Oleh: Ridha al Qadri
“sebuah puisi menyatakan satu hal dan bermakna yang lain”.
Michael Riffaterre, Semiotics of Poetry
I
Di tahun 2001, Sapardi Djoko Damono menulis puisi berjudul “23:30” yang dicantumkan dalam kumpulan Mata Jendela. Inilah seluruh gambaran yang disaksikan menjelang tengah malam itu: sebuah ojek diparkir di pinggir pertigaan/mesinnya sudah dingin;/satu-dua angkot masih lewat, kecapekan – /menunggu terasa sangat panjang: tinggal angin.
Penjelasan apa yang diwakili peristiwa dalam puisi ini? Kita tahu, akhirnya, penjelasan itu tidak tersedia secara lugas. Semua wujud visual yang tampak di sana pun bukan sebagai keterangan yang gamblang mengenai judulnya. Pada satu sisi, judul “23:30” semata-mata bukanlah penunjuk waktu saat semua hal terlihat, melainkan sebagai indikasi bahwa sekian peristiwa yang monoton telah terjadi di pinggir jalan hingga jam yang disebutkan; bahkan mungkin lebih lama lagi semua itu akan berlanjut, bahwa ketika malam makin dingin dan sepi, belum juga terjadi perubahan aktivitas dan situasi yang sesuai harapan. Pada lain sisi, tidak terlihatnya seseorang bukan berarti tidak hadirnya seorang pun di sana; ini juga berarti begitu penting tidak terdapatnya kata yang langsung mewakili manusia.
Menghadapi puisi Sapardi itu, kita tidak segera memperoleh amanat. Kita seperti dipaksa menduga maksud seluruh gambaran yang dihadirkan. Akibatnya, kita cuma menemui beberapa objek dan durasi waktu dan gejala alam yang membentuk situasi dan struktur peristiwa dari bangunan teks. Hubungan-hubungan tiap hal itulah yang menentukan makna peristiwa dalam teks puisi; yakni, yang menunjuk pada asosiasi pengaruh keadaan, atau yang menyusun penjelasan ketika setiap tanda memungkinkan terjadinya pemaknaan dari kaitan kausal tanda-tanda.
Persoalannya kemudian, karena apakah interpretasi atas puisi semacam itu menjadi mungkin?
II
Di depan teks puisi yang sepenuhnya bertumpu pada imaji seperti itu, kita dituntut dan diberi kesempatan luas menemukan tafsir yang paling pas. Ada kalanya sebuah benda yang berada pada satu tempat dan waktu tertentu mengandung pemerian yang beda bila ada di lain saat dan lain letak. Bagaimana pun atribut dan cara tampilnya objek dalam sebuah teks memiliki artikulasi yang lain-lain. Ketika sebuah objek yang diwakili sebuah kata diletakkan dalam teks, maka, ia telah erat terkait dengan pola pikiran seluruh teks tersebut. Dalam puisi “23:30”, kata “mesinnya” yang mengacu pada motor “ojek”, berikut “angkot” dan “angin” dan “pertigaan”, menguatkan konsekuensi atau arah pemaknaan pembaca atas fokus topik dari teks.
Dari sini, ada perlunya kita kutip pernyataan termasyur dari seorang filsuf Anglo-Amerika. “Apa yang membedakan bahasa puisi dan yang bukan puisi adalah cara teks puisi membawa makna”, demikian kata Michael Riffaterre dalam The Semiotics of Poetry. Dalam arti khusus, seorang penyair menampilkan dunia lewat bahasa puisi. Proses representasi itu berlangsung karena bahasa semata-mata menjembatani hubungan antara penyair dan dunia; yang secara tidak langsung dapat menyatakan konsep, tindakan, dan pikiran.
Kita mengawali dengan asumsi bahwa terdapat kaitan antara bahasa dan dunia. Akan tetapi, relasi itu hanya mungkin dimaknai karena bahasa sendiri terdiri dari susunan tanda. Melalui tanda itulah bahasa puisi mempunyai beragam cara “membawa makna”. Apa yang merangsang kita berpikir, dan juga yang mengundang penyair mempertimbangkan dan mengolah gagasan, adalah tanda. Dengan kata lain, perhatian dasar pengetahuan penyair adalah melalui tanda. Seluruh hal dalam dunia merupakan semesta tanda. Namun, meminjam pernyataan Gilles Deleuze dalam Proust and Sign, bahwa “sekian tanda yang menyusun pluralitas dunia itu tidak terdiri dari jenis yang sama, tak punya cara yang sama untuk tampil, tidak menyediakan dirinya untuk diuraikan dalam kesamaan cara, tak memiliki relasi identik dengan maknanya.”
Barangkali, karena itulah seorang penyair mulai menyusun puisi dengan merujuk suatu peristiwa, benda, lanskap, orang, atau objek. Hal demikian lazim terjadi, misalnya, bila sebuah puisi hendak mengomunikasikan sebuah pengalaman dengan menggambarkan sesuatu yang melibatkan “sistem penglihatan”, the perceptual system. Apa saja yang mengacu pada persepsi, atau segala sesuatu yang bersifat iderawi, selalu mungkin menyusun bahasanya sendiri. Mengenai peran bahasa inderawi ini Daniel Chandler mengemukakan pendapat dalam Semiotic: The Basic, bahwa “persepsi selalu menyiapkan representasi”. Pada gilirannya, sistem persepsi menyangkut dunia yang telah dibahasakan ke dalam teks puisi selalu melibatkan unsur dan fungsi tanda. Dalam pengertian yang lebih khusus, bahasa inderawi selalu terkait dengan kode persepsi. Maka, sebagian interpretasi atas teks puisi adalah bentukan antara tanda dan kode.
Dengan demikian, bisa diibaratkan, walau tak sepenuhnya sesuai: dunia adalah sistem makna, bahasa adalah sistem tanda. Pengertian ini pun sesungguhnya bisa saling dipertukarkan. Antara dunia dan bahasa terdapat tanda dan makna. Masing-masing hal itu tak dapat dipisahkan. Mereka seperti dua rupa dalam satu wajah. Misalnya, kata “hujan” merupakan tanda – yang di satu sisi terdiri dari abjad-abjadnya sebagai “penanda”, sekaligus, di lain sisi bisa mengacu fenomena jatuhnya air dari langit, atau berarti kesuburan bagi kebun dan sawah, atau berkah dari Tuhan, sebagai “petanda”.
Sedangkan peran kode, menurut Chandler, merupakan pemfungsian seluruh elemen yang membentuk “sistem pikiran” dari teks, yang kemudian “mengorganisir tanda ke dalam sistem makna” sebuah teks. Sistem makna dari kode lebih banyak menyangkut unsur-unsur petanda yang sudah dikombinasikan dengan petanda lain pada seluruh bangunan teks.
Kode seperti acuan pemaknaan tertentu atas hubungan-hubungan antar tanda. Berikut ini pernyataan Chandler yang lebih jelas: “Tiap teks adalah suatu sistem tanda yang terorganisir menurut kode dan subkode yang mencerminkan nilai-nilai tertentu, sikap, kepercayaan, asumsi, dan praktek. Kode melebihi teks tunggal, menghubungkan mereka bersama-sama dalam suatu kerangka interpretatif yang digunakan oleh interpreter dan produsen teks. Dalam menciptakan teks kita memilih dan mengombinasikan tanda dalam relasinya dengan kode karena kita telah terbiasa. Kode membantu menyederhanakan fenomena dalam rangka membuat teks lebih mudah mengomunikasikan pengalaman-pengalaman.” Atau, dalam pengertian yang pernah dikoreksi Umberto Eco: “kode menyediakan aturan yang menyebabkan tanda sebagaimana peristiwa konkrit dalam hubungan komunikatif.”
III
Memang asumsi yang dibawa Chandler dan Eco tentang kode menggarisbawahi fungsi tanda pada seluruh representasi literer sampai representasi visual. Meski begitu, pandangan-pandangan mereka cukup relevan untuk diterapkan pada teks puisi. Namun, asumsi yang lebih spesifik menyangkut elemen-elemen dan fungsi kode dalam produksi tanda dan teks puisi dinyatakan oleh Michael Riffaterre dalam risalah berjudul Semiotics of Poetry. Sedangkan pada satu bab buku The Pursuit of Signs, Jonathan Culler cukup jelas menguraikan gagasan Riffaterre yang terlalu abstrak itu.
Beberapa kata yang dipertemukan ke dalam teks puisi dan yang mengandung fungsi tanda puitis bisa jadi akan merujuk pada pengelompokkan kata sebelum kata-kata itu eksis dalam ruang dan waktu tertentu. Riffaterre menyebutnya dengan istilah yang sulit dialihbahasakan ke bahasa Indonesia: hypogram. Dengan pengertian: bahwa tanda-tanda atau kata-kata dalam sebuah teks akan merujuk pada “asosiasi konvensional”, atau “sistem deskriptif”, atau pola pikiran, kode, atau dalam uraian Jonathan Culler pada “kompleks tematik” sebuah teks.
Sebuah tanda dalam teks puisi membentuk kesatuan tematik ketika dikenali pemfungsian salah satu atau beberapa maknanya lewat menghubungkannya dengan tanda yang lain. Kata “angin” pada bait “tinggal angin” dalam puisi Sapardi di atas, bisa menunjuk pada makna gejala gerak pada alam. Inilah konvensi makna yang membentuk kode. Namun, makna “angin” di sana juga dipengaruhi kata “menunggu” pada frase “menunggu terasa sangat panjang”. Maka terasa ada kompleks tematik selanjutnya yang mempengaruhi tanda “angin”. Angin seperti jadi kehadiran yang sebenarnya tidak terlalu diharapkan. Angin seperti mengganti sosok yang cukup lama ditunggu. Selain pengartian tersebut, angin seolah menimbulkan konotasi atau mengganti ketidakhadiran calon penumpang ojek.
Maka, tiap penyair – terutama yang menulis lirik yang imajis – akan berpeluang memodifikasi tiap kata atau tanda lewat beberapa cara yang membuatnya bisa membentuk struktur bahasa dan dunia yang unik. Bisa jadi modifikasi itu menimbulkan problem ketika interpretasi pembaca menuntut hasil pemaknaan yang final. Bisa jadi puisi Sapardi berjudul “Gadis Kecil” ini, yang ditulis tahun 2001, mewakili licinnya batas-batas “sistem deskriptif”, dan berpotensi memunculkan paradoks atas akhir pemaknaan teks. Inilah seluruh bagian puisi itu: “ada gadis kecil diseberangkan gerimis/di tangan kanannya bergoyang payung/tangan kirinya mengibas tangis – /di pinggir padang ada pohon dan seekor burung.”
Betapa pendek puisi ini. Meski cukup ringkas, betapa luas pikiran kita digerakkan oleh citra yang disajikan. Seolah-olah imajinasi kita mudah terangsang oleh imaji yang dihadirkan. Adakah yang langsung, bahkan tidak langsung, yang menghubungan gadis kecil di bawah gerimis dengan burung di sekitar pohon? Kita bisa memikirkan pertanyaan ini karena puisi ini mengandung cerita. Karena itu, deskripsi puisi “Gadis Kecil” cukup kentara meletakkan kausalitas sebagai perangkat naratif: seorang gadis seolah berjalan terburu-buru ke suatu tempat dengan payung karena hari tiba-tiba hujan.
Meskipun narasi puisi cukup jelas, kausalitas yang digambarkan bisa dibilang belum memastikan motif apa yang meluaskan arti kata “tangis” untuk mengarahkan pengartian pembaca ke pemandangan “di pinggir padang”. Seakan-akan kita tidak diberi banyak petunjuk apakah gadis itu menjauh dari padang atau menuju burung itu berada. Inilah paradoks yang tersembunyi. Tapi, kita akan sulit menyangkal adanya pendapat jika gadis itu tak mungkin mengambil payung dari sekitar pohon. Terlebih lagi, ketika hujan masih berupa “gerimis”, salahkah bila payung itu diambil di suatu tempat yang bukan dari di sekitar padang itu.
Di sinilah kode persepsi, atau asumsi inderawi, mengatur proses pemaknaan. Persepsi kita seolah memanggil memori akan kode ruang atau posisi benda atas letak dan maksud yang sudah pasti. Kode persepsi ini mempengaruhi pemaknaan mengenai maksud mengapa gadis kecil itu mengambil payung, mau ke mana, dan untuk siapa payung itu dibawa.
IV
Bagaimana pun, fungsi kode begitu vital dalam interpretasi. Kita bisa mengenali aktivitas dalam puisi “23:30” karena di sana terdapat kata “ojek” dan “angkot”. Ojek memiliki kode sosial seperti alat transportasi umum. Kita tahu bahwa pasti terdapat seseorang yang kedinginan menunggu penumpang ojek dalam waktu lama. Kita seakan-akan tidak dipaksa oleh seruan seperti ”kasihanilah orang seperti ini”, tapi, gambaran peristiwa itu sudah membangkitkan simpati tertentu dalam perasaan kita. Atau, dalam puisi “Gadis Kecil”, tanda-tanda seperti tangis, hujan, pohon, payung, dan burung, mengonstruksi kode naratif yang mengarah pada aspek afektif cerita.
Selain kode, tiap signifikansi tanda dalam teks juga didukung oleh model-model penandaan. Model-model itu sangat kompleks dan beragam. Sedangkan sebuah teks puisi mungkin memakai beberapa model penandaan. Kita bisa mencari contoh sebuah model penandaan dari puisi Sapardi dari tahun 2004, berjudul “Sajak Delapan”: “”Apa yang memantul di permukaan air itu?” tanyamu, pelahan./Sisa siang, sisa genangan sehabis hujan,/sisa langit di antara daunan basah dan selembar awan – /sisa percakapan yang melelahkan tentang harapan.//Kau menghindar dari genangan itu, memegang erat-erat/tanganku, “Ada yang memantul di air kotor itu,” katamu;/waktu itu sisa matahari sudah susut ke arah barat,/menawarkan warna kemerahan, “Cahaya itu”, kataku.//Di perempatan kau menunjuk ke papan reklame itu,/aku tak begitu paham apa maksudmu,/tak tahu hubungan antara genangan air, cahaya matahari,/dan gambar anak-anak muda yang warna-warni.
Untuk mengenali pola penandaan puisi ini kita bisa mengawali dari baris “kau menghindar dari genangan itu, memegang erat-erat tanganku”. Merminjam pemaparan Kris Budiman, peristiwa semacam ini bisa diartikan ke dalam tipe tanda yang berupa indeks. “Indeks adalah tanda yang memiliki kaitan fisik, eksistensial, atau kausal”, demikian kata Kris. Genggaman tangan adalah indeks dari adanya kedekatan personal. Tentu tidak umum jika tindakan saling memegang tangan dilakukan lelaki satu dengan lelaki lain, walau itu bisa banyak terjadi pada pasangan homo.
Maka, asumsi kita akan maklum jika paling mungkin terdapat pasangan lelaki dan perempuan dalam puisi itu. Kita bayangkan pasangan yang sedang kasmaran itu berjalan-jalan di sebuah jalan kota. Mereka bercakap-cakap tentang apa saja. Mereka bertanya-jawab mengenai citra-citra yang tampil di sekitar jalan. Ada genangan air sebagai indeks air hujan. Warna kemerahan di permukaan genangan air sebagai indeks hari telah sore. Seolah-olah mereka mencari kebahagiaan dari persepsi alam yang ditangkap. Justru sebaliknya yang tertangkap, genangan air hujan yang kotor mungkin mencitrakan kondisi mereka: “sisa percakapan yang melelahkan tentang harapan”.
V
Sepertinya memang tiap upaya penafsiran selalu menuntut kita mencari kata-kata yang tidak tercantum dalam teks. Kita seolah diajak mengajukan pertanyaan, menyeleksi petanda, melacak asosiasi, dan memperhitungkan kombinasi atas relasi-relasi tanda dalam sebuah konstruksi teks puisi.
Puisi Sapardi lainnya di tahun 2001, berjudul “Kaubayangkan”, menuntut praktik semacam itu. Puisi ini bermain-main dengan imaji dan khayal. Mungkin kita setuju bila kekuatan bahasa puisi ini justru terletak ketika fungsi ekspresi bahasa bisa dibolak-balik ke dalam fungsi impresi bahasa. Puisi ini berupa lamunan, atau yang dalam risalah Gaston Bachelard disebut sebagai tipe poetics of reverei; puisi lamunan atau lamunan puitis.
Dalam puisi Sapardi ini, antara tanda yang diisyaratkan oleh tanda lain, yang tak hadir, atau tanda yang tak langsung diacu, dan seluruh asumsi penginderaannya, seolah-olah hadir karena pengaruh seleksi dan kombinasi tanda. Beberapa metafor berhasil menguatkan pola kombinasi tanda itu. Di sini bisa kita baca seluruhnya: “kaubayangkan angkasa tiba-tiba mengental/sementara awan mendaki pundak gunung itu;/kaubayangkan panorama itu menjelma kristal/yang percik-perciknya menenteramkan debu.
Pada awalnya, kita dikejutkan oleh baris metaforik “angkasa tiba-tiba mengental”. Definisi mengental merupakan kualitas yang terjadi bila suatu zat cair mengalami pengurangan sifat cairnya, atau bisa dikatakan bila telah terjadi pemadatan atau akumulasi kepekatan dalam jumlah besar. Metafor “mengental” bisa dibilang tak terhubungkan dengan unsur denotatif tanda yang sebelumnya; angkasa. Justru metafor “mengental” itu diikuti baris yang menyertakan kata “awan” sebagai pelengkap kombinasi tanda. Jadi, mula-mula “mengental” membentuk arti konotatif saat mengikuti tanda “angkasa”. Kemudian, “mengental” menguatkan konotasi itu ketika produksi teks diikuti fenomena “awan”. Karena itu, gambaran langit dan di sekitar gunung seolah-olah telah berubah kadar cairnya, dan di atas sana itu sedang berlangsung kondisi yang mirip dengan kecap atau saus.
Pada pola penandaan seperti itu, permainan makna terjadi antara makna denotatif dan konotatif. Seperti yang dijelaskan oleh Roland Barthes, jika denotasi tak lagi berfungsi, maka, fungsi konotasi yang akan mengatur relasi tanda. Karena itu, filsuf Prancis ini mengingatkan, bahwa tiap produksi makna yang bersifat konotatif cenderung menggoncang, mengagetkan, mengejutkan; atau dengan istilah Barthes sebagai relasi tanda yang melepas batasan sistem makna (staggered system).
Peran konotasi adalah apa yang sesungguhnya diperankan metafor ketika menukar petanda dan membawanya sejauh mungkin ke pada acuan makna yang tak terduga sebelumnya. Akan tetapi, apa yang disebut pula oleh Riffaterre sebagai sistem konversi dan ekspansi tanda ini, atau pola perluasan dan penukaran makna, tidak sepenuhnya bebas dari matriks yang kemudian mengikutinya. Dalam puisi itu, frase “panorama menjelma kristal” sedikit demi sedikit memperluas atau mengembangkan dugaan kita atas keberadaan zat cair di angkasa. Tafsir yang paling mungkin adalah tentang mendung atau air hujan. Dan bait penutup puisi ini menguatkan sugesti tersebut.
Apa yang kita pahami dengan proses interpretasi, akhirnya, dipengaruhi oleh interaksi dan konsekuensi pola-pola penandaan dalam sebuah teks. Sebagai pembaca puisi, awalnya, kita memang bertumpu pada pikiran semata. Tapi, pikiran itu dirangsang oleh imaji-imaji yang muncul dari pengorganisasian sejumlah tanda dalam teks, yang kemudian merangsang seluruh indera kita. Indera kita mencerap tanda dalam teks. Karena itu, kumpulan tanda dalam teks puisi cenderung menimbulkan apek-aspek imaji. Pengorganisasian tanda tersebut kemudian menggerakkan imaji pikiran kita.
Sebab itulah puisi Sapardi berjudul “Di Depan Pintu” menggerakkan pikiran kita ke mana saja imaji itu mungkin bergerak. Masing-masing penanda dan petanda saling memberi isyarat, bahwa gambaran visual yang tampil hendak membawa pikiran kita pada tanda visual yang belum hadir atau ditunda tampil. Saya kutipkan lagi puisinya secara utuh: “di depan pintu: bayang-bayang bulan/terdiam di rumput. Cahaya yang tiba-tiba pasang/mengajaknya pergi/menghitung jarak dengan sunyi.
Bukankah Sapardi mengajak kita, kira-kira setelah Subuh, ketika gelap masih tersisa, untuk memperhatikan pemandangan di halaman rumah dan di atas langit. Bukankah persepsi kita dituntun untuk bergerak, menghitung, memprediksi, dan menunggu, adakah yang kemudian berubah pada semua lanskap yang tampak itu. Bukankah “sunyi” adalah milik malam, dan di saat hari mulai terang, berarti kita sedang menuju lingkungan yang segera berubah jadi ramai.
VI
Rangkaian tanda yang menyusun kembali suatu peristiwa adalah representasi yang dapat membentuk imaji. Menurut definisi asal kata imaji, istilah ini berkenaan dengan segala sesuatu mengenai “gambar” atau “tiruan”. Jika dalam film dan lukisan imaji dapat jelas kita rasakan lewat citra visual, maka, dalam puisi, tipe imaji tercermin dari tanda-tanda yang memberi impresi visual. Makna impresi visual ini tidak kita tangkap segera setelah kita menghadapi sekian kata atau tanda dalam teks puisi. Kesan visual cenderung menampilkan kualitas-kualitas yang bersifat inderawi.
Impresi visual dalam puisi terjadi ketika sebuah bait atau baris atau seluruh kalimat dalam puisi menunjuk satu atau beberapa peristiwa kongkrit yang berlangsung dalam kenyataan. Berikut ini sebuah puisi Sapardi berjudul “Aubade” yang cenderung memberi kesan-kesan visual dari lanskap: “percik-percik cahaya. Lalu kembali hijau namamu,/daun yang menjelma kupu-kupu, ketika anak-anak bernyanyi – /melintas di depan jendela itu/lalu kembali cahaya sebutanmu, hatiku pagi ini.”
“Aubade” berarti nyanyian di waktu pagi. Bisakah kita menghubungkan tanda-tanda impresif itu, antara perubahan warna daun setelah gelap malam, dengan perubahan lingkungan yang terdengar ceria, dengan tangkapan mata atas sinar mentari, dan dengan ekspresi perasaan penyair yang disamarkan. Bisa jadi semua yang tampak di sana adalah cermin “hati” penyairnya di pagi itu.
Dengan demikian, di depan sebuah puisi, tidak selamanya kita diminta merasa cukup dengan hal yang dinyatakan secara gamblang. Di depan puisi Sapardi, seringkali kita menghadapi limpahan makna yang tak terduga dari sekian tanda dalam teks. Itulah mengapa esai ini “sementara” saya tutup dengan kutipan dari Michael Riffaterre di awal tulisan ini: “sebuah puisi menyatakan satu hal dan bermakna yang lain”.
Boyolali, 15-28 Agustus 2008
Dimuat dalam Bulletin Sastra Dwi Bulanan Littera: No.5 Th.I Edisi September-Oktober 2008.
Bacaan:
Daniel Chandler, Semiotics: The Basic, Routledge, New York, 2002.
Gilles Deleuze, Proust and Sign: The Complete Text, translated from French by Richard Howard, University of Minnesota Press, Minneapolis, 2000.
Jonathan Culler, The Pursuits of Sign: Semiotics, Literature, Deconstruction, Routledge & Kegan Paul, London, 1981.
Kris Budiman, Ikonisitas: Semiotika Sastra dan Seni Visual, Buku Baik, Yogyakarta, 2005.
Michael Riffaterre, Semiotics of Poetry, Indiana University Press, Bloomington & London, 1978.
Roland Barthes, Elements of Semiology, translated from French by Annette Lavers and Colin Smith, Hill and Wang, New York, 1985.
Sapardi Djoko Damono, Ayat-ayat Api, Grafiti, jakarta, 2006.
Sapardi Djoko Damono, Mata Jendela, Indonesia Tera, Magelang, 2001.
Sapardi Djoko Damono, Sajak-sajak, Kompas, Rabu: 3 Maret 2004.
Umberto Eco, A Theory of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington, 1979.
Rabu, 03 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar