Rabu, 10 Desember 2008

Kereta Kota di Solo Tempo Doeloe

Oleh Heri Priyatmoko

PEMERINTAH Kota Solo, bekerja sama dengan PT Kereta Api (KA), berencana menghidupkan lagi penggunaan kereta pariwisata. Rencananya, Pemkot akan meminjam loko milik PT KA di Ambarawa dengan kisaran ongkos Rp 1,5 miliar (Kompas Jateng, 7/8/08). Rel di tengah kota yang ada di Solo merupakan heritage railway, atau benda pusaka jalan kereta api.

Dalam tulisan ini, saya akan mengulas sejarah jalur perkeretaapian yang ada dalam kota di Solo tempo doeloe, lengkap dengan dinamika sosialnya.

Kereta perkotaan dikelola oleh Solosche Tramweg Maatschappij, yang didirikan tahun 1892. Sebe­lum digunakan lokomotif tenaga uap atau setum, di Solo telah ada kereta yang ditarik kuda (tahun 1900).

Kereta ini ditarik empat ekor kuda dan saban 4 km kudanya diganti. Setiap gerbong menampung 20 orang penumpang.

Dalam buku Babad Sala (2001) dijelaskan, saat itu yang naik kereta hanya orang Belanda dan China. Kalaupun ada dari pribumi, pastilah mereka para saudagar kaya. Sebab, tarifnya cukup mahal.

Kebanyakan wong cilik lebih suka naik dokar atau berjalan kaki. Selain alasan menyehatkan, juga kondisi sepanjang jalan begitu teduh oleh rindangnya pepohonan. Lagi pula, pejalan kaki tak perlu khawatir kehausan, karena sudah disediakan kendi berisi air oleh warga yang tinggal dekat bibir jalan.

Kereta mulai berjalan di halte depan Benteng Vastenburg. Jalur­nya ke selatan belok ke barat sampai Purwosari. Kereta berhenti se­kali di Kampung Kauman, Kam­pung Derpoyudan (sebelah barat Nonongan), lalu melaju di halte Pasar Pon.

Selanjutnya, kereta berhenti lagi di depan Sriwedari (Kebon Rojo) yang merupakan taman hiburan bagi warga. Kereta berjalan lagi sampai belok ke utara, menyeberang jalan raya dan berhenti ke Stasiun Purwosari.

Tenaga Uap

Baru tahun 1905, kereta kuda diganti tenaga uap dan ditambah 10 gerbong. Tiknopra­noto (1979) menyebutkan, pemberhentian kereta yang awalnya di halte depan Benteng Vastenburg, diteruskan sampai Stasiun Jebres, dengan menyeberang jembatan Kali Pepe untuk menuju Pasar Gede, Warung Pelem, dan berakhir di Stasiun Jebres.

Seluruh proses penggantian kuda dengan mesin rampung dan diumumkan pada 1 Mei 1908. Dalam peresmian itu, diundang 28 pejabat pemerintah untuk menaiki kereta tanpa dipungut bayaran. Penggantian ini menguntungkan penduduk, karena tarifnya lebih rendah.

Secara formal, hal itu hanya di­­peruntukkan bagi orang asing, priayi, dan pedagang yang me­manfa­atkan KA kota. Kunto­wijoyo (2000) memaparkan kondisi jalan-jalan di pusat kota tampak sangat sibuk, dan kecelakaan sulit dihindarkan, khususnya di persilangan jalan dalam kota yang dilalui ken­daraan, sepeda, kereta, dan mobil.

Karena itu, di persimpangan jalan Pasar Gede terlihat seorang penjaga yang bertugas mengatur lalu-lintas dengan sebuah bendera di tangan. Lebih-lebih bila ada acara perayaan yang diadakan tuan Residen maupun Paku Buwono X, lalu-lintas menjadi kian ramai.

KA menjadi alat transportasi perkotaan yang utama. Bagi mereka yang hendak pergi dari pusat kota, dekat Javasche Bank (seka­rang kantor BI), ke Jebres harus memilihnya.

Biar lebih mudah, mereka yang merencanakan perjalanan mesti melihat berita jadwal perjalanan kereta yang bisa ditemukan dalam su­rat kabar lokal berbahasa Be­landa.

Kemunculan perusahaan listrik swasta NV So­losche Electriciteit Maatschappij (SEM) yang ber­kantor di dekat Stasiun Purwosari membawa perubahan.

Setelah kekuatan arus listrik yang tersedia di Solo sudah mampu melayani kepentingan penduduk, perusahaan Nederlandsch Indische Spoor­weg Maatschappij (NIS) mempertimbangkan penggantian trem uap dengan trem listrik yang dinilai lebih efektif dan efisien.

Soedarmono dkk (2004) menjelaskan, tahun 1912 tenaga listrik menggantikan batubara sebagai bahan bakar trem. Imbasnya, gu­dang penimbunan batubara di Stasiun Purwosari berubah fungsi. Tidak lagi menampung batubara, tapi dipakai menampung barang dagangan yang akan diangkut dengan trem, baik dari luar daerah maupun keluar Solo.

Jalur trem ini tak lagi dibuat ke arah Boyolali saja, namun juga dibuka jalur ke selatan menuju Wonogiri-Baturetno. Trem listrik menjadi satu-satunya angkutan penumpang dan barang jarak dekat yang dikelola NIS. Karena, sejak itu, KA milik NIS hanya melayani jalur dari Solo ke Yogya dan Se­marang.

Tidak dimungkiri, adanya ja­ringan KA di dalam kota memengaruhi perubahan sosial. Kesibu­kan kota meningkat. Solo, yang disebut Kuntowijoyo sebagai jantung Pulau Jawa, karena memang menjadi pusat pemberhentian pe­numpang KA yang mau ke Batavia, Yogyakarta, Surabaya, dan Sema­rang.

Banyak penumpang yang me­nikmati keindahan kota dan hiburan dengan menggunakan trem. Perekonomian Solo pun kian menggeliat. Aneka jajanan mulai muncul sampai larut malam dan didirikan banyak hotel.

Lebih Mudah

Dengan diketahuinya posisi-posisi halte tempo dulu, kerja Pemkot Solo dalam proyek ini lebih mudah. Sekarang tempat pemberhentian kereta yang kiranya penting adalah Diamond Restaurant, Solo Grand Mall, Loji Gandrung, Taman Sri­wedari, Museum Batik House of Danar Hadi (HDH) Wuryaning­ratan, dan kampung batik Kaum-an untuk belanja batik, kawasan Keraton, Pusat Grosir Solo, Gedung BI, dan Pasar Gede.

Di satu sisi, jalur KA yang melewati sepanjang Jalan Slamet Riyadi terlihat jalur pedestrian dengan berbagai macam wisata kuliner, area hotspot, serta cenderamata di sepanjang rel KA dan bangunan kuno yang masih terawat dan terlindungi.

Memang, dengan hadirnya kereta pariwisata, Solo makin terdongkrak sekaligus muncul kesan klasik yang bercorak Solo asli, sesuai dengan semangat Soloís Past is Soloís Future (Solo Masa Lalu adalah Solo Masa Depan).

Namun, sebagai catatan, Pem­kot harus mengkaji lebih menda­lam agar proyek tidak mengganggu sarana transportasi yang telah ada. Jangan sampai tukang becak protes karena pendapatannya turun akibat keberadaan kereta wisata, karena ini sudah menyangkut urusan perut.

Suara Merdeka. 01 Desember 2008

Tidak ada komentar: