Oleh: Bandung Mawardi
Kecamatan Colomadu secara geografis dilingkupi oleh Solo, Sukoharjo, dan Boyolali. Colomadu menjadi lalu lintas strategis dari mobilitas orang, nilai, dan barang. Letak geografis itu menentukan nasib Colomadu sebagai ruang hunian dan ruang kerja untuk hidup. Keterpisahan dengan induk Kabupaten Karanganyar membuat Colomadu cenderung memiliki jarak dengan wacana dan kebijakan dari pusat kabupaten.
Colomadu saat ini adalah representasi dari ungkapan “habis sawah terbitlah rumah”. Ungkapan itu mengabarkan nasib sawah yang habis untuk realisasi investasi dan bisnis perumahan. Hamparan sawah terus turun secara drastis menjelma jadi rumah.
Sawah sebagai sumber penghidupan oleh petani mendapati godaan dalam bentuk bisnis rumah dan uang. Laku tragis pertanian terkadang menjadi penentu karena sawah sudah jarang memberi kepastian hidup dalam kalkulasi pendapatan dan kebutuhan. Hasil dari sawah rentan dengan kerugian karena faktor alam, faktor manusia, dan faktor kebijakan pertanian dari pemerintah. Petani perlahan kehilangan hubungan lahir-batin dengan sawah karena kebutuhan-kebutuhan hidup kurang bisa dipenuhi dari lahan sawah.
Pewarisan laku pertanian pun mengalami kemerosotan karena generasi-generasi lanjutan cenderung memilih lahan kerja di kota dalam pelbagai sektor. Sawah terlupakan dan mengalami perubahan makna dari lahan tanaman menjadi lahan uang. Perubahan makna sawah ini adalah tanda seru dari arus masyarakat modern. Sawah tidak untuk menanam padi, jagung, atau tebu tapi sawah untuk menanam modal. Sawah memiliki arti karena uang dan bukan karena panenan dari tanaman. Sawah jadi komoditi untuk merubah nasib dan mengikuti lakon-lakon modern dengan kecenderungan konsumsi ketimbang produksi.
Sepuluh tahun terakhir lahan sawah di Colomadu mulai mengalami metamorfosa menjadi rumah. Hamparan sawah dengan tanaman dan penampilan sosok petani mulai kurang atau hilang. Puluhan pengembang mulai mengerjakan sawah menjadi lahan untuk mendirikan rumah sebagai komoditi. Petani menerima uang dalam jumlah besar dari penjualan sawah untuk pemenuhan pelbagai kebutuhan dan keinginan. Pengembang membeli sawah untuk memanen uang dalam jumlah besar dengan “menanam” rumah.
Puluhan kompleks perumahan dengan pelbagai kelas sekarang tampak berdiri di lahan-lahan bekas sawah. Pemahaman ruang geografis dengan cepat mengalami perubahan definisi dan epistemologi-kultural. Sawah sebagai ruang untuk tanaman sebagai lahan hidup dan harmonisasi alam (ekologi) sudah hilang. Sepuluh tahun lalu orang masih mungkin melihat sawah sebagai pemandangan dan menghirup udara segar ketika jalan-jalan pagi hari. Kisah itu sudah berakhir karena tanaman semen (rumah) membuat pemandangan jadi sumpek dan udara segar jadi rebutan.
Risiko-risiko dari “habis sawah terbitlah rumah” mulai jadi perkara pelik dan dilematis. Pembangunan perumahan memang dampak dari pertambahan jumlah penduduk atau pelebaran ruang kota. Papan (rumah) adalah syarat hidup. Apakah suatu keharusan membangun perumahan di atas lahan sawah? Pertanyaan ini dilematis karena memang lahan untuk rumah semakin sempit. Pilihan membangun di atas lahan sawah tentu menimbulkan efek besar. Lahan sawah adalah lahan produktif untuk hidup manusia dan ekologi. Pembangunan perumahan justru menguburkan peran lahan itu dengan pemunculan tanah sebagai sekadar komoditi bisnis.
Risiko nilai pun muncul dari ekspansi pembangunan perumahan di Colomadu. Parameter hidup mengalami perubahan dalam sisi permukaan dan sisi dalam. Kehidupan dalam kompleks perumahan kerapa berhadapan dengan normativitas kehidupan dusun atau kampung. Anutan perbedaan nilai terkadang konfrontatif atau koeksistensi. Perbedaan itu jadi pemicu transformasi sosial karena interaksi dan komunikasi niscaya terjadi sesuai dengan konvensi kehidupan administratif dan laku sosial di pedesaan.
Perubahan parsial mulai tampak dari pakaian-penampilan, kepemilikan kendaraan, desain-arsitektur rumah, dan kehadiran pos satpam. Pakaian adalah identitas. Perbedaan dalam representasi identitas ini mengalami transformasi dari perumahan ke dusun. Kendaraan adalah representasi kelas sosial dan mobilitas hidup. Kepemilikan mobil atau sepeda motor memicu ada eksplisitas perbedaan kelas sosial dan pola pendapatan-konsumsi. Jalan-jalan desa mulai ramai dengan sliweran kendaraan penghuni perumahan.
Perumahan identik dengan desain-arsitektur mutakhir atau modern sebagai tanda perbedaan dari arsitektur rumah-rumah kampung. Homogenisasi pun mendominasi kehadiran kompleks-kompleks perumahan sesuai tipe dan kelas sosial. Praktik transformasi pun terjadi dengan peniruan pada rumah-rumah di kampung meski tetap menjadi suatu perbedaan yang ganjil. Letak kompleks perumahan yang kerap terpisah dari pemukiman dusun jadi penegasan ada perbedaan dengan batas-batas geografis. Pemisahan itu pun mengandung perbedaan nilai dengan risiko ada stigma terhadap penghuni perumahan. Stigma itu adalah “rumah di dalam rumah tapi terpisah”. Perumahan hadir di desa tapi tak menjadi atau lebur dalam desa.
Risiko kentara “habis sawah terbitlah rumah” adalah kehadiran pos keamanan dengan penjaga gajian (satpam). Konvensi kompleks perumahan memang cenderung memberi fasilitas kemanan atau proteksi sebagai konsekuensi dari pengembang terhadap konsumen. Pos keamanan itu seperti tandingan dari pos ronda (kamling) atau gardu sebagai representasi pola keamanan kolektif dari masyarakat desa. Perumahan melakukan proteksi dengan aturan dan kompensasi dalam curiga dan isolasi. Kompleks perumahan dengan pemagaran dan penjagaan pintu masuk menjadi ruang protektif, tertutup, dan eksklusif. Transformasi nilai tentang keamanan menjadi pemicu curiga sosial dan kriminal dengan proteksi berlebihan.
“Habis sawah terbitlah rumah” memang terjadi di pelbagai tempat. Colomadu hanya satu contoh tapi mengandung curiga akut mengenai nasib hidup kolektif dan transformasi nilai sosial-kultural dalam tegangan tradisionalitas dan modernitas. Melakukan perjalanan di Colomadu saat ini adalah perjalanan dari perumahan ke perumahan. Sawah jadi sejarah. Perumahan adalah tanda seru untuk lekas menjadi kota. Itukah masa depan Colomadu? Begitukah?
Dimuat di Suara Merdeka (9 Desember 2oo8)
Rabu, 10 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar