Jumat, 17 April 2009

Memelihara Pohon

Oleh: Heri Priyatmoko

Meski sudah satu jam tembang-tembang keroncong mengalun merdu dari radio, tetap saja tidak bisa menghibur hati Anto. Wajah Anto yang bulat itu tidak bisa menyembunyikan sebuah kegelisahan.
Mawardi, si pemilik warung, datang membawa satu gelas wedang jahe untuk pembeli setianya ini. Satu sesepan tipis, bibir Anto sekedar menyentuh, karena masih panas.
”Tumben hari ini tidak sumringah. Apa tadi habis kena semprot juragan?” Mawardi awali pembicaraan.
”Tidak. Saya trauma dengan hujan dibarengi angin kencang kemarin,” jawab Anto.
Daun kalender menunjuk angka 25 Maret 2009. Pukul 20.30 suasana Kota Solo mencekam. Hujan badai disertai angin kencang seperti puting beliung dan petir menyambar-nyambar. Sejumlah pohon dan baliho tumbang. Di Jalan Bayangkara Tipes, sebuah mobil yang sedang melintas tertimpa pohon tumbang. Kondisi mobil rusak parah, namun pengendaranya selamat.
”Saat hujan deras kemarin, saya lewat Jalan Bayangkara dua kali karena harus mengantar barang pesanan ke rumah juragan malam itu juga. Bersamaan pohon tumbang, saya berada dalam jarak 10 meter dari lokasi kejadian. Coba bayangkan, siapa yang tidak gemeter?” ujar Anto serius diikuti anggukan Haris, rekan kerja yang duduk di sebelahnya.
Sembari menyodorkan mie rebus telur kepada Haris, Mawardi menyatakan, ”Hujan dan angin ribut adalah fenomena alam yang biasa. Tekanan udara yang berbeda-beda di beberapa wilayah membuat hujan tidak merata dan menimbulkan tiupan angin yang kencang. Namun angin kencang kemarin telah menumbangkan pepohonan besar yang mengancam jiwa manusia. Berarti, kita perlu waspada dan bersiap diri”.
Menurut pengamat perkotaan Nirwono Joga (2007), warga kota berhak mendapatkan hak atas keamanan dan keselamatan publik, hak atas kesehatan lingkungan, hak atas fasilitas kota yang baik, dan hak partisipasi umum. Hak atas keamanan dan keselamatan publik mendapatkan rasa aman di jalanan dan ruang publik kota, perlindungan bencana lingkungan, dan jaminan keamanan teknis konstruksi terbangun.
”Sudah saatnya Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surakarta mengantisipasi dan mengurangi kerusakan dan korban akibat pohon tumbang. Kalau tidak, ancaman pohon tumbang roboh bakal bikin warga paranoid manakala memarkir kendaraan, terjebak kemacetan, atau melintas di jalan yang dipenuhi pepohonan besar di saat hujan lebat,” kata Haris.
DKP, lanjut dia, harus memiliki unit reaksi cepat yang tanggap dalam memberikan pertolongan darurat dan menyingkirkan pohon tumbang. Pasalnya, malam itu atau paginya setelah insiden, justru masyarakat sekitar yang menyingsingkan lengan baju menyingkirkan pohon tumbang.
”Tentunya bila ada pohon yang tak sesuai standar keamanan dan keselamatan atau membahayakan publik, segera dipotong atau direnceki dahannya. Pohon yang sakit dirawat, pohon keropos atau hendak tumbang ditebang,” kata Anto.
Lagi pula kita harus jujur mengakui bahwa kita bangsa yang lemah dalam pengawasan dan sekaligus pemeliharaan. Sekarang tugas DKP mesti ditambah lagi dengan kebiasaan untuk memeriksa dan memelihara pohon. Kita tidak boleh hanya berserah diri kepada nasib. Sekadar menyalahkan alam sebagai penyebab, terkesan lucu. ”Sebab, itu bukan ciri-ciri orang modern,” Mawardi melengkapi.
Rindangnya pepohonan memang mampu melindungi ubun-ubun kita dari sengatan sang surya sehingga memberi keteduhan. Tapi bila kita lengah, malah kita yang menjadi korban. Unek-unek Anto keluar sudah. Kepalanya gela-gelo mengikuti ritme tembang Jembatan Merah-nya Gesang yang laras itu. Mungkin itu pertanda hatinya plong.

Dimuat di Suara Merdeka, 30 Maret 2009




Tidak ada komentar: