Heri Priyatmoko
“Terang bulan memancarkan sinar cuaca menambah keindahan Solo di waktu malam. Hawa sejuk segar karena angin sepoi. Bulan makin naik, seluruh kota makin ramai. Si kaya dan si miskin semua menikmati. Sriwedari kelihatan penuh sesak. Penonton-penonton bioskop pertunjukkan (wayang wong) pertama tidak lekas-lekas pulang, tetapi memenuhi taman hiburan itu. Berkeliaran kesana-kemari, ke tepi kolam, ke samping gedung wayang wong, ke rumah makan Pak Amat atau nongkrong di tempat sate, gule, soto Madura”. Itulah kalimat yang sedang disimak oleh juragan batik Siswanto dalam Roman “Solo Di Waktu Malam”, karangan Kamadjaja (1950).
Siswanto asyik membaca novel sejarah itu di kursi goyangnya, dibantu dengan kacamata. Ketajaman matanya menurun lantaran umur Siswanto seabad lebih. Ia beruntung sempat menangi keindahan Taman Sriwedari atau yang lebih sohor disebut Kebon Rojo, kala itu. Sriwedari diciptakan untuk kepentingan bersama, tempat bertemu, berinteraksi dan silahturahmi antarwarga. Di sana, dihidangkan aneka hiburan. Ada kebun binatang, perpustakaan, segaran, tempat olahraga, dan dilengkap warung makan serta event melem selikuran.
Di pintu tampak Mukinah, istri Siswanto, kecapekan pulang dari Pasar Klewer. Walau bukan keturunan mbok mase Laweyan, Mukinah pinter mengelola uang hasil jualan batik.
“Kok kamu kelihatan lesu begitu, opo mau ora payon...?” sapa Siswanto mesra.
“Laris, Pakne. Banyak pembeli dari luar kota yang memborong dagangan kita. Saya capek melayani, habisnya Surti dan Narni ijin tidak masuk,” jawab Mukinah sembari merebahkan tubuhnya di amben jati, samping kursi goyang.
“Kalau capek, nanti malam kita refresing ke Sriwedari sambil menikmati acara Koes Plus-an,” Yatmo, anak semata wayang mereka yang lagi makani ikan di aquarium, coba menawari.
“Wegah, le. Mending Ibu pakai untuk istirahat di rumah. Sriwedari sudah tidak seperti dulu, kehilangan identitas sosiokulturalnya,” jawab ibunya.
Memang setelah dibangunnya Pujasari, restauran Boga, THR, gedung bioskop, dan gedung Graha Wisata Niaga, maka ruang berekspresi rakyat semakin mengecil. Kini, polemik soal kepemilikan tanah Taman Sriwedari menambah susutnya pamor ruang publik yang berada di tengah Kota Bengawan tersebut. Kebon Rojo sekarang bukan Kebon Rojo era 1950-an, yang sesuai konsep taman indah persembahan Sumantri ketika ngenger kepada raja Harjuna Sasrabahu.
Siswanto turut gregetan mengikuti berita ontran-ontran Sriwedari melalui koran langganannya: Suara Merdeka. Siswanto berkomentar, ”dalam fakta sejarah, seperti yang disebutkan dalam Buku Babad Sala, bahwa Paku Buwana X adalah orang yang membangun Kebon Rojo untuk kawulanya. Jadi, apa masuk akal jika Sinuwun mengeluarkan duit ribuan gulden untuk membangun taman yang bukan di atas tanahnya sendiri”.
Manakala keluarga KRMH Wirjodiningrat menyodorkan surat kepemilikan tanah, secara bukti Pemkot memang terpojok. Tetapi bila ditengok fakta sosialnya, sudah jelas bahwa selama ini identitas Kebon Rojo telah melekat di hati rakyat. Keterlibatan warga dengan sendirinya telah membuat eksistensi Kebon Rojo tiada lagi menjadi milik perseorangan.
”Saya sangat mendukung kelompok Somasi yang beberapa waktu lalu menyampaikan penolakan rencana kompromi Pemkot dengan ahli waris, dan mendesak Pak Jokowi tidak melakukannya,” kata Siswanto mantap.
”Iya, Pak. Daripada dimiliki perseorangan, lebih baik kuasai negara. Biar tidak dienjah-enjah dengan pendirian bangunan komersil baru lagi, dan masyarakat bisa ikut mengontrol pembangunan dalam kompleks Sriwedari,” Yatmo menambahi.
”Saya rindu dengan Sriwedari tempo doeloe. Yang elok sebagai ruang rekreasi dan bagus untuk tempat mencari inspirasi para seniman,” kenang Mukinah seraya memejamkan mata.
Dimuat Suara Merdeka 03-01-09
Kamis, 08 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar