Jumat, 17 April 2009

Pohon di Solo Tempo Doeloe

Oleh Heri Priyatmoko

SRI Murni Rahayu melalui Surat Pembaca ’’Beda Kota Semarang dari Solo’’ (14/04), mengungkapkan ketakjuban manakala memasuki Kota Solo yang dimulai dari mulut kota paling barat, Kartasura. Dia menulis, melihat kanan-kiri perjalanan kita disuguhi suasana alam yang menawan. Tidak kelihatan semrawut dengan angkot-angkot.

Begitu memasuki Jalan Slamet Riyadi dan ke mana saja perjalanan dalam kota, dihadapkan dengan jalan-jalan yang lebar dan panjang. Meski di jarak tertentu ia dihadapkan dengan traffic-light dan hati-hati dengan becak yang kadang-kadang nyelonong begitu saja, tapi suasana nyaman ada di sepanjang perjalanan keliling kota, karena tidak dibisingkan angkot-angkot berebut penumpang untuk mengejar setoran.

Tanpa ragu bisa disimpulkan sistem penataan Kota Solo sangat baik. Terutama tata ruang kota, pengaturan angkot, pengelompokan pedagang kaki lima (PKL) dalam kota dan pasar tradisional. Bahkan, Sri Murni Rahayu membandingkan gambaran Kota Semarang dengan Kota Solo. Tapi agaknya ia sungkan untuk menyatakan Kota Solo lebih unggul satu langkah dari Kota Lumpia.

Dalam artikel ini, akan dibedah fenomena sejarah kondisi Solo tempo dulu dengan menggunakan objek pohon. Pada 1900, Solo merupakan kota taman yang sejuk, nyaman, dan dibayangi oleh pohon-pohon asam jawa.

Kuntowijoyo (2000) menulis, seorang pelancong yang memasuki kota dari sisi barat kota menyaksikan pohon-pohon tersebut di sepanjang jalan, dari Kampung Kleco sampai pusat kota.

Kota memiliki jalan yang lebar dan bagus. Rumah penduduk yang indah dibangun di bagian selatan sepanjang jalan utama, di kampung Purwasari. Warga betah jalan kaki menyusuri Purwosari Weg (kini Jalan Slamet Riyadi) karena idhum berkat kerimbunan dedaunan pohon di kiri kanan jalan.

Padahal, saat itu sudah marak transportasi dokar dan trem kota. Mereka tidak khawatir kehausan di tengah jalan, lantaran saban rumah di pinggir jalan telah disediakan kendi berisi air yang ditaruh di plengkung (gapura depan rumah).

Peran Penguasa
Solo sebagai kota pohon tidak lepas dari peran tiga penguasa, yaitu Paku Buwana, Mangkunegara, dan Tuan Residen. Ketiga pembesar mengatur kota ini acap kali dibuat pusing oleh kehadiran tamu tak diundang, yaitu banjir.

Setiap kali hujan deras, sistem drainage kota belum memadai dan Solo daerahnya cekung dikepung enam sungai, maka banjir pun senantiasa menyapa. Sebab itu, penanaman serta perawatan pohon untuk resapan air ialah sesuatu yang vital. Lalu, bagaimana pohon di mata keraton?

Pohon tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan estetika dan lingkungan, tapi kaya makna filosofinya. Menurut Inajati Adrisijanti (2002), pohon beringin hanya boleh ditanam di alun-alun (Dewadaru dan Jayadaru).

Pohon beri-ngin ini kala itu kerap digunakan oleh penduduk untuk berteduh ketika sedang bermain di alun-alun, bahkan hingga sekarang pun masih dipakai tempat berteduh. Kemudian di halaman dalem adalah sawo kecik, jambu dersana, atau pepohonan selain beringin.

Kedatangan Ir Thomas Karsten memberi sentuhan baru dalam tata kota. Dia membangun Villapark (Banjarsari), perumahan yang dilengkapi pertamanan untuk pegawai perkebunan (onderneming), dengan menggunakan konsep Garden City sebagai landasan.

Dalam buku Djokja en Solo karangan MP van Bruggen (1998), didokumentasikan secara apik foto-foto tempat liburan di Solo yang kiri-kanannya dipenuhi pohon, misalnya Taman Sriwedari. Kala itu, para kawula memang termanjakan oleh keberadaan taman kota yang dibangun Mangkunegara VII dan Paku Buwana X.

Antara lain, Taman Tirtonadi, Minapadi, Kebon Rojo (Sriwedari), dan Taman Jurug. Bagi mereka, sungguh kenikmatan tiada tara duduk mengelar tikar di bawah pohon rindang sembari merasakan tusukan angin sepoi-sepoi segar di kulit ari dan mendengar suara cicit burung. Kenyamanan warga itu terekam dalam novel sejarah.

Misalnya, karangan Kamadjaja (1950), ’’Solo di Waktu Malam’’, RM Soewidji ’’Kisah Di Pinggir Jalan Slamet Riyadi’’, dan Dimyanti (1950) ’’Di Pinggir Bengawan Solo’’. Dengan demikian dapat dipahami bahwa salah satu ciri Kota Solo adalah keberadaan vegetasi.

Epilog
Wali Kota Solo, Joko Widodo (Jokowi) membawa kotanya untuk bergerak cepat. Ruang publik didandani dan bermacam gebrakan dimunculkan guna mendukung pariwisata Solo. Misalnya, mendirikan wisata kuliner Gladag Langen Bogan (Galabo) dan Ngarsapura Night Market.

Semangat Jokowi mencolek kota dengan slogan Solo’s past is Solo’s future tidaklah keliru. Sayang, upaya penghijauan sebagai kesadaran lingkungan dirasa masih kurang.

Bila merunut kisah sejarah kodisi sekaligus pariwisata Solo tempo doeloe yang dipaparkan di atas, kita ketahui bahwa penguasa Solo ternyata dalam membangun kota selalu tidak meninggalkan atau melenyapkan pohon.

Mereka sadar, pohon selain difungsikan untuk penangkal banjir (menyerap air), daunnya yang rindang bagus untuk kesejukan kota, dan tentunya pohon dipelihara agar justru tidak menjadi bumerang di kala musim hujan disertai angin ribut. (35)

Dimuat di Suara Merdeka, 16 April 2009

Tidak ada komentar: