspal mulus dan memukau. Lukisan itu telah mengatakan bahwa ada hubungan intim antara manusia dengan mobil untuk memaknai lakon zaman. Lukisan ini merupakan simbolisme dari pandangan kejawaan dan takdir modernitas untuk mengafirmasi atau menegasi.

Sejarah masa kolonial telah berlalu digantikan dengan perayaan modernitas dengan konsumsi mobil pelbagai merk dan pamor. Mobil melenggang di jalanan dengan tampilan sesuai pemilik dan model politik pencitraan. Pembedaan lekas terlihat dalam tanda-tanda tertentu kalau mobil itu milik presiden, menteri, pengusaha, polisi, artis, atau mahasiswa. Mobil dijadikan alat untuk membenarkan pamrih pemakai melalui merk, aksesoris, warna cat, kaca mobil, stiker, dan lain-lain. Mobil-mobil berdesakan di jalan membawa ego dan impian pemakai di antara keruwetan dan keramaian tanda di jalanan.

I.G.G. Maha Adi (Koran Tempo, 15 Agustus 2009) bahkan menyebutkan bahwa memiliki mobil telah memberikan dua hal penting: kebebasan dan kontrol. Frase “kecanduan mobil” diajukan Adi untuk l menandakan ada paradoks dan kontradiksi dalam mengelola kebebasan dan kontrol. Pelampauan batas fungsi mobil sebagai lata transportasi menyebabkan bias dalam pengukuran kesuksesan ekonomi-sosial dan pemujaan hedonisme. Fenomena banjir mobil dan kecanduan mobil diartikan Seno Gumira Ajidarma (2004: 6) sebagai fakta pembentukan “manusia mobil.” Manusia mobil mengalami kehidupan di tiga dunia: rumah, kantor, dan mobil. Inilah biografi manusia-manusia sukses di kota Jakarta sebagai sebab dan korban dari kapitalisme dan kemacetan jalan.

Mobil menjelma dunia tersendiri dengan tingkat konsumsi dan realisasi hasrat cinta buta. Identitas kultural dipertaruhkan dalam manipulasi dan jagat artifisial karena masuk dalam pasar tanda melalui kompensasi ekonomi-sosial. Mobil adalah diskursus besar untuk hari ini ketika manusia mulai kebingungan membangun relasi diri dengan mobil. Fenomena riil mengesankan bahwa manusia luluh dan kehilangan otoritas memaknai identitas diri. Ketergantungan atau kecanduan manusia terhadap mobil justru menunjukkan peran mobil mendefinisikan manusia. Begitu.



Dimuat di Koran Tempo (6 September 2oo9)

Ironi Negeri Sinetron

Bandung Mawardi



Negeri ini negeri sinetron. Barangkali kebenaran ini susah terbantahkan. Populasi sinetron tak pernah habis meski mendapat protes atau teguran. Publik penonton menjadi “korban” dan “pecandu” meski ada kelompok kecil pemrotes. Hak publik dalam bentuk kritik nyaris tidak bisa jadi argumentasi untuk perubahan-perubahan signifikan. Televisi terus melenggang dengan suguhan sinteron-sinetron murahan dan picisan.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kerap mengajukan teguran terhadap pelbagai tayangan parah di televisi tapi kurang memiliki kekuatan hukum dan susah diperkarakan ke pengadilan. Sifat teguran lalu sekadar jadi suara lirih di antara keriuhan jagat hiburan di Indonesia. KPI memang telah melaksanakan mandat tapi tak memiliki senjata dan argumentasi ampuh untuk menjatuhkan atau mematikan program televisi tak bermutu alias destruktif. KPI berbekal UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3-SPS) memang memiliki hak untuk mengeluarkan sanksi mengacu pada tingkat pelanggaran. Sanksi itu kerap dikeluarkan tapi tak membuahkan hasill maksimal karena pengelola televisi cerdik untuk mengakali dengan pelbagai dalih dan cara.

Kegagalan meruntuhkan kuasa televisi sampai pada penjebolan sakralitas Ramadhan sebagai bulan suci. Daftar sinetron belum menunjukkan perubahan untuk meninggikan martabat dan kualitas dalam cerita dan pengemasan. Sinetron bahkan nekat menyerbu penonton pada jam-jam keluarga tanpa malu. Sinetron dijadikan program andalan untuk pamrih ekonomi. Fakta ini membuktikan bahwa komodifikasi Ramadhan melalui sinetron telah menjelma petaka.

Ramadhan tak mampu menjadi momentum peringatan pada televisi untuk mengurangi atau menghentikan tayangan sinetron. Kasus pada bulan-bulan lalu menyebutkan bahwa ada teguran keras terhadap sinetron Inayah, Muslimah, Sakina, Mualaf, Kasih dan Asmara, dan lain-lain. Bulan Ramadhan ini serbuan sinetron semakin kentara memakai permainan semiotik melalui judul, cerita artifisial, dan visualisasi. Penonton eksplisit diakali dengan labelitas sinetron islami untuk mengesankan ada kesesuaian dengan momentum Ramadhan.

Sinetron Manohara, Cinta Fitri, Isabela, Amira, dan lain-lain hadir dengan sentuhan-sentuhan agama (religi) tapi terkesan memperalat simbol-simbol agama demi pamrih komersialisasi. Model ini justru menjadi bukti penonton rentan dengan operasionalisasi pengibulan dan represi religi oleh sinteron. Publik bakal kelimpungan untuk mencari pihak atau lembaga kontrol terhadap kebobrokan kualitas sinetron di Indonesia. Peran KPI memang diaktualisasikan tapi tidak mampu melakukan kontrol penuh karena kekurangan dana dan tenaga. Lumrah saja jika sinetron-sinteron itu masuk rumah penonton selama Ramadhan dengan genit dan menabrak etika religius.

Kebobrokan sinteron ini malah jarang mendapat perhatian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga kontrol moraliltas. Berita-berita terakhir menyebutkan MUI sibuk mengurusi program The Master dan pengemis untuk diberikan fatwa haram. MUI memang tidak memiliki hak untuk menghabisi sinetron tapi memiliki otoritas untuk mengeluarkan himbauan pada umat tentang sihir sinetron. Ajakan untuk insaf dan kritis dalam menikmati sinetron mungkin patut jadi tema pengajian (dakwah) dengan kepentingan penyadaran.

Televisi itu candu. Sinetron itu candu. Ironi ini susah diakhiri karena ada hubungan-hubungan rumit dalam jagad pertelevisian dan tingkat kesadaran penonton sebagai konsumen pasif. Tema-tema besar dan relevan dalam televisi kerap tertutupi oleh candu sinetron. Publik terlena dengan cerita-cerita penuh konflik dan anti edukatif. Ekspresi kekerasan jadi menu primer dalam adegan memaki, menendang, menampar, menginjak, memukul, dan lain-lain. Bahasa dipoles dengan misi-misi destruktif dan represif. Sebaran pengaruh psikologis dan sosiologis dengan mudah menunjukkan efek negatif. Kesadaran terhadap etika religius pun dikibuli oleh jargon-jargon murahan dan manipulasi cerita kehidupan.

Bulan Ramadhan tahun ini di negeri besar ini masih dipenuhi dengan ritus-ritus televisi. Sakralitas mengalami reduksi oleh ritus menonton sinetron. Kekhusukan di depan televisi mungkin mengalahkan kekhusukan ibadah. Tanggapan kritis memang penting diajukan tapi perangkat hukum juga mesti bisa jadi pengharapan untuk memberi kelegaan pada pemrotes. Sanksi dalam bentuk keputusan hukum harus ada dengan kepentingan menyelamatkan jagad rasionalitas penonton agar tidak mengalami kejahiliahan karena sinetron.

Sinetron memiliki madu dan racun. Gairah penonton di Indonesia mungkin tanpa sadar cenderung memilih racun. Ironi ini tidak mungkin diakhiri karena sinetron memiliki publik besar. Hukum pasar berlaku dan agenda sinetron tidak kehilangan lahan untuk mengeruk uang dengan manipulasi jahiliah pada penonton. Negeri ini memang ganjil. Apakah presiden tahu masalah ini? Apakah parlemen juga mengurusi masalah sinetron? Barangkali mereka tak memiliki perhatian sebab pada momentum pemilu tak ada isu sinetron atau televisi dalam kampanye.

Sinetron apakah patut jadi musuh dalam proses negeri ini untuk memiliki martabat dan adab? Sinetron bukan musuh tapi modal untuk mengerti tentang tipologi bangsa dan mesti dikonstruksi dalam agenda progresif. Umat penonton sinetron adalah keluarga kita. Mereka menjadi kelompok penentu untuk membuat negeri ini bangkrut atau sehat dalam rasionalitas dan religiositas. Begitu.



Dimuat di Suara Merdeka (1 September 2oo9)

Mengabarkan Tak Mengaburkan

Bandung Mawardi



Judul : Kolam

Penulis : Sapardi Djoko Damono

Penerbit : Editum, Jakarta

Cetak : 2009

Tebal : 120 Halaman



Puisi belum mau redup.. Barangkali ini dalil yang diusung Sapardi Djoko Damono dalam penerbitan buku puisi Kolam yang menyuguhkan 51 puisi naratif dan liris. Puisi-puisi Sapardi masih ingin mengabarkan kisah-kisah hidup tanpa harus mengaburkan dengan kerumitan bahasa atau kecerewetan filsafat. Kata-kata dihadirkan untuk kabar hidup dan menyemaikan makna.

Sapardi masih tekun mencatat peristiwa-peristiwa kecil sebagai bab tak terlupakan dari lakon besar kehidupan manusia. Peristiwa dinikmati dengan olahan kata untuk pertaruhan imajinasi dalam tegangan kenaifan dan pembukaan tabir hidup antara fakta dan fiksi. Puisi bicara dengan kesanggupan membuat hidup tak selesai sebagai peristiwa. Permainan makna menjadi penentu kenikmatan merasai hidup dalam deretan panjang peristiwa.

Puisi “Sonet 12” adalah contoh kebersahajaan menanyakan kembali lakon hidup dalam permenungan kecil. Puisi jadi medium untuk mengajukan tanya dengan dalil dan dalih eksistensi tanpa absolutisme. Simaklah: Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca, / tak ada huruf kapital di awalnya. Kalimat awal ini ajakan untuk pembaca agar mafhum dengan kesadaran kritis melalui kata “ternyata”. Kehadiran kata ini seperti ingin mengingatkan kembali dengan aksentuasi yang membenarkan atau membuktikan.

Pola kalimat ini jadi ciri penyair yang menekuni puisi sebagai representasi dan realisasi bahasa. Kebersahajaan tapi mengejutkan adalah kelihaian dalam permainan bahasa. Pengingatan perjalanan hidup tanpa tanda baca dan ketiadaan huruf kapital menjadi kesadaran yang menantang kelaziman sebagai kodrat biasa. Sapardi mengingatkan ada hal tak biasa dari keimanan manusia tentang pelbagai hal sebagi kebiasaan karena intensitas dalam pengulangan. Konklusi kecil jadi penguatan “Sonet 12” sebagai puisi permenungan: Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada. Keraguan jadi lambaran untuk menanyakan hidup tanpa mesti tergesa mengajukan jawaban.

Puisi-puisi permenungan tampak menempati kedudukan penting dalam buku puisi Kolam dengan fakta ketelatenan laku estetis penyair dan pematangan usia sebagai seorang tua. Tendensi permenungan ingin mengental sebagai lanjutan dari jejak-jejak puisi masa lalu sejak DukaMu Abadi (1969). Puisi-puisi awal Sapardi dengan kuat menjadi percikan permenungan tanpa jatuh sebagai khotbah atau propaganda moral. Kebersahajaan justru membuat puisi memiliki kodrat kekal sebagai acuan membaca dan menilai hidup. Buku puisi Kolam mungkin penyempurnaan lanjut dari kekhusukkan Sapardi memerkarakan peristiwa dan mengekalkan makna. Peyempurnaan lanjut ini seperti bibliografi dari kelahiran buku-buku puisi pada masa lalu. Kolam bukan konklusi akhir tapi bibliografi terbuka.

Permenungan bersahaja kentara dalam puisi pembuka “Bayangkan Seandainya” yang mengingatkan pembaca pada tipikal pengucapan puitik dari Sapardi: Bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini/bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit yang sedikit/berawan, yang menabur-naburkan angin di sela bulu-bulunya. Keakraban penyair tampak dari pola relasional antara manusia dan tanda-tanda alam. Kehadiran dan peran menentukan nasib yang niscaya berubah dengan kesadaran prediksi atau lepas sebagai ketundukkan atas kekuasaan dan kekuataan yang lebih besar.

Sapardi dengan puisi-puisi sahaja tidak memiliki tendensi untuk menciptakan fiksi bombastis. Pengalaman jadi acuan untuk mengabarkan dengan konstruksi kata dan narasi yang tak luput atau mrucut dari kelumrahan tapi dimungkinkan menjadi fiksi mengejutkan. Sapardi dalam proses kreatif kerap mengakui memiliki tradisi untuk sadar dengan pengalaman. Kesadaran itu tak tergesa untuk dituliskan pada saat teralami tapi menemukan pengolahan reflektif dalam jeda agar kabar tak jadi kabur.

Puisi dengan anutan pengalaman itu kentara dalam puisi “Laki-laki yang Pekerjaannya Mengorek Tempat Sampah”, “Hari Ulang Tahun Perkawinan”, “Waktu Ada Kecelakaan”, “Anak Kecil”, atau “Secangkir Kopi”. Pengalaman atas peristiwa-peristiwa kecil dan biasa itu menjelma puisi reflektif tanpa nasihat-nasihat murahan. Sapardi justru ingin mengesankan itu sebagai kabar lain dari pembedaan terhadap stereotipe pembahasaan peristiwa sebagai informasi biasa. Kabar dalam puisi-puisi Sapardi adalah ikhtiar mengekalkan tanpa mengabaikan informasi sebagai dalil untuk percaya atau tidak percaya.

Puisi “Secangkir Kopi” mungkin patut jadi pembuktian keinginan mengekalkan pengalaman atas peristiwa: Secangkir kopi yang dengan tenang menunggu / kauminum itu tidak pernah mengusut kenapa kau bisa / membedakan aromanya dari asap yang setiap hari kauhirup / ketika berangkat dan pulang kerja di kota yang semakin tidak / bisa mengerti kenapa mesti ada secangkir kopi yang tersedia di / atas meja setiap pagi. Ini puisi keseharian tapi menjelma sebagai kesahihan kata dan makna untuk mengekalkan fragmen-fragmen hidup.

Usia tua tak membuat Sapardi redup dalam melakukan eksplorasi estetik dalam ranah lahirian dan batiniah. Puisi jadi pengucapan unik untuk menyemaikan tafsir atas benih-benih makna dari yang sepele sampai yang kompleks. Eksplorasi estetik jadi suguhan mengejutkan dalam pemberian judul. Sapardi tampak “cerewet kecil” dengan memberi judul panjang yang belum tentu menggamblangkan isi. Bacalah judul puisi itu dengan nafas panjang: Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul di Kompleks, yang Selalu Berjalan Menunduk dan hanya Sesekali Menawarkan Dagangannya dengan Suara yang Kadang Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya Berapa Harganya Dikatakannya, “Terserah Situ Saja ...” Judul panjang mengejutkan tapi jadi tak mengejutkan ketika pembaca membaca khusuk menikmati 12 fragmen yang diajukan mengenai lakon pisau. Sapardi memang ingin sedikit genit tapi tak pelit untuk mengabarkan lakon hidup dalam puisi yang prosaik. Begitu.



Dimuat di Lampung Post (30 Agustus 2oo9)

Wong Jawa: Membaca dan Menulis!

Bandung Mawardi



“Siapa saja yang ingin menjadi wong Jawa harus membaca dan menulis.” Kalimat dengan pesan imperatif ini disampaikan dengan kalem oleh Suparto Brata dalam diskusi Wong Jawa Ilang Jawane di Solo pada 14 Juni 2008. Laku membaca dan menulis diklaim Suparto Brata sebagai pengalaman jadi wong Jawa. Ungkapan relasional tentang wong Jawa dengan tradisi membaca dan menulis memang cukup mencengangkan pada hari ini ketika sekian orang sibuk mencari definisi, memerkarakan identitas hibrida, atau tafsir klise tentang takdir kekuasaan Jawa.

Apakah ciri substantif orang Jawa adalah membaca dan menulis? Pertanyaan ini muncul oleh pengakuan Suparto Brata sebagai pengarang mumpuni dengan puluhan buku sastra dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Afirmasi sebagai wong Jawa terselamatkan dan menjadi produkitf ketika orang mau menekuni tradisi membaca dan menulis.. Kebenaran memang terkandung dalam ungkapan kalem itu jika publik mau membuka kembali lembaran-lembaran kepustakaan Jawa dari zaman kakawin, babad, serat, kidung, sampai adopsi dan eksplorasi terhadap struktur tulisan modern dari peradaban Timur dan Barat.

* * *

Peran dan kerja keras P.J. Zoetmulder pantas dijadikan bukti kesuntukkan pujangga Jawa untuk mencatatkan konstruksi wong Jawa dalam arus zaman. Penulisan teks-teks sastra dan sejarah membuat pelacakan terhadap deskripsi dan analisis tentang wong Jawa memiliki jejak dan tanda. Laku para pujangga merepresentasikan nubuat untuk generasi lanjutan mengenai kodrat menemukan biografi historis dan kultural dalam konteks Jawa. pembacaan terhadap teks-teks lawas tentu jadi mekanisme menghidupkan memori kolektif dengan impresi dan implikasi.

Buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983) merupakan buku babon untuk penelusuran teks-teks Jawa dalam dialektika zaman. Zoetmulder telaten mengurusi naskah-naskah Jawa kuno untuk ikhtiar merekonstruksi jagad kultural dan estetika Jawa melalui bahasa tulisan. Naskah tertua diperkirakan muncul pada abad IX dalam bentuk kakawin tentang epos Ramayana. Naskah-naskah kuno menjadi “monumen bahasa” untuk dinikmati dengan laku membaca dan menulis. Monumen bahasa lalu terwariskan dalam tingkat keawetan yang mungkin melebihi candi, rumah, gapura, atau prasasti.

Zoetmulder menghadirkan pada pembaca daftar panjang tentang laku kreatif pujangga-pujangga Jawa untuk mengungkapkan ide-ide religiositas, estetika, etika, politik, dan kultural. Pilihan terhadap bahasa tulis membuktikan bahwa tradisi aksara sejak lama hidup dan disemaikan di Jawa sebagai bentuk konsekuensi menggerakkan peradaban. Pengekalan jejak historis dan nubuat dalam naskah adalah pertaruhan diri untuk menjadi manusia. Menulis merepresentasikan kesadaran dan strategi kultural untuk pengukuhan eksistensi dan pengajuan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan zaman.

Publik perlu membuka kembali khazanah Jawa dalam naskah Ramayana, Arjunawiwaha, Gatotkacasraya, Samardahana, Bhomantaka, Arjunawijaya, Sutasoma, Negarakretagama, Lubdhaka, dan lain-lain. Naskah-naskah kuno itu mengandung informasi fiksionalitas dan fakta mengenai lakon manusia dalam dialektika zaman. Kehadiran naskah tentu membuat ingatan atas sejarah atau identitas biografi kultural menemukan titik sambung pembayangan terhadap asal-usul dalam keterpengaruhan peradaban-peradaban besar di Tanah Jawa.

Pengaruh peradaban India tampak kentara dalam naskah-naskah Jawa kuno. Perjumpaan peradaban membuat konstruksi identitas tak permanen tapi inklusif untuk perubahan. Laku para pujangga membuktikan ada karakter elegan untuk menjalani lakon kultural dalam tegangan otentisitas dan akulturalisme. Jejak panjang pengaruh India terus terasakan sampai hari ini. Pembacaan atas naskah-naskah Jawa kuno tentu mengesankan ada kemungkinan kerepotan menguraikan ambiguitas wong Jawa dan kerumitan dalam pewarisan identitas kultural Jawa.

* * *

Orang Jawa hari ini justru dihadapkan pada pilihan tema-tema besar dan kuasa teks dari pelbagai sumber Timur dan Barat. Teks ikut menentukan kehadiran wong Jawa dan proses kehilangan kejawaan melalui negasi dan afirmasi dari progresivitas peradaban global. Pemahaman identitas lokal menjelma tema pinggiran dan lekas terhapuskan oleh konsensus tentang manusia kosmopolitan. Pengesahan kerepotan merumuskan identitas manusia hari ini kentara ditentukan oleh kuasa teks, permainan tafsir, dan operasionalisasi ideologi teks melalui ranah politik, ekonomi, teknologi, atau seni.

Perkara identitas orang Jawa pada hari ini mengandung dilema dan ambiguitas dalam batas tegangan tradisionalitas dan modernitas. Pengajuan jawab melalui jejak dan tanda tradisi kelisanan tentu tidak menjadi rumusan utuh. Kesadaran atas tradisi pustaka adalah penggenapan untuk membaca ulang dan merumuskan diri kembali sesuai dengan takdir zaman. Kesadaran pustaka justru melemah karena kelengahan dalam menghadapai mode zaman. Fase tulisan seperti diloncati dengan kultur audio-visual untuk penguatan tradisi kelisanan. Barangkali godaan besar ini menyebabkan wacana wong Jawa ilang jawane kehilangan jejak referensial melalui teks kultural.

Dokumentasi pustaka sebagai sumber pengetahuan menjadi keniscayaan untuk tak sekadar menerima kodrat normatif.. Suparto Brata mengistilahkan sebagai kodrat weruh lang krungu (melihat dan mendengar). Menulis adalah strategi ampuh untuk sadar pengetahuan. Kesadaran ini dibuktikan oleh kerja keras para pujangga Jawa meski dalam fragmen zaman ini kerap terlupakan atau sekadar dijadikan album nostalgia lama tanpa pesan kontekstual. Pesimisme atas peran kepustakaan dalam pewacanaan identitas kultural Jawa perlu diklarifikasi dengan kehadiran data dan tafsir mutakhir.

* * *

Ikhtiar menghidupkan kerja literer pujangga Jawa pernah dibuktikan oleh Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja dalam buku Kepustakaan Jawa (1952). Buku ini menghadirkan sinopsis atas teks-teks literer Jawa lama dan ulasan pendek. Peran buku ini signifikan untuk pengekalan dan pewacanaan atas tradisi aksara dalam peradaban Jawa. Ensiklopedia naskah Jawa membuktikan tingkat peradaban dan karakteristik orang Jawa terhadap eksplorasi lakon hidup dalam aksara. Tradisi itu mengalami tragedi ketika zaman berubah dalam kecepatan tinggi dan dijalankan dengan hukum dominasi. Kepustakaan Jawa lalu jadi bab kecil di antara bab-bab besar jagad teks kontemporer.

Ungkapan wong Jawa ilang jawane mungkin menemukan pembenaran ketika tradisi membaca dan menulis memang diabaikan dan hilang. Kesadaran aksara ini mengalami titik kritis ketika kebijakan politik kebudayaan dari negara tidak memberi akses dan merestui tradisi membaca-menulis. Pemanjaan kultural dalam ideologi konsumsi justru melemahkan kepemilikan identitas kultural Jawa. Menulis bisa jadi subversi untuk tak kalah atau terkooptasi oleh kuasa zaman. Barangkali untuk menjadi wong Jawa memerlukan syarat kunci dalam laku membaca dan menulis. Begitukah?



Dimuat di Jawa Pos (30 Agustus 2oo9)

Geger Membaca Berger

Bandung Mawardi

Judul : Peter L. Berger (Perspektif Metateori Pemikiran)

Penulis : Geger Riyanto

Penerbit : LP3ES

Cetak : 2009

Tebal : xiv + 254 Halaman



Pemikiran-pemikiran Peter L. Berger sudah sejak lama dikenal dan diperkarakan dalam diskursus ilmu sosial di Indonesia. Perjemahan buku-buku Berger dengan gencar dilakukan oleh LP3ES dibarengi dengan sebaran artikel-artikel oleh para pakar di jurnal, majalah, dan koran penting. Tebaran pemikiran Berger pun mendapati antusiasme dari pelbagai kalangan dengan perspektif plural dari sosiologi sampai filsafat. Berger telah menjadi berkah tapi lekas redup sebagai acuan dari pergulatan wacana ilmu sosial mutakhir.

Jejak-jejak Berger memang masih tercatat dalam sejarah pemikiran ilmu sosial di Indonesia meski sudah ditumpuki oleh tokoh-tokoh mutakhir dengan gagasan-gagasan progresif. Jejak-jejak Berger itu menjadi alasan bagi Geger untuk melakukan pembacaan ulang dan perumusan kontribusi signifikan dari Berger. Buku ini jadi bukti dari ketekunan Geger membaca Berger dalam tradisi ilmiah tapi tidak ketat dalam permainan bahasa.

Geger dalam prakata mengungkapkan bahwa pemikiran Berger menjadi pintu masuk untuk ketekunan menggarap studi identitas dan kebudayaan. Resepsi ini lalu dibandingkan dengan pemahaman sekian dosen dan sosiolog terhadap wacana Berger dan kondisi ilmu sosial di Indonesia. Geger menemukan konklusi bahwa konstruksi sosiologi masih rentan dengan kebimbangan untuk menemukan akar dan fondasi di antara godaan-godaan kekuasaan dan lakon genit dari modernitas di negara berkembang. Geger pun dengan eksplisit mengajukan buku ini sebagai ikhtiar mendeskripsikan dan menganalisis secara metateori dalam tegangan perdebatan sosiologi.

Metaterori diartikan dalam studi ini sebagai kebutuhan untuk memberikan pemetaan terhadap pluralisitik horizon pemikiran sosiologi. Berger ditempatkan sebagai tokoh dengan kerimbunan pemikiran dalam mengantarkan menu sosilogi dan masuk dalam perdebatan panjang sosiologi. Berger identik dengan teori-teori sosiologi pengetahuan dengan orientasi kefilsafatan. Peran Berger menjadi penting karena pergulatan wacana sosiologis pada masa 1970-an dan 1980-an bergerak pada sekian arah dengan konsekuensi-konsekuensi persemaian dan keruntuhan sosiologi. Berger menampatkan diri sebagai sosok pelawan arus pemikiran dominan pada masa itu meski terseret dalam bias sosiologi pengetahuan.

Kontribusi penting Berger ditunjukkan dengan publikasi buku The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sosiology of Knowledge (1966). Buku ini dikerjakan bersama Thomas Luckman. Berger melalui buku ini mengajukan gagasan perubahan dalam sosiologi pengetahuan: (1) Berger menganggap sejarah perkembangan gagasan dan ideologi merupakan bagian kecil dari wacana sosiologi pengetahuan dan (2) sosiologi pengetahuan merupakan ilmu dengan konsentrasi pada hubungan antara konteks sosial dan pengetahuan manusia.

Geger dengan deskripsi matang menempatkan posisi pemikiran Berger dalam rentetan kehadiran tokoh dan pemikiran kunci sosiologi. Berger sengaja dijadikan sebagai bab penting untuk menunjukkan pemetaan tentang rumusan-rumusan dari perdebatan sosiologi. Berger mendapat apresiasi positif meski dalam sejarah sebaran pemikiran kerap mendapat kritik dan penolakan. Geger pun jeli membuat perbandingan dan semacam penguatan (pemihakan?) atas posisi pemikiran Berger.

Asumsi kunci dari Berger seperti jadi kunci bagi Geger untuk petualangan dalam lakon sosiologi pengetahuan. Berger mengasumsikan bahwa realitas dan pengetahuan adalah hasil dari konstruksi sosial. Konstruksi itu terbentuk melalui proses institusionalisasi, legitimasi, dan sosialisasi. Proses institusionalisasi adalah pembentukan pola, aturan, atau peran di antara kelompok orang. Legitimasi menjadi pengesahan dalam penjelasan-penjelasan secara logis terhadap proses institusionalisasi. Proses lanjutan adalah institusi dipertahankan dengan disosialisasikan pada anggota-anggota baru dalam kelompok sosial.

Geger dalam buku ini sanggup memberi penjelasan kritis terhadap pemikiran kunci Berger. Geger terbukti telaten dalam membaca dan menafsirkan Berger dalam kerangka besar sosiologi pengetahuan. Teori konstruksi sosial adalah perkara esensial dal;am sosiologi pengetahuan. Teori ini ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan besar: Bagaimanakah proses terkonstruksi realitas dalam benak individu? Bagaimana sebuah pengetahuan dapat terbentuk di tengah-tengah masyarakat?

Geger dengan takzim memberikan penjelasan dan mengajukan contoh untuk menopang gagasan Berger. Geger sampai pada afirmasi terhadap implikasi pemikiran sosiologi pengetahuan dari Berger: penjelasan sosiologis harus bisa menjelaskan realitas sosial dalam sifat subjektif dan objektif. Penjelasan sosiologis adalah ikhtiar mengintegrasikan antara dimensi makro dan mikro dari fenomena sosiologi. Geger telah mengantarkan pembaca pada fragmen penting mengenai kontribusi Berger tanpa ada penjlimetan atau kecerewetan tafsiran.

Kerja intensif mengurusi pemikiran-pemikiran Berger oleh Geger sampai pada konklusi dan kritik. Geger mengakui bahwa pemikiran Berger memiliki posisi khusus dalam sosiologi. Tuduhan dan pemetaan dari para ahli sosiologi terhadap peran Berger dalam arus pemikiran dengan paradigma individual ditolak oleh Geger. Pemetaan itu jelas menafikan konsentrasi Berger dalam membaca dan menilai manusia dengan teori konstruksi sosial. Geger menganggap Berger telah melampaui paradigma invidualis tapi secara gamblang posisi Berger susah dikategorikan oleh kritik dan bias atas sosiologi pengetahuan. Buku ini diakhiri dengan keberanian Geger dengan pelbagai pertimbangan logis untuk menjuluki Berger sebagai pemikir realisme-konstruktivis. Begitu.



Dimuat di Seputar Indonesia (23 Agustus 2oo9)

Mereproduksi Kejawaan

Bandung Mawardi



Niels Mulder merupakan tokoh penting dalam studi Jawa dengan tendensi pendekatan antropologi tapi inklusif untuk pendekatan multiperspektif. Ketekunan dan kerja keras untuk memerkarakan Jawa tampak dari sekian publikasi tulisan: Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (1973), Jawa-Thailand: Beberapa Perbandingan Sosial Budaya (1982), Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (1984), Pribadi dan Masyarakat di Jawa (1985), Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia (2001), Ruang Batin Masyarakat Indonesia (2001), dan Di Jawa: Petualangan Seorang Antropolog (2007). Publikasi penelitian-penelitian itu membuat Mulder mendapati pengakuan sebagai ahli Jawa dengan otoritas keilmuan dan pengalaman sosial-kultural secara intensif dan empati di Jawa.

Konklusi Mulder (2007) mengenai lakon Jawa menampakkan pandangan kritis dan patut disadari sebagai tanda seru atas perubahan sosial-kultural di Jawa. Mulder mewartakan gelisah dan satire atas Jawa pada tahun 1990-an dengan tarikan perbandingan pada tahun 1960-an akhir. Satire ini hadir mengacu pada studi intensif dan representasi pengalaman diri selama tinggal di Jawa. Mulder mengungkapkan bahwa proses perubahan masyarakat secara terbuka pada masa Orde Baru membuat identitas Jawa menjadi kabur untuk pengamat dan publik Jawa sendiri. Perubahan terbuka itu tampak dari afirmasi atas ideologi dan perilaku konsumsi masyarakat Jawa mulai dari materi sampai jagad nilai.

Satire atas identitas Jawa menjadi kabur tentu bukan celotehan murahan tapi akumulasi dari catatan panjang dari fragmen-fragmen Jawa pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Identitas Jawa tentu tak bisa bebas dari pengaruh kekuasaan sebagai sumber dan pemicu gerak perubahan. Ideologisasi dan operasionalisasi mesin politik menentukan mekanisme proteksi dan konstruksi etnisitas. Ikhtiar memiliki identitas kultural Jawa lalu berhadapan dengan kekuasaan untuk menerima atau melakukan resistensi tapi rentan mengalami nasib tragis. Kekuasaan membuat tegangan sosial-kultural mengandung konflik, deviasi, dan derivasi tanpa ada jaminan untuk keutuhan-kemutlakkan dalam substansi identitas.

Jawa dalam Orde Lama dan Orde Baru adalah lakon terbuka untuk mengalami perubahan dengan kontrol kekuasaan. Perubahan terjadi dengan penemuan dan kehilangan. Identitas Jawa menjadi pertaruhan untuk menemukan legitimasi secara politik atau kultural. Kerja politik selalu memberi tawaran menggoda untuk mengusung nasionalisme tapi tak bisa utuh dalam memberi janji dan orientasi. Kerja kebudayaan mungkin jadi pilihan tapi kerap gagal atau terhalangi oleh realisasi konstitusi dan kesadaran politis atas nama institusi dan revolusi atau pembangunan. Identitas rentan pecah dan kabur ketika mencapai pada titik kritis karena ketidaksanggupan memberi arti pada kekosongan kultural.

Satire dari Mulder mungkin menempuh jalan kecil untuk mengingatkan dan memberi kesadaran reflektif. Mulder mengungkapkan: “Pengaruh baru telah tiba di panggung kultural. Kebudayaan konsumer yang berorientasi ke segala sesuatu yang asing, kebudayaan yang mendevaluasi warisan lokalnya dan membuang masa lalu sedang menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berarti. Dalam cara demikianlah Yogyakarta kehilangan peranan sebagai pusat kebudayaan dalam pengertian memproduksi dan mereproduksi kejawaannya.”

Kutipan ini mengambil kasus Yogyakarta tapi mungkin juga terjadi di Solo dan pusat-pusat kebudayaan lain. Kepudaran pusat kejawaan memang menandakan ada pola sebaran dan keruntuhan dominasi. Pemaknaan atas kehilangan peran mungkin cenderung berlebihan tapi mengesankan ada fakta dan argumentasi kokoh untuk pengajuan perspektif. Yogyakarta memang kentara mengalami perubahan besar dalam pelbagai hal mengacu pada rentetan sejarah dan proses menjadi Jawa atau meninggalkan Jawa. Yogyakarta mengalami proses perubahan dengan tegangan acuan untuk politik pusat dan kebudayaan nasional atau tendensi untuk memihak kejawaan sebagai representasi etnisitas. Bentuk dan mekanisme perubahan itu diwartakan dengan apik dan kritis oleh Selo Soemardjan dalam buku Perubahan Sosial di Yogyakarta (1981). Buku Kota Yogyakarta 1880-1930: Sejarah Perkembangan Sosial (2000) garapan Abdurrachman Surjomihardjo juga patut jadi referensi membaca Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Refleksi substantif dari Mulder adalah model memproduksi dan mereproduksi kejawaan. Model ini mengingatkan pada publik Jawa tentang kerja dan laku aktif untuk kepemilikan identitas atau proteksi diri terhadap serbuan identitas global melalui ideologi konsumsi. Publik Jawa mungkin lupa terhadap keharusan memproduksi kejawaan ketika menginginkan diri hadir dengan biografi kultural. Kekuasaan dan kebijakan atas kebudayaan memang menggiring kesadaran etnisitas berdiri di pinggiran zaman. Tema besar untuk dituruti adalah ekonomi-politik global dengan pertumbuhan mentalitas konsumsi dan reduksi atas potensi memproduksi sebagai keniscayaan eksistensi kultural.

Kelengahan terhadap lakon globalisasi-kapitalisme membuat lakon Jawa mengalami kebangkrutan. Model mereproduksi kejawaan lalu menjadi pilihan untuk mekanisme menjadi Jawa. Model ini memang tak mutlak bicara otentisitas tapi proses perubahan tanpa memutus akar atau menafikkan biografi kultural. Ikhtiar mereproduksi juga terus mendapati bayang-bayang kekuasaan meski dalam kadar tak mutlak. Jalan seni dan kearifan lokal tentu menjadi pilihan atas nama identitas Jawa dengan pertaruhan kurang memiliki efek besar sebagai juru bicara. Pemilihan itu pun kerap dicurigai sebagai notalgia sentimentil atau revivalisme tanpa kritisisme.

Mereproduksi Jawa seperti ikhtiar membuat identitas Jawa berubah tapi masih memiliki legitimasi terhadap sumber asal. Model ini mungkin dilakoni karena takdir zaman menggerakkan kehidupan dalam anutan-anutan ideologi besar melalui mesin politik, ekonomi, pendidikan, seni, dan kebudayaan. Identitas Jawa dalam situasi ini menjadi bab kecil atau catatan kaki ketika kiblat hidup mesti memakai orientasi global. Pengakuan atas pengalaman dan konklusi dari Mulder mengandung kebenaran dalam pengertian identitas Jawa patut menjadi pertanyaan di antara kerumunan tema-tema besar kapitalisme dan globalisasi. Kesadaran atas identitas memungkinkan orang tidak tunduk absolut terhadap penciptaan masyarakat konsumsi.

Kesadaran atas mekanisme produksi dan mereroduksi kejawaan tentu jadi rentan dengan klaim dan aktualisasi diri. Model ini memberi kebebasan pada orang untuk menjadi Jawa dengan referensi masa lalu atau sadar dengan konteks kekinian dan kedisinian. Penilaian atas ikhtiar menjadi Jawa lalu cair tanpa harus kaku untuk menganut pola pembakuan dari stereotip masa lalu. Orang mungkin menjadi Jawa dengan perubahan eksplisit dari pilihan pakaian, bahasa, makanan, hobi, arsitektur, atau seni. Orang Jawa mutakhir bisa hadir dengan mereproduksi pelbagai sumber dengan ketentuan-ketentuan mekanistik tanpa harus menganut mutlak pada otentisitas atau orisionalitas. Identitas Jawa pun inklusif untuk mengalami perubahan tiada henti dalam zaman yang berlari.



Dimuat di Suara Merdeka (23 Agustus 2oo9)

Senjakala Sastra Jawa

Bandung Mawardi


Perayaan sastra Jawa dengan nostalgia dan impian dilakukan pada 4-5 Agustus 2009 di Nglaran, Cakul, Dongko, Trenggalek, Jawa Timur. Sastra Jawa diperkarakan di sebuah dusun di perbukitan jauh dari kota dan keriuhan wacana. Festival Sastra Jawa diselenggarakan dengan militansi untuk menyatakan bahwa sastra Jawa masih ada meski sekarat. Militansi menghidupi sastra Jawa ada dengan kontradiksi-kontradiksi tanpa janji untuk perubahan nasib.

Panitia (Organisasi Pengarang Jawa, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, dan Sanggar Triwida) dalam Festival Sastra Jawa itu mengajukan pesan: “Sastra Jawa adalah warga sastra Indonesia dan warga sastra dunia yang laik diberikan ruang hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai keinginan masyarakat pendukungnya.” Pesan ini mengesankan ada fakta inferiorisasi atau marginalisasi terhadap sastra Jawa. Hak hidup ada tapi nasib sastra masih apes. Seribu pertanyaan bisa diajukan meski susah menerima jawaban-jawaban tuntas.

Festival Sastra Jawa itu dihadiri segelintir orang dari pelbagai kota dengan acara-acara normatif: seminar, ngudarasa, pembacaan geguritan, transaki buku-buku sastra Jawa, dan kangen-kangenan. Tumpukan masalah lama diungkapkan kembali sebagai ratapan. Pengarang-pengarang tampak memiliki kesangsian terhadap nasib sastra Jawa tanpa bisa merumuskan agenda strategis untuk memperlambat kematian atau justru membuat sastra Jawa moncer. Mereka justru larut dalam nostalgia masa lalu ketika sastra Jawa tumbuh dengan subur. Fakta hari ini membuat mereka cemas karena sastra Jawa hampir tak jadi bab penting dalam dialektika kultural masyarakat Jawa. sastra Jawa terpencil oleh masyarakat Jawa sebagai penduduk terbesar di negeri ini. Ironis!

Sastra Jawa itu fosil! Tuduhan ini mungkin berlaku ketika memeriksa kelambanan atau kemunduran sastra Jawa modern dalam ekplorasi estetika dan pilihan tema. Publikasi cerita cekak (cerpen), geguritan (puisi), dan novel dalam sastra Jawa masih suntuk dengan dunia masa lalu, cinta (picisan), detektif, kriminalitas, dan alam lelembut. Kemiskinan tema membuat sastra Jawa modern kehilangan spirit untuk tumbuh sebagai perayaan atas kompleksitas persoalan hidup.

Kondisi ini mungkin kontras dengan fase awal kehadiran sastra Jawa modern ketika mau menerima pengaruh wacana sastra dari Barat pada awal abad XX. Padmasusastra (1843-1926) oleh Geroge Qunin dijuluki Bapak Sastra Jawa Modern karena melalui Serat Rangsang Tuban membuktikan keberterimaan format-format sastra Barat dalam acuan terhadap nilai-nilai sastra tradisional. Serat Rangsang Tuban menjadi proto novel dalam bahasa Jawa.

Ki Padmasusastra dengan sadar belajar pada sastra Barat untuk melakukan pembaharuan dalam sastra Jawa. Kerja estetis pun direalisasikan dengan piliha bentuk prosa (gancaran) sebagai tandingan atas dominasi sastra puisi (tembang) dengan ketokohan Ki Ranggawarsita. Sastra Jawa modern lahir dan tumbuh pada masa itu secara inklusif dan dinamis meski mengalami pertarungan dengan kehadiran sastra Indonesia modern. Balai Pustaka jadi institusi penting dalam sebaran sastra Jawa tapi juga menjadi sebab dari pembakuan dan pembekuan sastra Jawa. Penerbitan sastra Jawa pada masa awal Balai Pustakan termasuk terbesar ketimbang penerbitan sastra Indonesia dan sastra Sunda. Kondisi itu sekarang tanpa jejak dan malah sastra Jawa modern mulai kehilangan penerbit dan media.

Spirit dan progresivitas sastra Jawa modern seperti jadi sejarah pendek karena politik kebudayaan tak memberi restu dan melakukan penundukkan atas nama negara. Sastra Jawa dan sastra etinis lalu masuk dalam kurungan dan dipelihara oleh negara dengan pembatasan dan represi melalui dalil pemujaan nasionalisme. Sastra Jawa pun bangkrut secara sistematis karena kuasa negara dan godaan dari pasar.

Pengakuan bahasa Indonesia secara politik dan kultural membuat pengarang Jawa mengalami kebingungan. Artikulasi kultural dalam kuasa bahasa Indonesia menjadi gangguan karena ada pemihakan dan penentuan secara konstitusional dan institusional. Bahasa Indonesia hadir dalam komunikasi politik, pendidikan, ekonomi, seni dan kultural. Bahasa Jawa sebagai medium sastra Jawa dipinggirkan tanpa resistensi untuk menyelamatkan diri dari tuduhan primordialisme atau separatisme kultural.

Sastra Jawa modern sebagai sastra tulis mulai kehilangan fondasi dan mundur dalam nostalgia kebesaran sastra-sastra klasik lisan dan tulisan. Panitisastra, Centhini, Wedhatama, atau Wulangreh dijadikan acuan untuk masih merasa memiliki otoritas dalam kerja sastra Jawa. Tradisi-tradisi lisan juga dijadikan argumentasi mengenai kebutuhan masyarakat atas ekspresi estetika. Penyelamatan nostalgis itu tak dibarengi denga kesanggupan secara kritis memeriksa kembali pasang surut sastra Jawa modern sejak tahun 1930-an.

Sastra Jawa modern memang masih dihidupi oleh pengarang Jawa dengan jumlah pembaca semakin menurun. Sastra Jawa juga ditinggalkan oleh dunia penerbitan koran, majalah, jurnal, penerbitan, dan buku. Sastra Jawa modern tanpa janji keselamatan. Fakta kehilangan pembaca jarang dijadikan alasan untuk otokritik. Pembaca memang memiliki hak untuk merasa hidup dengan kuasa bahasa Indonesia dengan pertimbangan komunikatif dan massif. Bahasa Indonesia telah merasuki tubuh dan jagad pikir orang Jawa sejak bocah dengan televisi, sekolah, atau media massa. Realitas ini susah untuk ditandingi dengan sastra Jawa modern dengan konstruksi bahasa jauh dari wacana dan praktik-praktik modernitas.

Sastra Jawa modern mandek dan sekarat seperti kodrat. Penulisan cerkak, geguritan, dan novel memang terus ada melalui terbitan buku, koran daerah, atau majalah (Panyebar Semangat, Jaya Baya, dan Darma Kandha). Inikah senajala sastra Jawa? Kondisi ini pun ditentukan oleh ketiadaan kritikus dalam tradisi penulisan esai sastra Jawa. Suripan Sadi Hutomo dan Poer Adhi Prawoto telah almarhum dan meninggalkan warisan buku-buku kritik sastra Jawa modern. Hari ini tak ada kritikus dalam melakukan sorotan terhadap publikasi sastra Jawa. Progresivitas macet dalam nostalgia dan kemiskinan tawaran wacana. Sastra Jawa modern pun seperti kehilangan tema dan enggan menyapa kebutuhan-kebutuhan pembaca secara kontekstual dalam realitas modernitas.

Sastra Jawa sebagai sastra etnis memang belum tamat tapi sekian fakta telah jadi bukti nasib apes sastra-sastra (berbahasa) etnis di Indonesia. Sastra etnis seperti sengaja dibiarkan mati untuk kehadiran hegemoni negara dan globalisasi. Sastra etnis tak memiliki juru selamat dan terpaksa pasrah masuk ke liang kuburan. Begitukah?



Dimuat di Solopos (2o Agustus 2oo9)

Sastra Pinggiran dan Resistensi

Bandung Mawardi


Judul : Tanah Tabu

Penulis : Anindita S. Thayf

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetak : 2009

Tebal : 240 Halaman



Novel Tanah Tabu menyapa pembaca dengan naras-narasi kritis tentang perempuan, kapitalisme, patriarki, dan kekuasaan. Novel jadi juru bicara untuk membuka memori kolektif dan memaparkan pelbagai kebobrokan dan marginalisasi terhadap Papua. Biografi Indonesia masih sekadar menjadikan Papua sebagai catatan kaki. Kondisi membuat orang-orang Papua mengalami pengabaian secara sistematis dan ideologis. Papua justru jadi argumentasi politik dan ekonomi untuk menumbuhkan klaim tentang harga diri Indonesia di hadapan negara-negara lain.

Pengarang sengaja menghadirkan tokoh-tokoh kunci (Mabel, Mace, Leksi) untuk memerkarakan Papua dalam perspektif perlawanan dan kepasrahan dengan keterpaksaan. Mereka hadir dalam konstruksi peradaban tanpa akses dan hak karena negara dan pemilik modal telah melakukan dominasi. Papua jadi tubuh luka oleh perkosaan (eksploitasi) ekonomi, politik, identitas, dan kultural. Novel Tanah Tabu hadir untuk memberi narasi kritis dalam memerkarakan Papua.



Sastra Pinggiran

Novel ini memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008. Dewan juri (Kris Budiman, Linda Christanty, dan Seno Gumira Ajidarma) memilih novel ini dengan sekian argumentasi untuk mengesahkan Tanah Tabu sebagai representasi nasib masa depan novel Indonesia. Tanah Tabu cenderung jadi novel dengan suara-suara kritis memakai acuan lokalitas dalam wacana pinggiran kesusastraan Indonesia modern.

Pemakaian latar Papua menunjukkan kesanggupan pengarang untuk diposisikan sebagai pengarang pinggiran. Pilihan latar dan tumpukan masalah tentang Papua selama ini kerap digarap oleh kalangan aktivis politik atau LSM. Kesusastraan Indonesia justru lengah untuk memberi perhatian dan ruang mengenai lakon-lakon kultural dari ranah pinggiran. Pengarang sadar bahwa pilihan menulis novel Tanah Tabu menjadi resistensi terhadap dominasi novel Indonesia dengan latar kultural Jawa dan Sumatra.

Anindita dalam obrolan sastra di Taman Budaya Jawa Tengah (18 Juli 2009) dengan tema Masa Depan Novel Indonesia mengakui: “Saya menyebut Tanah Tabu sebagai sastra pinggiran. Tanah Tabu berkisah tentang manusia-manusia pinggiran dan sengaja dipinggirkan. Kisah tentang prang-orang biasa yang berusaha mengalirkan hidupnya secara wajar. Mereka bekerja, menangis, berkeringat, tertawa, putus asa, dan berusaha apa adanya.” Pengakuan ini jadi ideologi estetika dan dieksplisitkan melalui karakterisasi tokoh-tokoh perempuan sebagai korban tapi penantang.



Lakon Perempuan

Tanah Tabu mengisahkan lakon hidup tiga perempuan dalam fase (generasi) berbeda. Mabel jadi tukang kisah tentang proses peradaban di Papua melalui ketengangan kultural dari sisa-sisa kolonial, lokalitas, dan penetrasi kultur pendatang dari Jawa atau daerah-daerah lain. Mabel melakukan afirmasi terhadap model pendidikan dari keluarga asing secara konstruktif. Pengathuan dan praktik hidup dalam proses peradaban atas nama modernitas itu justru menjadi acuan kritis untuk menolak pelbagai norma-norma hidup di Papua dalam cengkraman patriarki..

Mabel terus melakukan resistensi dari model-model dominasi atas perempuan melalui mesin parta politik, ekonomi kapitalistik, militerisme, dan hegemoni kultural. Perlawanan Mabel kerap menemui “kekalahan” tapi memberi spirit bahwa kebermaknaan hidup perempuan tidak ditentukan secara absolut oleh desain kaum lelaki. Spirit emansipatif itu diwariskan pada Mace dan Leksi dengan perbedaan kadar dan bentuk ekspresi. Mace justru mengalami pelemahan karena mengalami represi dari perkosaan sampai jadi korban tindak kekerasan tanpa janji keselamatan. Leksi menjadi pewaris naif tapi sanggup merumuskan diri sebagai perempuan penantang meski masih bocah.

Mabel, Mace, dan Leksi terus menghadapi godaan dari pola kehidupan patriarki, kegenitan politik, intervensi eksploitatif dari negara, dan ekspansi ekonomi pertambangan asing. Papua dan tiga perempuan itu seperti menjadi tubuh terbuka untuk mengeruk uang dan kuasa. Perlawanan dan kepasrahan adalah risiko untuk tetap memiliki haraga diri sebagai perempuan. Rentetan tragedi terjadi tapi tiga perempuan Papua itu belum ingin mati atau berhenti tanpa arti. Resistensi ekonomi, politik, dan kultural membuat mereka jadi santapan dari kekerasan, militerisme, hinaan, diskriminasi, dan marginalisasi.



Resistensi

Ekspresi resistensi terasakan dalam ambisi untuk melakukan demonstrasi karena orang-orang Papua selalu jadi pihak merugi tanpa kompensasi seimbang. Mabel terlibat aktif dalam proses penyadaran terhadap orang-orang Papua. Pelbagai pertimbangan mengenai target dan risiko diajukan untuk realisasi demonstrasi. Seorang tokoh mengekspresikan resistensi dengan tendensi membongkar stereotip terhadap kaum pribumi Papua di mata para pendatang: “Mereka seharusnya takut sama kita karena mereka hanya pendatang. Orang asing. Mereka mencari uang dan hidup di tanah kita. Jadi kaya dan hidup senang karena mengambil emas kita. Sedangkan kita ... tidak dapat apa-apa kecuali kotoran mereka dan janji-janji palsu. Cuihh!”. Ekspresi ini menjadi bentuk kemarahan atas praktik kapitalisme di Papua tanpa ada janji dan jalan penyelamatan.

Resistensi patriarki menjadi tema penting dalam novel Tanah Tabu dalam bayang-bayang kuasa kapitalisme dan negara. Mabel tidak takut melawan meski taruhan nyawa. Ekspresi resistensi jadi penting untuk membuktikan bahwa orang-orang Papua tidak lemah dan merubah stereotipe orang-orang Papua tak beradab, bengis, atau liar. Mabel adalah juru bicara penyadaran karena memiliki perangkat pengetahuan kritis tanpa harus melakukan gerakan-gerakan kultural secara gegabah dan konyol.

Lakon perempuan dan resistensi terhadap pelbagai mesin dominasi atau hegemoni dirumuskan oleh pengarang dalam ungkapan reflektif: “Di ujung sasr ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran. Dan air mata hanyalah untuk yang lemah.” Pengarang telah memberikan novel Tanah Tabu ini untuk pembaca dengan pesan penyadaran dan tanggapan kritis. Pembaca memiliki hak untuk membaca dan menilai dalam pelbagai tendensi dan pamrih untuk memerkarakan Papua. Begitu.



Dimuat di Suara Merdeka (16 Agustus 2oo9)

Ki Padmasusastra dan Jawa Naratif

Bandung Mawardi

Ki Padmasusastra (1843-1926) mencatatkan diri sebagai Bapak Sastra Jawa Modern tapi kerap terlupakan dan terpinggirkan. Pelupaan itu merupakan efek dari opini publik yang percaya bahwa kesusastraan Jawa tamat oleh Ranggawarsita sebagai pujangga Jawa terakhir. Nama Ki Padmasusastra pun jarang dikenali dan buku-buku tentang bahasa, sastra, dan kebudayaan Jawa yang telah diterbitkan kurang mendapati perhatian. Ki Padmasusastra adalah pokok dan tokoh yang kontroversial tapi mendekam dalam tumpukan masa lalu sastra Jawa.

* * *

George Quinn (1992) menyebut Ki Padmasusastra adalah pengembara, wartawan, cendekiawan, guru, dan orang terkucil. Sosok inilah yang mengawali pembentukan novel Jawa modern. Kompetensi sastra Ki Padmasusastra merupakan percampuran konstruktif dan kritis dari akar Jawa dan norma-norma sastra Eropa. Pengaruh Eropa secara intensif berasal dari interaksi dengan Van der Pant, H.A. De Nooy, A.H.J.G.. Walbeehm, J.A. Wilkens, G.A.J Hazeu, H.N. Killin, dan Winter. Kekuatan akar tradisi sastra Jawa didapati dari pujangga Ranggawarsita. Ki Padmasusastra juga memiliki pergaulan intensif dengan pujangga-pujangga besar di Solo: Mangkunegara IV dan Pakubuwana IX. Dua pujangga ini merepresentasikan sastra keraton yang adiluhung. Sumber-sumber itu diolah dengan lincah dan memukau oleh Ki Padmasusastra sebagai prolog genre sastra Jawa modern dengan pergulatan estetika yang menegangkan antara tradisi dan modernitas.

Laku sastra Ki Padmasusastra semakin keranjingan ketika menduduki jabatan kepala perpustakaan di Museum Radya Pustaka (Solo) yang didirikan oleh Patih Sasradiningrat IV pada tahun 1890. Kedudukan itu membuat Ki Padmasusastra suntuk dengan naskah-naskah Jawa. Kompetensi dalam bahasa dan sastra Jawa juga dibuktikan dengan peran sebagai penyunting untuk jurnal Sasadhara, Candrakanta, dan Wara Darma. Peran itu merupakan sambungan dari kerja Ki Padmasusastra ketika menjadi redaktur di majalah Bramartani. Majalah yang terbit di Solo ini jadi pemula dalam jagad pers di Jawa.

Puncak dari laku kreatif Ki Padmasusastra dalam dunia bahasa dan sastra Jawa adalah penerbitan buku Serat Paramabasa (1883), Serat Urapsari (1896), Serat Bauwarna (1898), Serat Warna Basa (1900), Serat Tatacara (1907), Layang Basa Sala (1911), Serat Piwulang Becik (1911), Serat Rangsang Tuban (1913), Serat Pathi Basa (1916), Prabangkara (1921), Kandha Bumi (1924), dan lain-lain. Serat Rangsang Tuban dijadikan contoh sahih oleh George Quinn sebagai teks yang mengandung ciri wacana novelistik modern dalam sastra Jawa. Buku-buku ini jadi tonggak kemodernan bahasa dan sastra Jawa dalam arus modernitas, bayang-bayang kolonial, dan dominasi otoritas para pakar Jawa dari Belanda..

Kehadiran Serat Rangsang Tuban menjadi titik kritis perubahan dalam sastra Jawa. Ki Padmasusastra dengan eksplisit mengonstruksi teks sastra dengan kesadaran modern. Sri Widati (2001) mencatat bahwa fakta pembaruan dalam Serat Rangsang Tubang adalah pemunculan tema emansipasi perempuan, pandangan pengarang untuk mementingkan ilmu pengetahuan, dan pemakaian bahasa Jawa sehari-hari. Fakta itu juga diimbuhi dengan ikhtiar Ki Padmasusastra untuk bebas dari patronisme sastra dan kebudayaan keraton.

Ketegangan konvensi sastra Jawa tradisional dengan sastra modern membuat Ki Padmasusastra dalam permainan risiko. Permainan ini dilakoni Ki Padmasusastra dengan menjuluki diri sendiri sebagai tiyang mardika kang marsudi kasusastran Jawi (orang merdeka yang menekuni sastra Jawa) dalam publikasi naskah. Sebutan ini digunakan sebagai wacana tandingan terhadap stereotipe pujangga Jawa masa lalu dan masa itu. Imam Supardi (1961) menafsirkan sebutan itu sebagai sikap merendah untuk menunjukkan secara jujur pertumbuhan kesadaran baru dalam jagad sastra Jawa dan perbedaan diri Ki Padmasusastra dengan pujangga-pujangga lama.

Ki Padmasusastra merupakan contoh risiko pergulatan dalam sastra Jawa peralihan dari tradisional ke modern yang berada di luar keraton atau elitisme sastra. Ki Padmasusastra melakukan kritik, pembangkangan, dan resistensi terhadap normativitas sastra Jawa tradisional. Spirit pembebasan dimunculkan dan menemukan bentuk pada teknik gancaran (prosaik atau naratif) sebagai tandingan dari tradisi puisi yang sejak lama menguasai sastra Jawa tradisional. Laku sastra yang progresif itu jadi pemicu kesadaran emansipatif dalam penulisan sastra Jawa modern dengan ketegangan konvensi estetik.

* * *

Buku Ki Padmasusastra yang kritis dan kontroversial terhadap orang dan kebudayaan Jawa adalah Tatacara: Adat Sarta Kalakuwanipun Titiyang Jawi ingkang Taksih Lumengket dhateng Gugon Tuhon (Praktik Adat dan Perilaku Orang Jawa yang Masih Memercayai Takhayul) yang terbit pada tahun 1907. Buku ini secara substantif mengungkapkan bahwa orang Jawa masih percaya takhayul pada abad XIX dan permulaan abad XX. Kritik pedas ini membuktikan ketelatenan dan jagat pikir yang analitis dari Ki Padmasusastra terhadap komodifikasi orang dan kebudayaan Jawa yang kerap mengacu pada tradisi elite dan keraton.

John Pamberton (2003) menjuluki Ki Padmasusastra sebagai etnografer modern Jawa yang pertama. Julukan ini pantas dilekatkan pada Ki Padmasusastra karena dedikasi membaca dan menilai Jawa dari luar keraton. Ki Padmasusastra yang lahir dan besar dari kalangan priyayi di Solo memilih untuk menekuni laku estetika yang kritis dengan mengolah normativitas Jawa dan kritisisme Eropa. Kritik terhadap takhayul jadi hantaman keras dalam konstruksi modernitas yang tampak di Jawa pada awal abad XX.

Buku Tatacara digarap dan dirampungkan selama sebelas tahun (1893-1904). Buku itu memiliki prolog kesedihan dan kepasrahan atas realitas dan pengetahuan Jawa: “Dengan perasaan takjub ini seakan-akan dunia sudah dipenuhi oleh pengetahuan, padat, tidak ada tempat yang tersisa. Berpikir sudah menjadi pekerjaan berat, seakan-akan sedang menyibak kabut tebal yang menutupi permukaan bumi, dan saya merasa terdesak keluar seakan-akan tak ada lagi tempat untuk saya.”

Perasaan itu lumrah muncul karena dalam jagat sastra dan pengetahuan Jawa telah dieksplorasi dan diwartakan oleh pujangga-pujangga ampuh masa lalu. Ki Padmasusastra mafhum bahwa deretan panjang khazanah literatur Jawa menjadi bukti sifat kapujanggan yang mengakar dalam kebudayaan Jawa. Ironi dari teks-tek itu adalah ketidaksanggupan orang-orang Jawa untuk memetik hikmah dengan kritis dan implikatif.

Ki Padmasusastra dengan gamblang memberi kritik bahwa ketidaksanggupan atau ketidakmauan itu karena orang-orang Jawa tidak memiliki cara untuk membaca, memahami, dan merealisasikan. Orang-orang Jawa sekadar khusuk dalam kekaguman atas khazanah Jawa. Ki Padmasusastra mengungkapkan bahwa hikmah khazanah literatur Jawa itu malah “dipetik dan disebarkan lagi oleh sarjana-sarjana Eropa, pengetahuan ini tumbuh lagi dengan lebih subur, mengisi dunia.” Fakta ini membuat Ki Padmasusastra sadar atas konstruksi Jawa yang dengan terbuka bisa dilakukan oleh sarjana-sarjana Eropa sebagai tandingan atas pemahaman orang-orang Jawa terhadap Jawa sebagai kultur dan pengetahuan.

Ki Padmasusastra mengatakan: “Dan sekarang, pakar-pakar terbesar dalam sastra Jawa berasal dari bangsa lain, kembali ke sini untuk mengajar kembali orang-orang Jawa.” Fakta ironi ini masih memiliki sambungan faktual sampai hari ini. Ki Padmasusatra menjadikan kitab Tatacara sebagai representasi untuk menjawab utang pada pakar-pakar asing tentang Jawa. Pembayaran utang itu belum lunas sampai hari oleh para pujangga-pujangga Jawa yang masih tekun mengurusi sastra Jawa.

* * *

Lakon Ki Padmasusastra adalah ironi untuk sastra Jawa dan sastra-sastra etnis di Indonesia. Kompetensi pengetahuan tentang sastra Jawa justru dimiliki pakar-pakar asing. Fakta ini adalah tanda seru dan tanda tanya. Kesadaran mesti ditumubuhkan kembali untuk untuk perayaan dan masuk kembali ke dalam rumah sastra etnis. Kesadaran itu adalah kodrat untuk memiliki dan mewartakan pada dunia tentang sastra etnis memiliki jejak historis dan belum ingin mati. Sastra etnis tak mati jika ada mekanisme untuk menghidupi dan menyemaikan dengan antusiasme yang kritis. Begitu.



Dimuat di Kompas (15 Agustus 2oo9)