Kamis, 16 April 2009

Wajah Kota Tanpa Greget

Bandung Mawardi

Pengenalan terhadap wajah kota menjadi mekanisme untuk mengalami kota. Kehadiran di kota merupakan kehadiran di ruang besar yang ramai dengan pelbagai konstruksi dan pemunculan imaji. Kota pun menjadi ruang ketegangan untuk realitas dan idealitas. Kota selalu tak selesai untuk menjadi ruang hidup dengan wajah, tubuh, dan ruh. Wajah kota adalah pengenalan awal yang ambigu.
Wajah kota kerap jadi alasan pemkot untuk mendadani kota dengan sekian tanda sebagai representasi kota. Gapura, patung, baliho iklan, tiang-tiang lampu, atau tugu adalah wajah-wajah kota untuk batas luar dan dalam. Orang yang masuk kota tentu memiliki resepsi terhadap kehadiran tanda-tanda itu dengan tafsir dan mekanisme penyesuaian atas realitas kota.
Mengenali Kota Solo dari arah barat seperti mengenali wajah yang samar dan kurang memberi godaan. Orang yang masuk Kota Solo melalui Jalan Adi Sucipto kerap merasa bingung dengan tanda kota sebab tak ada eksplisitas atau eksentuasi yang memikat. Tanda batas antara Kecamatan Colomadu (Kabupaten Karanganyar) dengan Kota Solo kerap diidentikkan dengan bangunan Adipura. Bangunan itu diadakah untuk tanda bahwa Kota Solo berhasil meraih penghargaan untuk kebersihan sejak tahun 1987. Adipura itu jadi tanda bagi orang masuk ke tubuh kota dan mencari-mengalami hadir di ruang kota.
Adipura sebagai tanda batas kota itu seperti bisu atau miskin pesan untuk mengatakan diri Kota Solo. Adipura memang kerap menjadi “pameran” atas prestasi kebersihan kota tapi susah untuk dibuktikan ketika melihat jalan kota dan ruang publik tak selalu bersih. Orang yang melintasi Adipura itu ke arah timur artinya masuk Kota Solo dan yang ke arah barat artinya meninggalkan Kota Solo. Proses melewati itu seolah tanpa kesan dan makna. Kota Solo seperti sekadar geografi tanpa kesan dan pesan. Ironis!
Pengalaman hadir di kota tentu adalah kehadiran dengan pembedaan dan pengalaman atas yang unik. Bisakah orang mengalami hadir di Kota Solo sebagai Kota Budaya ketika masuk melalui Jalan Adisucipto dan memandang Adipura? Cara memandang ini pun terkadang jadi sebab orang merasa kerepotan untuk menikmati situasi jalan. Adipura itu berada di tengah jalan dengan frekuensi kendaraan yang padat. Pengalaman hadir di kota mungkin sebatas perpindahan ruang tanpa perbedaan kentara karena jalan itu sama dan wajah-wajah kecil di sebelah timur atau barat Adipuran hampir sama.
Wajah untuk representasi tubuh dan ruh kultural nyaris tak tampak dan terasakan. Orang yang bergerak ke timur dalam jarak ratusan meter bakal melewati gedung DPRD Kota Solo. Gedung ini pun tak bisa bicara dengan fasih untuk menuturkan diri Kota Solo. Permainan tanda kota dengan penguatan etnisitas Jawa nyaris tak tampak. Wajah kota pun semakin tak memberi janji untuk mengalami kehadiran di Kota Budaya.
Wajah kota adalah permainan tanda untuk pemunculan imaji dan interpretasi atas pengalaman kehadiran. Penciptaan wajah kota merupakan penciptaan diri kota yang mengandung orientasi untuk pengalaman impresif kota. Wajah kota jadi pertaruhan untuk mengenalkan diri dan dikenali dengan sekian permainan tanda. Kehadiran wajah kota tentu harus bisa mengatakan sesuatu dan menyuguhkan kompleksitas makna.
Barangkali Pemkot Solo tak menganggap wajah kota di Jalan Adi Sucipto sebagai pertaruhan atas permainan tanda dan makna kota. Jalan itu merupakan jalur penting orang masuk Kota Solo sebab menjadi jalur transportasi orang dari wilayah Boyolali, Karanganyar, dan Sukoharjo. Jalan itu juga jadi jalur untuk pengenalan Kota Solo ketika para pengunjung dari luar kota masuk melalui Bandara Internasional Adi Sumarmo. Suguhan wajah yang sekadar Adipura tentu tak memberi impresi untuk menyatakan tubuh dan ruh Kota Solo.
Wajah kota mungkin untuk kota-kota tertentu adalah perkara sepele. Anggapan itu mengesankan ketiadaan niat untuk mengonstruksi kota dengan olah tanda dan makna. Wajah kota di pintu masuk justru kerap ditambahi dengan wajah-wajah dalam kota yang semrawut dan tak memunculkan keunikan ruh kota. Orang tentu mahfum bahwa kota-kota di Indonesia selalu identik dengan wajah diri dengan parade iklan dalam pelbagai media, bentuk, dan ukuran. Wajah kota adalah wajah iklan. Homogenisasi wajah ini terjadi di kota-kota Indonesia.
Kasus itu pun dialami oleh Kota Solo yang ramai dengan wajah-wajah iklan. Wajah dalam kota menjadi permainan visual tanpa wasit dan penonton seperti mendapati paksaan atau mekanisme imperatif. Orang susah membedakan pengalaman hadir di kota yang berbeda karena wajah dalam kota-kota itu nyaris mirip dengan iklan-iklan rokok, pulsa, otomotif, dan lain-lain. Wajah-wajah kota jadi cerewet tapi tak bisa mengatakan kisah diri. Kota Solo juga menampakkan diri dengan wajah-wajah iklan yang terkadang nampang dengan sentuhan-sentuhan etnis Jawa. Wajah kota yang ambigu ini adalah ironi kota.
Pemkot Solo mungkin harus lekas membenahi wajah kota dengan pemahaman ruang kota, tata kota, konstruksi arsitektur, dan permainan tanda. Kehadiran tanda-tanda untuk pemunulan wajah kota selalu mengandung elemen sosiologi, kora, psikologi kota, filosofi kota, estetika kota, mentalitas kota, identitas kota, dan harga diri kota. Pemahaman itu bisa jadi dalil untuk menyatakan diri sebagai Kota Budaya tanpa harus cerewet dengan slogan dan pamer tulisan memakai aksara Jawa di depan kantor pemerintahan.
Wajah kota seperti wajah manusia. Wajah adalah makna. Sikap abai untuk mengurusi wajah merepresentasikan kemalasan mengonstruksi makna kota. Konstruksi kota yang ramai dengan wajah dengan tanda-tanda homogen tentu membuat orang susah mengalami keunikan tubuh dan ruh kota. Pembenahan terhadap wajah kota seperti memberi indikasi bakal ada perubahan untuk menata dan merenovasi wajah-wajah dalam kota. Wajah iklan dan arsitektur yang tak memiliki keunikan adalah bukti kesusahan untuk menunjukkan diri yang unik dan impresif.
Wajah Kota Solo di Jalan Adisucipto adalah kisah kecil dari wajah-wajah lain yang dimunculkan dengan gapura, patung, atau baliho iklan. Wajah kota yang menggoda tentu bakal mengantarkan orang pada imaji kota dan pengalaman atas realitas kota. Wajah kota itu ada tapi tiada. Ada tanda tapi tak bicara. Ada tanda tapi miskin makna. Wajah kota adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Wajah kota adalah permainan tanda dan makna. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (4 April 2oo9)

Tidak ada komentar: