Oleh: Ridha al Qadri
Kiranya tepat jika sekian novel itu kita baca lewat konsep Georg Lukacs ini. Jiwa tokoh yang mengalami kebimbangan moral seperti Kabul itu, atau kenistaan Srintil dan aib Permana dan rasa tercela Kartini dan krisis martabat Lasiyah, ujung-ujungnya rawan melakukan tindakan-tindakan yang lebih buruk. Sebab, ketika eksistensi seseorang kehilangan arti, ketika horor melemahkan akal sehat, maka hampir sulit mengajukan dan mempertahankan argumen yang bisa membenarkan suatu aksi.
Justru di sanalah imajinasi pengarang dituntut bekerja lebih jauh. Kehinaan adalah titik awal seluruh masalah yang dialami tokoh novel. Tetapi, demi melanjutkan cerita novel dibutuhkan sekian faktor yang bertujuan mengembangkan problem tokoh itu. Dalam istilah Lukacs adalah “petualangan”. Faktor inilah yang menggarisbawahi maksud penokohan dalam novel, dan juga kisah epik, yakni agar jiwa tokoh “mencari dirinya”. “Petualangan mencari itu”, kata Georg Lukacs melanjutkan, ”layak dibuktikan dan diuji...untuk menemukan esensinya sendiri.”
III
Bisa dikatakan, bahwa goyahnya moralitas merupakan sebab robohnya nilai sebagai manusia. Namun, orang yang tak lagi bersandar pada adab hanya mungkin dikenali dari kelakuannya. Orang tak bermoral adalah yang menghalangi upaya mewujudkan akhlak. Karena itu, hilangnya moral berarti awal bagi kehinaan. Dalam hal ini, Julia Kristeva mempunyai pendapat, bahwa “kehinaan” sering dihubungkan “dengan perbuatan tidak wajar”.
Langkah tak bermoral adalah perilaku yang seharusnya tak lazim. Perkara seperti itu bukan ukuran normal bagi kesahajaan manusia. Akan tetapi, awal ketidakwajaran bukan saja sebab tindakan yang tak sengaja menelikung dari konsep akhlak yang dianggap baku, pasti, dan tetap. Kadang yang dianggap tidak lumrah justru diciptakan, disengaja, dan oleh sebab itu terdapat alasan untuk membuat daif orang lain.
Persoalannya memang akan berbeda jika jiwa dan martabat manusia menemui kekejian. Mungkin itulah yang digambarkan sekian novel realis kita, mengenai kehinaan, selain soal hilangnya signifikansi moral. Yang sesuai dalam perkara seperti ini, karya-karya Remy Sylado adalah contoh yang pas.
Di tahun 2002, dengan setting kota-kota besar di Indonesia, Remy Sylado menghasilkan kisah panjang seorang janda bernama Myrna Andriono, Kerudung Merah Kirmizi. Kesulitan ekonomi setelah kematian sang suami membuat tokoh ini pantang menyerah pada kekerasan hidup di kota. Ia bertahan mencari nafkah sebagai penyanyi hiburan di sebuah hotel. Adalah Prof. Dr. Luc Sondak, seorang duda beranak satu yang sukses, yang menawarkan harapan cinta baru dan berumah tangga.
Sosok Myrna adalah sosok yang berusaha tegar, bersama dua anak yang masih belum dewasa, bersama gunjingan dan fitnah dari pihak yang suka durjana. Bagian per bagian novel ini bergantian hadir tokoh-tokoh yang membawa harapan, dengki, cinta, zalim, gembira, bengis, dan peristiwa-peristwa yang mengundang bangkit atau patahnya semangat.
Selain Myrna, tokoh-tokoh ciptaan Remy Sylado, seperti Nunuk dalam Boulevard de Clichy: Agonia Cinta Monyet, atau Getruida van Veen dalam Parijs van Java: Darah, Keringat, Air Mata, adalah gambaran manusia-manusia, terutama para perempuan, yang sering menghadapi perawakan-perawakan yang tebal hati. Terlebih lagi Parijs van Java, kita sungguh merasakan perlakuan bengis, biadab, dan brutal dari peran-peran antagonis.
Dalam arti tertentu, cerita-cerita Remy Sylado mewakili kecenderungan yang dinyatakan Georg Lukacs di tahun 1920 sebagai kelanjutan gagasan “petualangan sifat rendah diri” pada kisah heroik sebelum zaman modern, yang kemudian sebagian besar masih membentuk arti novel pada abad 19 dan 20. Unsur kepahlawanan dan kehinaan belumlah berakhir, melainkan berubah tujuan dan penampilannya lewat persesuaian di era modern.
Apabila kisah epik dibentuk dari relasi “ide dan kenyataan”, atau lebih bertumpu pada sesuatu yang abstrak, pada novel modern cenderung menunjuk hubungan “jiwa dan kenyataan”, atau tidak melulu bertumpu pada konsep metafisik.
Relasi jiwa dan realitas, pada akhirnya juga butuh apa yang dikatakan oleh Lukacs penting dari tiap “novel besar dan sejati”, yakni “refleksi”. Ciri khas novel modern, yang berarti yang membedakan dari kisah epik, adalah kemungkinan bagi tokoh-tokohnya untuk membayangkan, memikirkan, dan merenungkan diri mereka sendiri. Itulah refleksi. Refleksi menjadi jembatan antara sisi psikis tokoh dengan dunia eksternal. Refleksi menjadi cermin, bagaimana dan seperti apa seorang tokoh memahami problem-problem hidupnya.
Pada gilirannya, refleksi adalah usaha menemukan kembali harga diri yang terancam. Itu memang kita rasakan ketika Getruida van Veen dalam Parijs van Java frustasi setelah mengalami tindakan biadab Rumondt dan Van der Wijk, saat Rob Verschoor sang suami terjebak konspirasi dan dipenjarakan, dan wanita itu merenung: “yang mengaku memiliki harkat, haruslah sanggup mengatur jalannya masing-masing”.
IV
Dalam arti tertentu, bagaimana refleksi punya peran dalam novel tergantung bagaimana seorang tokoh mengalami kekecewaan, disillusionment.
Kehinaan, yang disebabkan tindakan-tindakan keji dan runtuhnya kaidah moral, seakan-akan jadi bagian tak terpisahkan dalam usaha reflektif seorang tokoh. Rasa hina dan kecewa adalah bagian dari petualangan itu sendiri. Sedangkan upaya reflekfif terhadap rasa hina merupakan kapasitas yang masih bisa dilakukan seorang tokoh demi “mencari dirinya”. Refleksi adalah sejenis petualangan jiwa. Di sana berlangsung upaya menemukan diri. Namun, dalam sekian novel, seperti apa dan bagaimana yang ditemukan tokoh itu tidak pernah sejelas ujian yang sedang dialami.
Tetapi ada satu hal yang bisa kita ajukan di sini menyangkut apa yang ditemukan tokoh dari dirinya pada sebuah cerita: status.
Status bisa berarti beragam derajat eksistensi yang dimiliki seseorang. Status adalah persoalan yang erat dengan hal kehormatan seseorang. Bukankah Srintil merana ketika statusnya sebagai perempuan tidak seperti umumnya wanita? Atau, apakah Getruida van Veen tak merasa terancam harga dirinya ketika ia dan suaminya dikhianati orang-orang yang dulunya menawarkan harapan?
Status adalah semacam identitas yang hendak diusahakan dan dipertahankan. Status pula yang membuat Ni, tokoh Arswendo Atmowiloto dalam Canting, mempertanyakan kembali tanggung jawabnya terhadap buruh batik. Ia pun mengakhiri karier di bidang farmasi, dan pilih melanjutkan usaha keluarga di pabrik batik. Ia tak merasa tercela dengan status barunya, sebab dengan langkah itu ia merasa menjadi dirinya.
Atau kita baca novel Jalan Menikung Umar Kayam, yang terbit di tahun 1999 sebagai kelanjutan novel Para Priyayi. Eko Harimurti, keturunan priyayi Jawa bertradisi Islam, memilih tetap tinggal di Amerika dan beristri Yahudi, sementara sang ayah, Harimurti, dipecat dari tempat kerja karena perkara keterlibatannya di masa lalu dengan organisasi PKI. Hubungan keluarga jadi mengkhawatirkan dan seperti terputus. Perkawinan Eko dengan gadis Yahudi, serta keterkucilan sosial Harimurti karena aib politik, memicu perdebatan keluarga tentang status dan martabat keluarga yang dianggap kurang wajar.
Tapi di setiap novel selalu ada yang unik. Misalnya, bahwa tokoh-tokoh yang kehilangan arti sebagai manusia belum tentu menemui jalan keluar di ujung cerita. Sebab, novel menampilkan sesuatu yang tidak jadi begitu saja. Novel adalah perjalanan jiwa. Itu sebabnya novel selalu mengundang pertanyaan, pertanyaan, dan pertanyaan yang kita, sebagai pembaca, mesti mengajukan sendiri jawaban-jawabannya.
Dimuat Suara Merdeka: Minggu, 5 Oktober 2008.
Bacaan:
Ackhdiat K. Mihardja, Atheis, Balai Pustaka, Jakarta, 1960.
Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, Gramedia, Jakarta, 2004.
Ahmad Tohari, Orang-orang Proyek, Mahatari, Yogyakarta, 2004.
Ahmad Tohari, Bekisar Merah, Gramedia, Jakarta, 1993.
Arswendo Atmowiloto, Canting, Gramedia, Jakarta, 1997.
Georg Lukacs, The Theory of The Novel, translated from the German by Anna Bostock, The Merlin Press, London, 1971.
Idrus, Hati Nurani Manusia, Pustaka Jaya, Jakarta, 1976.
Julia Kristeva, Powers of Horror: An Essay on Abjection, translated from French by Leon S. Roudiez, Columbia University Press, New York, 1982.
Ramadhan K.H., Keluarga Permana, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986.
Remy Sylado, Parijs van Java: Darah, Keringat, Air Mata, Gramedia, Jakarta, 2003.
Remy Sylado, Kerudung Merah Kirmizi, Gramedia, Jakarta, 2003.
Remy Sylado, Boulevard de Clichy: Agonia Cinta Monyet, Gramedia, Jakarta, 2006.
Umar Kayam, Jalan Menikung, Grafiti, Jakarta, 2002.
Rabu, 03 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar