Oleh: Haris Firdaus
Hubungan manusia dengan pakaian yang dikenakannya bukan hanya sebatas hubungan fungsional. Pakaian memiliki nilai-nilai kultural tertentu yang berpengaruh terhadap kebudayaan manusia. Sejarah kemunculan kaos—yang dimulai pada akhir abad 19—membuktikan bahwa relasi manusia dengan pakaian adalah relasi kultural yang kadangkala melibatkan ketegangan tubuh manusia.
Seperti pernah ditulis Antariksa (2001), kaos atau kaos oblong yang hari-hari ini dipakai banyak orang di manapun sebagai “pakaian luar”, pada mulanya adalah sesuatu yang dinisbatkan sebagai “pakaian dalam”. Fungsi kaos sebagai pakaian luar baru bisa tersebar ke seluruh dunia tatkala John Wayne, Marlon Brando, dan James Dean mengenakan kaos sebagai pakaian luar di dalam film-film yang mereka bintangi pada tahun 1950-an.
Meski mulai diperkenalkan sebagai pakaian luar, kaos tak serta merta diterima. Pada tahun-tahun itu, konvensi mode dunia masih beranggapan bahwa kaos tetap merupakan “pakaian dalam”. Oleh karenanya, mengenakan kaos, ditilik dari konvensi mode dunia kala itu, adalah sesuatu yang “unfashion”.
Namun, justru konvensi macam inilah yang melambungkan kaos. “Kelompok-kelompok anak muda pemberontak” segera saja mengadopsi kaos sebagai bagian dari identitas diri mereka. Sebagai anak-anak nakal yang mengangankan diri mereka menjadi orang yang keluar dari norma sosial yang ada, sejumlah kelompok seperti punk kemudian ramai-ramai mengenakan kaos—yang disobek lengannya—sebagai sebentuk penolakan sekaligus resistensi terhadap konvensi mode dunia.
Di sinilah “rekam jajak” soal ketegangan itu terlihat. Ketika sejumlah anak muda yang menolak konvensi mode dunia ramai-ramai memakai kaos, mereka pada dasarnya sedang melakukan “pembebasan”, merayakan “otonomi” mereka atas tubuh dan gaya pakaian mereka sendiri. Kaos, oleh karena itu, adalah sebentuk lambang yang merepresentasikan “kebebasan”.
Pesan Terbuka
Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kaos mulai diterima sebagai pakaian luar. Ia mulai dikenakan di mana-mana secara terbuka. Yang unik, kaos bukan hanya menjadi pakaian yang membalut tubuh tapi juga sebuah medium tempat menyampaikan pesan secara terbuka. Sejak beberapa tahun lampau, kita bisa melihat kaos digunakan untuk menyampaikan berbagai pesan demi kepentingan politik, iklan, atau identitas tertentu.
Dalam perkembangannya, tren kaos sebagai media penyampai pesan juga kadang kian membingungkan. Sebab, pesan-pesan yang dikandungnya makin tak mudah dipahami. Kini—seperti dicontohkan Antariksa—misalnya, kita bisa menemukan seorang ibu muda memakai kaos bertuliskan “Bitch” sambil menggandeng anaknya. Atau, kita juga sering melihat anak-anak muda yang di kaos yang mereka pakai tertulis pesan-pesan seram seperti “Panitia Hari Kiamat”, “Penghuni Neraka Nomor Satu”, atau “Buronan Mertua”.
Dalam logika identitas, segala hal yang kita pakai adalah sesuatu yang ingin kita komunikasikan. Dan, sesuatu yang ingin kita komunikasikan berarti merupakan sesuatu yang hendak kita ambil sebagai “penanda” kita. Kita ingin orang lain melihat, memahami, dan menilai diri kita melalui penanda tersebut. Kalau segala hal di dunia ini mesti melewati representasi, maka tiap orang memang hanya bisa dilihat melalui penanda yang ia komunikasikan. Artinya, orang lain akan selalu melihat diri kita dari penanda yang kita kenakan. Mereka tak akan pernah mampu secara simultan menilai “kesejatian diri” kita tanpa melewati tahap pemaknaan terhadap penanda kita.
Kaos ada dalam fungsi sebagai penanda itu. Ia merupakan pakaian yang mengandung teks terbuka dan gamblang. Orang akan mudah membaca pesan pada kaos yang kita kenakan. Mereka akan menilai kita dari pesan itu dan kita pun lazimnya menginginkan hal yang demikian.
Namun, dalam contoh kasus ibu muda yang menggunakan kaos bertuliskan “Bitch”, benarkah logika penanda-petanda yang konvensional ala Saussure masih berlaku? Benarkah sang ibu yang sedang menggandeng anaknya itu ingin diidentikkan atau dipandang dan dinilai sesuai dengan petanda yang ada di balik kata “bitch”? Atau jangan-jangan, sang ibu tak memahami arti kata “Bitch” dalam Bahasa Inggris?
Saya kira persoalannya bukan ada dalam pemahaman bahasa. Kata “Bitch” sudah terlampau akrab di telinga kita dan lagi, dalam contoh yang selanjutnya, di mana seorang pemuda memakai kaos bertuliskan “Penghuni Neraka Nomor Satu”, kendala bahasa tak lagi berlaku. Dalam misal yang kedua itu, sang pemuda tentu memahami apa itu “neraka” dan apa artinya menjadi “penghuni neraka nomor satu”. Lalu, benarkah ia—melalui kaos yang dikenakannya—hendak menyampaikan bahwa dirinya adalah orang yang akan menjadi penghuni neraka pertama kali?
Menurut saya tidak. Si ibu yang memakai kaos bertuliskan “Bitch” ataupun sang pemuda yang mengenakan kaos dengan tulisan “Penguni Neraka Nomor Satu” tak benar-benar ingin dilihat sesuai dengan pesan tertulis yang ada dalam kaos mereka. Dalam kasus macam ini, saya kira, kita mesti melihat adanya fenomena “terlepasnya petanda dari penanda”. Pada misal tersebut, kita mungkin tak lagi bisa melihat kaos sebagai penanda yang memiliki petanda. Kaos yang bertuliskan “Bitch” atau “Penghuni Neraka Nomor Satu” bukan lagi sebuah simbol dengan makna yang pasti di sebaliknya.
Pembuat Perbedaan
Saya menduga, tujuan utama pemakaian kaos model begitu bukan lagi untuk menyampaikan pesan denotatif sesuai dengan tulisan yang ada tapi sekadar supaya mereka “terlihat berbeda”. Jadi, ketika seorang pemuda memakai kaos bertuliskan “Penghuni Neraka Nomor Satu” misalnya, ia tak sedang ingin benar-benar dianggap sebagai penghuni neraka pertama kali. Motif pemuda itu, saya kira, hanyalah agar dirinya terlihat berbeda di hadapan orang lain.
Kejadian macam ini bisa dijelaskan melalui logika diferensiasi yang pernah diperkenalkan Jean Baudrillard tatkala menganalisa proses mengonsumsi dalam masyarakat konsumer. Baudrillard menyebut, di dalam masyarakat konsumer, konsumsi digerakkan semata-mata menuruti logika diferensiasi: artinya, konsumsi dilakukan guna menegaskan perbedaan-perbedaan tertentu. Proses mengonsumsi bukan lagi menjadi proses pemenuhan kebutuhan, tapi proses penegasan perbedaan.
Sebuah barang dikonsumsi bukan karena ia bisa memenuhi kebutuhan real sang konsumer tapi karena ia bisa memberikan semacam “perbedaan” pada si empunya sehingga sang konsumer menjadi terlihat “berbeda” dengan orang lainnya. Di sinilah prestise, gaya hidup, atau kelas sosial, kemudian ditegaskan.
Bagi saya, logika diferensiasi dalam konsumsi itulah yang juga sedang menjangkiti sebagian kita tatkala memakai atau mengonsumsi kaos. Apalagi, laku memakai kaos sebenarnya juga merupakan bagian dari proses konsumsi. Tujuan yang menggerakkan sebagian manusia tatkala mengonsumsi kaos bukanlah motif menegaskan identitas tertentu yang secara denotatif tergambarkan melalui teks yang ada dalam kaos yang ia kenakan. Yang menggerakkan proses mengonsumsi itu, bisa jadi, hanyalah sebuah hasrat untuk berbeda.
Di sinilah “rekam jajak” tentang ketegangan tubuh manusia kembali terlihat. Ketika kaos telah beralih dari medium “penyampai pesan” menjadi alat “pembuat perbedaan”, sebenarnya pemaknaan atas tubuh pun menjadi berlainan. Tubuh manusia, bukan lagi sekadar sarana dengan mana sebuah identitas yang “relatif stabil” ditegaskan, tapi sebuah medium tempat perbedaan disemai. Dan, kalau dulu perbedaan itu berkait dengan soal identitas tertentu, kini perbedaan itu mungkin saja tak ada kaitannya sama sekali dengan soal “identitas”, terutama dalam pengertiannya yang lumrah.
Dengan kata lain, perbedaan itu adalah sesuatu yang sama sekali tak stabil: ia akan segera beralih rupa tatkala ada kehadiran liyan yang mengancam perbedaan yang ia “kenakan”. Konkretnya, perbedaan yang ingin diperlihatkan itu tidak lagi dilakukan demi sesuatu yang lebih besar. Perbedaan disemai semata-mata hanya karena seorang manusia ingin terlihat “berbeda”. Di sini, satu-satunya identitas yang akhirnya muncul adalah perbedaan itu sendiri.
(Dimuat di Majalah Gong Edisi 105/IX/2008)
Selasa, 30 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar