Rabu, 03 Desember 2008

Tokoh dan Kehinaan (1)

Oleh: Ridha al Qadri

“novel adalah kisah jiwa yang mencari dirinya”,
Georg Lukacs, The Theory of The Novel

I
Satu atau dua tokoh utama: karakter-karakter yang malang. Sepertinya kita mempelajari kebanyakan prosa realis ketika kita menemui arti kata kehinaan sebagai pengalaman utama beberapa tokoh novel. Kehinaan selalu berarti bermacam kondisi negatif yang memungkinkan cerita novel menampilkan penokohan dalam proses yang sulit.
Agaknya, itulah gambaran jamak novel realis kita. Kehinaan membayangi di balik struktur peristiwa tokoh. Keadaan itu bukan hanya menimbulkan teror yang dialami tokoh, melainkan kehinaan juga membawa seseorang “ke tempat di mana arti roboh”. Itu ungkapan dari Julia Kristeva dalam buku Powers of Horror: An Essay on Abjection. Pada akhirnya, ide mengenai kehinaan menjadi demikian penting ketika novel disiapkan untuk menggambarkan beragam jiwa manusia. Kemudian, yang dihadapi ketika harga sebagai manusia telah tumbang adalah kengerian: horor.
Horor itu pula yang mengawali novel Atheis Achdiat K. Mihardja, yang pertama kali terbit di tahun 1949, dengan kalimat: “apa artinya sesal, kalau harapan telah tak ada lagi untuk memperbaiki segala kesalahan?” Kalimat pesimis ini mewakili kebingungan Kartini di depan mayat Hasan suaminya. Ia terguncang dan lalu mencela diri sendiri karena telah lalai mengartikan peran sebagai istri. Aib yang diderita wanita itu disebabkan ketidaksetiaannya. Kehormatannya sebagai wanita terancam punah. Sedangkan untuk menebus kesalahannya itu tak lagi ada kesempatan.
Salah, represi, sesal. Mungkin itu sebabnya jiwa tokoh dalam novel sering riskan dalam pergolakan. Roland Barthes pernah menyebutnya dengan istilah “problem subjek”. Sekian karakter dalam novel tidak untuk ditampilkan secara datar dan biasa saja, melainkan hadir bersama krisis atau rasa sakit. Dalam hal novel realis, rasa hina timbul ketika batin tokoh dikacaukan oleh ihwal yang buruk. Bagaimana kehinaan tokoh itu terjadi dan apa pentingnya demi mengartikan novel?

II
Pada tahun 1978, Ramadhan K.H. menulis sebuah novel tentang sebuah keluarga dengan “pengalaman hidup yang begitu menyedihkan”.
Membaca Keluarga Permana kita menemui rasa kasihan dan marah. Bila diperhatikan, tokoh-tokohnya diletakkan pada persimpangan di mana pengertian moral dan iman mudah goyah. Di samping itu, ternyata ketulusan cinta dibuntukan karena suasana takut akan cemooh dan pelecehan. Dengan gambaran psikologis seperti itu novel ini hendak menggambarkan bagaimana kegamangan sebuah keluarga yang tiba-tiba kehilangan kebajikan di tengah pemecahan kemelut.
Sebagai kepala keluarga, Permana merasa tercemar martabatnya ketika mengetahui kehamilan putrinya di luar pernikahan. Pemuda yang ia percaya untuk menyewa sebuah kamar di rumahnya, Sumarto, justru jadi sumber musibah itu lahir. Yang makin menyulut rasa benci adalah beda agama. Di tengah keluarga itu, perasaan nista dan hina tak terhindarkan. Ia berang dan tak sempat menimbang keselamatan putrinya, Ida. Ditambah lagi, batin Permana yang giris karena putus kerja makin memperparah perasaan tercela.
Atau kita baca novel Ahmad Tohari Orang-orang Proyek. Seorang insinyur dan mantan aktivis bernama Kabul mesti memperjuangkan keyakinan etis atas “sesuatu yang benar” terhadap represi birokrat. Ia dipaksa dan diancam putus kerja oleh atasannya jika tidak melakukan “permainan” dalam anggaran pembangunan jembatan. Kenyataan itu menjadi pukulan keras bagi Kabul, dan kemudian ia memilih angkat kaki dari tanggung jawab kerja. Dari novel ini kita tahu, pikiran ideal belum tentu bisa diharapkan dalam kenyataan.
Dalam karya-karyanya, Ahmad Tohari memperlihatkan bagaimana manusia sering menyingkirkan adab, menjauhi akhlak, membatalkan tiap kaidah budi pekerti. Seperti pada Bekisar Merah, sejak kecil hingga dewasa, Lasiyah mengalami cacian, pengkhianatan, derita batin, dan karena semua itulah pandangan hidup atau kejujuran tidak mudah terus dipegang. Sebenarnya di sini terasa ada ironi, bahwa moralitas yang selalu dianggap luhur tidak selalu gampang membalik segala celaka.
Bukankah novel-novel seperti itu menunjukkan lenyapnya suka cita, ketika ide-ide akan kesusilaan, amanat, budi, dan etik bukanlah konsep yang terjamin di kenyataan begitu saja? Oleh sebab itu, yang kita tangkap memang ironi, seperti kesimpulan Georg Lukacs, bahwa “ironi adalah obyektifitas dari novel”. Keseluruhan ruang dalam novel merupakan wilayah pertentangan antara kategori-kategori ideal dan kenyataan yang tidak pernah pasti. Dalam novel, antara gagasan dan fenomena tidak selalu satu jalan.
Kita bisa rasakan kehancuran mental Srintil, tokoh rekaan Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk, yang terobang-ambing antara menunggu sikap cinta heroik Rasus, pelecehan harga diri sebagai perempuan, dan keputusasaan menjadi perempuan yang wajar. Ia adalah korban ketentuan sosial yang mengharuskannya menjadi ronggeng, atau penari erotis. Dengan identitas itu ia bebas “ditiduri” oleh siapa pun, dan dari sana seluruh rasa nista wanita itu bermula.
Dapat juga kita perhatikan moral keluarga yang amblas ditelan kepentingan individual dalam Hati Nurani Manusia, di mana pelbagai adegan dan pikiran kotor antara ayah dan anak diperlihatkan. Novel Idrus ini pertama terbit tahun 1965, ketika kondisi seluruh bangsa kita begitu mengkhawatirkan. Namun, agak aneh jika kita lihat zaman yang dipenuhi rasa takut itu justru lahir novel yang menghadirkan keluarga yang sibuk dengan kehinaannya sendiri. Novel ini hampir tidak merekam kerisauan yang ada di luar setting keluarga, melainkan merekam raibnya kategori susila keluarga itu sendiri.
Kehinaan bisa diartikan ketika harga diri dengan pikiran yang luhur mulai tak stabil. Itu juga punya maksud bahwa kehinaan merupakan wilayah terdekat munculnya ancaman. Akan tetapi, dalam hal novel, yang di mana “realitas” dicipta lewat sebuah desain, atau sebuah rancangan, tiap pengalaman buruk bukanlah titik akhir sebuah rekaan. Rasa hina adalah sisa dari sekian ikhtiar. Seakan-akan hal itu harus diterima, tetapi bukan merupakan keadaan yang ingin diraih. Dengan demikian, kehinaan sebagai problem tokoh tidak memiliki tujuan hanya dalam dirinya sendiri. Sepertinya, seluruh ruang dalam novel realis bukan cuma guna rasa hina ditampilkan.
Dari sini, ada perlunya kita mengutip kata-kata Georg Lukacs dari buku The Theory of The Novel. “Novel”, demikian buah pikiran pemikir Marxis ini, “menyampaikan petualangan sifat rendah diri”. Saya kira, kata “petualangan” cenderung mewakili apa yang jadi tujuan seluruh struktur yang dibangun pada sebuah novel, terutama cerita yang bercorak heroik. Hal inilah yang membedakan terhadap puisi atau cerpen. Justru inilah yang menarik perihal bentuk sastra dari novel.
Dengan demikian, meskipun kehinaan bisa diartikan sebagai sifat rendah diri, adanya novel bukan hanya demi menyisakan keputusasaan. Karena memberi tempat istimewa atas petualangan, novel tidak diciptakan tanpa hadirnya hal-hal baru, seperti harapan atau cita-cita. Maka, cita-cita dalam novel selalu berada dalam proses dialektik sejarah. Dengan kata lain, dalam novel terdapat ujian bagi jiwa tokoh.

Dimuat Suara Merdeka: Minggu, 28 September 2008.

Tidak ada komentar: