Bandung Mawardi
Dinas Pariwisata Kota Solo pada awal tahun ini melaporkan bahwa selama tahun 2008 terjadi peningkatan agak siginifikan dalam jumlah kunjungan wisatawan di Kota Solo. Kunjungan wisatawan asing pada tahun 2008 jumlahnya 13.859 dan wisatawan domestik jumlahnya 1.029.003. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan laporan untuk tahun 2007. Wisatawan asing jumlahnya 11.922 dan wisatawan domestic 960.625. Peningkatan tersebut tentu menunjukkan kerja keras dari pelbagai pihak dan dukungan dari acara-acara besar yang selama tahun 2008 diadakan di Kota Solo dalam level nasional dan internasional.
Laporan kunjungan wisatawan tahun 2008 juga menyebutkan bahwa objek kunjungan yang paling ramai adalah Pura Mangkunegaran, Kraton Surakarta, dan Museum Batik Kuno. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Solo identik dengan pengembangan pariwisata etnis. Pengembangan ini sudah menjadi konsekuensi karena Kota Solo kurang memiliki sumber daya alam sebagai potensi pariwisata.
Pariwisata memang menjadi perkara besar untuk promosi, pendapatan, dan pencitraan kota. Pariwisata identik dengan sistem dan mekanisme yang melibatkan pelbagai kepentingan dan pengharapan. Kota Solo membutuhkan sistem dan mekanisme pariwisata untuk eksis dan menguatkan harga diri dalam level nasional dan internasional. Pariwisata adalah perkara penting dan menentukan konstruksi Kota Solo yang memiliki acuan dan potensi sejarah dan kebudayaan dengan orientasi besar untuk menguatkan eksistensi dan mengangkat citra kota.
Pamrih pariwisata
Pamrih eksplisit dari pariwisata niscaya berurusan dengan kompensasi untuk pendapatan. Dinas Pariwisata Kota Solo mengakui bahwa pariwisata niscaya terkait dengan persoalan PAD (Pemasukan Asli Daerah), apresiasi kesenian, unsur-unsur kultural, dan citra kota. Pariwisata bisa memainkan peran yang realistis untuk menguatkan citra Solo sebagai kota budaya dengan menimbulkan efek positif dan konstruktif
Dalil pariwisata harus mempertimbangkan aspek kultural, sejarah, ekonomi, pendidikan, dan politik. Pertimbangan-pertimbangan itu mesti melibatkan pelbagai pihak yang memiliki otoritas dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata kota: pemerintah kota, dinas pariwisata, pengusaha, pengelola hotel, pengelola biro perjalanan, atau pihak-pihak lain. Penentuan kebijakan pariwisata tentu membutuhkan keterlibatan dan partisipasi dari pihak-pihak yang memiliki pemikiran-pemikiran kritis dan konstruktif. Pihak-pihak itu antara lain: seniman, intelektual, budayawan, ahli sejarah, arsitek, pengamat kota, sosiolog, dan lain-lain.
Pariwisata adalah perkara besar yang terkadang melahirkan optimisme dan pesimisme. Slogan-slogan diciptakan untuk promosi pariwisata dengan mengambil ikon-ikon kultural-historis. Ekspresi-ekspresi kesenian tradisional menjadi potensi dan komoditi yang berada dalam kepentingan pariwisata. Acara-acara besar, massal, sensasional, dan kontroversial diadakan untuk kepentingan menarik perhatian dan meningkatkan kunjungan dalam pariwisata kota. optimsime dan pesimisme terhadap pariwisata di Kota Solo itu ada karena perbedaan kentara antara idealisasi dan realisasi.
Pariwisata etnis
Walikota Joko Widodo berulang kali menyampaikan bajwa Kota Solo tidak memiliki sumber daya alam sebagai basis pertumbuhan kota, tetapi Kota Solo memiliki potensi besar dalam budaya. Potensi dan kawasan budaya adalah kunci untuk membuat Kota Solo memiliki denyut dan gairah untuk perubahan. Potensi dan kawasan budaya itu merupakan tantangan untuk Kota Solo agar bisa melakukan persaingan yang kompetitif dengan kota-kota lain.
Kenyataan itu tentu memberi kesadaran pada Pemkot Solo untuk mengembangan desain pariwisata etnis. Pariwisata etnis ini identik dengan menu-menu seni dan budaya sebagai manifestasi khazanah kekayaan kota. pengembangan pariwisata etnis sebenarnya mencakup pelbagai sisi dalam penentuan target dari masalah ekonomi (pendapatan) samapai pelestarian asset atau potensi seni, budaya, dan sejarah.
Keyes dan van Berghe (1984) mengartikan pariwisata etnis sebagai pariwisata dengan atraksi primer yakni keeksotisan budaya penduduk kota dengan pelbagai artefak (pakaian, arsitektur, teater, musik, tari). Pariwisata etnis memiliki mekanisme transaksi secara simbolis dan riil. Suguhan dalam bentuk pengalaman eksotis budaya dan seni pertunjukkan memungkinkan keterlibatan pelaku pariwisata dalam memberikan kompensasi dalam dalil pariwisata.
Potensi seni dan budaya di Kota Solo jelas menjadi modal untuk pengembangan pariwisata etnis. Keberadaan Balekambang, Mangkunagaran, Kraton Surakarta, Kampung Batik Kauman dan Laweyan, Museum Batik Kuno, dan lain-lain adalah tawaran menggoda untuk pariwisata etnis. Potensi-potensi itu dapat jadi ancangan untuk menciptakan desain pariwisata etnis yang konstuktif dan kontributif. Tawaran itu mestinya tidak sekadar dengan pamrih pendapat tapi juga harus ada orientasi substantif untuk pengembangan dan apresiasi seni dan budaya di Kota Solo.
Soedarsono (1989) mengungkapkan bahwa relasi atau simbiosis seni tradisional Jawa dengan industri pariwisata terbagi dalam tiga kategori: (1) pertunjukan kemasan murni yang harus dinikmati secara sungguh-sungguh; (2) pertunjukan sebagai pelengkap acara santap malam; (3) pertunjukan yang hanya dimaksudkan sebagai pemberi suasana kejawaan bagi para tamu atau turis. Kategori-kategori itu fleksibel dalam konteks seni dan industri pariwisata.
Pariwisata etnis di Kota Solo memungkinkan untuk memberi menu unggulan seni pertunjukan tradisional sebagai produk seni dan pariwisata. Potensi itu memang rentan dengan kerancuan antara ekspresi seni, apresiasi, atau pariwisata. Kerentanan itu justru menjadi tantangan dan realisasi pemenuhan pengembangan seni tanpa harus terkooptasi oleh industri pariwisata.
Catatan-catatan yang mesti menjadi pemikiran serius adalah pengelolaan pelbagai seni pertunjukan tradisional modern dengan manajemen profesional. Pemeliharaan dan pengembangan ruang-ruang historis-budaya pun harus mendapatkan dana dan tenaga-tenaga profesional. Promosi internal tentu menjadi acuan untuk pengembangan pariwisata dalam bentuk apresiasi masyarakat Solo. Apresiasi itu menjadi indikasi keberlangsungan seni sebagai manifestasi kebudayaan. Pariwisata etnis sebagai kolaborasi produktif tentu menjadi tantangan dan harapan untuk membuktikan Kota Solo agar memiliki pamor dan kekuatan dibandingkan dengan kota-kota lain. Begitu.
Dimuat di Suara Merdeka (19 Maret 2oo9)
Kamis, 16 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar