Selasa, 30 Desember 2008

Buku, Televisi, Selebritas

Oleh: Bandung Mawardi

Siapa masih khusyuk mengonsumsi berita, cerita, derita selebritas di televisi? Televisi masih jadi kiblat hidup orang-orang Indonesia. Selebritas terus jadi “sumur tak pernah kering” untuk godaan tak usai. Penonton televisi mendapati sihir untuk menikmati lakon hidup selebritas dari perkara aib sampai mimpi. Acara-acara mengenai selebritas adalah godaan genit untuk penonton sejak pagi hari sampai larut malam.
Kritik dan protes tak bisa mempan untuk membunuh atau mengurangi acara dengan lakon-lakon selebritas. Acara tentang selebritas mungkin adalah ruh untuk hidup dan mati televisi. Penonton pun terus khusyuk menonton televisi. Neil Postman (1995) dalam kritik keras mengungkapkan bahwa ibadah menonton televisi adalah tindakan “menghibur diri sampai mati”. Garin Nugroho juga dengan kritis dalam buku Seni Merayu Massa (2005) mengajukan tanya: “Televisi, musuh di ruang keluarga Indonesia?”
* * *
Bagaimana perkara selebritas mendapati analisis kritis dalam sorotan studi kebudayaan populer atau cultural studies? Ignatius Haryanto memberi paparan kritis dalam buku Aku Selebriti Maka Aku Penting (2006). Judul buku ini merupakan plesetan dari adagium Descartes: Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada). Judul buku ini mengisyaratkan kegeraman dan kegemasan terhadap selebritas, televisi, dan penonton di Indonesia. Buku ini masuk dalam genre studi kebudayaan populer dalam sorotan cultural studies. Jenis-jenis buku ini memang ramai di dunia perbukuan Indonesia sejak tahun 2000-an sebagai acuan untuk membaca lakon kebudayaan populer mutakhir.
Ignatius Haryanto dalam bab “Aku Selebriti maka Aku Penting”, “Infotainment: Pengingkaran Fungsi Informasi?”, dan “Pekerja Infotainment, Profesionalisme, dan Etika” secara gamblang mendedahkan sisi gelap dan ironi dalam acara televisi dengan lakon dan komoditi selebritas. Inilah refleksi Ignatius Haryanto: “Dunia ini seolah extravaganza dengan parade keriuhan tanpa henti, di mana artis cantik dan ganteng satu persatu bermunculan, membentuk barisan tanpa putus. Kita pun dihibur dan dihibur dan dihibur.”
Kritik atas acara hiburan televisi memang tidak pernah absen meski tak ada tanda perubahan secara signifikan. Kritik justru mendapati jawaban mencengangkan bahwa acara-acara hiburan dan selebritas semakin bertambah dan digandrungi penonton. Logika untuk membenahi kualitas acara televisi kerap ambruk oleh kepentingan kapital, rating, atau apa saja.
Kritik muncul karena ada gelagat dan fakta bahwa acara-acara di televisi adalah senjata mencari uang dengan “mengutuk” penonton sebagai umat dan korban. Acara infotainment, sinetron, talk show, kuis, atau reality show dengan kiblat selebritas kerap mengantarkan penonton pada tabrakan etika, humanisme, spiritualitas, intelektualitas, dan kesadaran rasionalitas. Acara-acara televisi memang menjadi “menu lezat tapi mematikan.”
* * *
Buku-buku tentang budaya populer atau cultural studies pantas jadi referensi untuk membaca dan menilai pelbagai program acara televisi dan sihir selebritas. Sekian buku-buku terjemahan: Populer Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (2003) oleh Dominic Strinati, Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan: Lanskap Konseptual Cultural Studies (2003) oleh John Storey, Cultural Studies: Teori dan Praktik (2005) oleh Cris Barker, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop (2007) oleh John Storey, dan Media dan Budaya Populer (2008) oleh Graeme Burton. Muatan dalam buku-buku itu reflektif, provokatif, dan kritis untuk jadi bekal membaca televisi dan selebritas.
Penerbitan buku-buku itu merepresentasikan antusiasme publik pembaca dalam menyusun argumentasi untuk melancarkan kritik atas lakon-lakon televisi. Yasraf Amir Piliang dalam buku Postrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika (2004) mengungkapkan: “Televisi adalah kotak jiwa yang mengandung pelbagai citra semu, rayuan palsu, dan simulakrum realitas.” Penonton sebagai umat setia bakal diarahkan untuk melakukan “bunuh diri” rasionalitas.Kritik terhadap televisi memang memuat daftar panjang serangan dan senjata. Bagaimana kritik untuk lakon televisi hari ini?
Gosip selingkuh, perceraian, kekerasan, pesta, pacaran, atau bualan dari kaum selebritas terus mengalami pembesaran dan pelipatgandaan sebagai informasi dan hiburan dalam program-program televisi di Indonesia. Kritik dalam bentuk esai atau artikel di media massa cetak dan penerbitan buku mungkin sekadar tanda seru kecil karena tak sanggup meruntuhkan iman pembuat program acara televisi dan penonton televisi?
Selebritas pada hari ini adalah lakon menggemaskan dan mengenaskan dalam acara-acara televisi. “Aku selebritas maka aku penting” menjadi fakta dan tanda seru untuk nasib penonton. Negeri dengan rakyat yang suntuk dan repot memikirkan selebritas adalah negeri ironi dan tragedi. Siapa mau percaya dengan ungkapan provokatif Jean Baudrillard (1983): “Televisi lebur dalam kehidupan dan kehidupan lebur dalam televisi?” Begitukah?

Dimuat di Suara Merdeka (28 Desember 2oo8)

Tidak ada komentar: