Bandung Mawardi
Jeihan suatu hari menanggap wayang kulit semalam suntuk di studio Pasirlayung. Jeihan memanggil dalang terkenal dari Pekalongan. Teman-teman diundang untuk menonton wayang. Penonton dengan kultur kota tak sanggup (bisa) menonton sampai pagi. Penonton wayang tersisa: Jeihan, Jakob Sumardjo, dan pegawai Jeihan. Pagelaran wayang kulit dengan dalang dan sekian niyaga itu tinggal mendapati penonton tiga orang. Pagelaran masih mengandung gairah dan greget karena dalang sadar masih ada penonton.
Kisah itu ada dalam buku biografi Jeihan: Ambang Waras dan Gila (2007) anggitan Jakob Sumardjo. Peristiwa itu ditafsirkan Jakob Sumardjo dengan sedikit kelakar: Jeihan sebagai penanggap dan penonton menentukan nasib pagelaran wayang kulit. Jakob Sumardjo mengartikan: “Kehadiran seorang Jeihan cukup mewakili penonton sedesa!” Kelakar itu mendapati tambahan penjelasan bahwa untuk menunjukkan antusiame menikmati pagelaran mereka kerap teriak dan tertawa keras. Tindakan itu dilakukan untuk membuktikan bahwa mereka tidak tidur ketika menonton di belakang kelir.
Kisah tiga orang menonton pagelaran wayang kulit sampai usai adalah parodi biografi penonton. Jejak tradisi memiliki catatan bahwa pagelaran wayang kulit pada masa lalu mendapati legitimasi kuat karena ada penonton massal. Kehadiran penonton adalah unsur untuk totalitas peristiwa seni. Makna pagelaran mendapati tafsir dan laku pluralistik oleh penonton. Catatan lama mengabarkan bahwa penonton bebas memosisikan diri di depan atau di belakang kelir. Kebebasan tampak dalam pilihan pose tubuh dan ruang. Penonton memiliki hak untuk duduk di kursi, lesehan, berdiri, atau tiduran. Pegelaran wayang memberi spirit demokratisasi dan emansipasi untuk penonton. Hak penonton pun tampak dalam cara menikmati pagelaran dengan makan, minum, merokok, atau melakukan tindakan-tindakan lain.
Spirit penonton itu menjadi bab penting untuk membaca lakon penonton hari ini dalam seni pertunjukan tradisional atau modern. Peristiwa seni dengan kehadiran penonton memiliki konvensi, etika, dan implikasi. Penonton mesti melakukan interaksi dan transaksi secara teknis dan simbolis. Konvensi, etika, dan implikasi untuk penonton terbentuk dari kalkulasi estetika, sakralitas, sosial, dan komersial. Kalkulasi itu memiliki acuan dan realisasi dalam kadar-kadar berbeda sesuai dengan pembentukan kulturl penonton seni pertunjukan tradisional atau modern. Pembedaan itu pun kerap rancu karena posisi dan spirit penonton. Kerancuan mungkin terjadi dengan percampuran-kombinasi karena batas tipis dalam pengalaman ruang dengan pelbagai kriteria.
Nama dan problema
Studi tentang penonton memang berada dalam ranah pinggiran dan masih sepi dari pembicaraan. Alia Swastika dalam Biografi Penonton Teater Indonesia: Yang Retak dan Bergerak (2004) menghadirkan studi kecil secara reflektif dan provokatif. Alia Swastika dalam studi kecil itu memilih kasus pertunjukan Waktu Batu # 2 (Ritus Kecemasan dan Wajah Siapa Terbelah) dari Teater Garasi di Gedung Societet Militer Yogyakarta pada 16-17 Juli 2003. Penonton adalah nama dan problema. Alia menelusuri biografi penonton mulai dari penampakan tubuh-ekspresif sampai pada resepsi-interpretasi.
Penelusuran pun bergerak dari ruang geografis asal penonton, ruang luar gedung pertunjukan, ruang tunggu, dan ruang pertunjukan. Penonton memainkan diri dalam ruang-ruang itu dengan pelbagai ekspresi dan imajinasi. Penonton ketika berada dalam ruang ketika pertunjukan berlangsung memiliki konvensi dalam kekangan dan kebebasan. Interaksi penonton dengan penyaji menjadi representasi posisi dan transaksi. Penonton dalam pertunjukkan teater kontemporer tentu memiliki “disiplin tubuh” dengan intruksi atau konsensus semu. Ruang dan posisi duduk untuk penonton teater adalah fakta dengan sekian gugatan dan kepasrahan. Penonton sebagai nama dan problema hadir dalam kompleksitas tanya dan jawab.
Nasib penonton adalah nasib peristiwa seni pertunjukan. Ungkapan ini mungkin patut menjadi konklusi untuk dalil dan pamrih peristiwa seni pertunjukan. Dua petikan lakon penonton wayang kulit dan teater kontemporer itu jadi acuan perbedaan dan kemungkinan nasib penonton untuk esok hari. Penonton wayang kulit dengan penonton teater tentu memiliki titik temu dan titik pisah mulai dari definisi sampai kontras dalam realisasi diri dengan sekian referensi dan orientasi.
Penonton teater sebagai problema merupakan konsekuensi dari eksistensi dan realisasi seni pertunjukan modern. Perhatian dan studi terhadap penonton memang memiliki jalan besar tapi samar. Pelacakan terhadap peran penonton dalam jejak literatur di Indonesia memang kurang melimpah. Jejak historis penonton secara parsial hadir dalam buku kecil Ikhtisar Sejarah Teater Barat (1986) garapan Jakob Sumardjo. Penonton pada teater abad XIX di Amerika mencakup kelas sosial, tuntutan penonton, menu pertunjukan, konsekuensi pertunjukan, dan durasi pertunjukan. Jejak historis itu adalah catatan kaki dari konsentrasi dan pemusatan wacana teater pada naskah, sutradara, dan aktor.
Jejak dan proses realisasi perhatian atas penonton dalam teater Indonesia mutakhir memiliki catatan-catatan kecil. Danarto dengan provokatif mengajukan pemikiran “teater tanpa penonton”. Pemikiran itu eksplisit menunjukan perhatian terhadap perkara penonton dalam ambiguitas dan ambivalensi. Pemikiran terhadap menonton mulai merebak dengan kesadaran kritis bahwa penonton adalah tanda tanya dan tanda seru untuk peristiwa teater.
Penonton teater?
Pelbagai konsep dan realisasi mulai tampak dalam sekian garapan teater di Indonesia. Kovensi penonton mendapati godaan dan ancaman untuk tidak mati sebagai stereotipe dan instrumen. Teater Garasi dalam j.e.j.a.l.a.n (2008) dengan eskplisit memerkarakan penonton dengan pengaburan konvensi: intruksi dan etika. Penonton memiliki hak menempati ruang dan mengekspresikan tubuh dengan jejaring konstruksi interaksi teater. Risiko paling kentara adalah penonton memiliki reaksi dengan kejutan dan kegagapan. Teater hidup dengan keremangan referensi dan orientasi penonton.
Teater Garasi dalam memerkarakan penonton secara implisit tidak ingin membuat represi atau paksaan terhadap penonton untuk merubah definisi dan laku. Penonton memiliki spirit liberatif meski dalam bayang-bayang represi karena belum mahfum atau masih susah lebur dalam interaksi teater. Reaksi penonton dengan konsep itu memiliki rentetan panjang sejak awal proses penonton membawa diri ke tempat pertunjukan dan titik akhir ketika membawa diri melepas hubungan dengan pertunjukan teater.
Kisah penonton pada garapan-garapan teater mutakhir menjadi babak lain dari perkara pelik dari Danarto dalam esai Menuju Teater Tanpa Penonton: Para Penonton, Seranglah Pertunjukan! (1983). Esai itu menjadi rumusan reflektif dan provokatif untuk memerkarakan penonton dalam Pertemuan Teater 80 di Jakarta. Danarto getol menginginkan ada perhatian intensif pada penonton sebagai faktor menentukan peristiwa teater. Penonton adalah sasaran utama dari pengarang naskah, sutradara, dan pemain.
Danarto konsekuen menempatkan penonton dalam ranah primer peristiwa teater. Perhatian atas penonton itu memiliki latar belakang klise yakni penonton kerap dipandang sebagai peran-peran tak pernah masuk perhitungan (estetik) dan tak pernah mendapatkan honor. Konklusi provokatif dari Danarto: “Penonton adalah darah daging pertunjukan. Penonton adalah otak.” Konklusi itu tentu eksplisit membela hak dan peran penonton dari stereotipe di pinggiran atau di luar kalkulasi estetika teater.
Pemberian peran pada penonton dalam peristiwa teater mengesahkan sejarah dan fakta teater. Penonton adalah awal dan akhir dalam konstruksi garapan teater. Penonton bukan sekadar instrumen atau konsumen tanpa biografi dan harga diri. Penonton itu subjek dan otoritas.
Wacana penonton memang kompleks dan pelik. Perhatian terhadap penonton menjadi kunci untuk membaca teater dengan sekian referensi dan realisasi. Penonton selalu jadi perkara tak usai dalam teater. Pertunjukan bisa selesai dalam kalkulasi teknik dan estetik tapi penonton masih mungkin untuk belum selesai.
Dimuat di Majalah Gong Edisi 1o8/X/2oo9
Kamis, 16 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar