Kamis, 16 April 2009

Amor Fati dan Iklanisme

Bandung Mawardi

Rezim iklan terus menguasai tatanan hidup dari perkara sepele sampai politik. Manusia hidup dalam rezim iklan yang selalu memberi perintah dan sihir. Iklan menjelma doa untuk menikmati dan menyelamatkan hidup? Rezim ini telah melenakan manusia dalam ambang batas fakta dan fiksi.
Sejarah iklan bisa dirunut sejak zaman Yunani Kuno. Para penjaja di Athena kerap menwarkan barang-barang dagangan kosmetik merk Aesclyptos dengan iklan lisan. Iklan itu puisi atau lirik untuk dinyanyikan: “Demi mata bersinar, demi pipi bagaikan fajar, demi kecantikan yang hanya akan sirna sesudah masa remaja purna, demi harga sebagai alasannya, kaum perempuan yang mengerti, akan membeli kosmetik Aesclyptos.” Iklan pun mulai berkembang pada zaman Rowami dengan tulisan di papan pengumuman. Isi iklan saat itu antara lain untuk mencari budak-budak yang melarikan diri dan mengumumkan pertandingan gladiator.
Iklan telah menjadi tanda kehidupan untuk geliat ekonomi, sosial, politik, seni, dan kebudayaan. Proses perkembangan iklan menunjukkan progresivitas kreativitas manusia untuk menebar sihir-sihir melenakan. Iklan dalam pelbagai bentuk memiliki jurus-jurus ampuh untuk transmisi pesan dengan tendensi-tendensi imperatif. Iklan lalu lenggak-lenggok dalam mekanisme hidup secara individual dan kolektif.
Ilmu iklan jadi menu besar abad XX. Studi mengenai iklan dan pembacaan terhadap transformasi kehidupan menunjukkan konstruksi tak selesai. Iklan adalah tanda-tanda zaman mulai dari perkara sepele sampai kekuasaan. Tanda-tanda zaman ada di pelbagai titik dengan intensitas tinggi untuk ikut menentukan nasib dunia. Iklan adalah penguasa.
Iklan besar abad XX adalah demokrasi. Iklan dalam pelbagai bentuk diciptakan dan disebarkan untuk membuat pelbagai negeri menganut demokrasi. Iklan demokrasi disebarkan secara halus dan kasar untuk membuat homogenisasi dan pengendalian terpusat. Iklan ini terkadang menampilkan wajah optimis tapi mengusung tragedi-tragedi menyakitkan. Iklan jadi tanda untuk perubahan zaman.
Indonesia merayakan iklan itu mulai abad XIX melalui penerbitan pers di Jawa. Iklan mendominasi halaman-halaman surat kabar untuk memberi informasi pada publik mengenai barang atau jasa. Iklan jadi ruh untuk surat kabar. Bedjo Riyanto (2000) dalam Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial: 1870-1915 memberi konklusi tentang efek iklan: (1) periklanan dan perkembangan perkotaan modern di Jawa; (2) Periklanan dan modernisasi gaya hidup masyarakat perkotaan di Jawa; (3) periklanan dan perkembangan kesehatan masyarakat di Jawa; (4) periklanan, hiburan, rekreasi; (5) periklanan, industri, penerbitan, dan kesusastraan.
Iklan adalah rezim tak terkalahkan sejak modernitas mendapatkan amin dari publik. Iklan sebagai juru bicara membuat tatanan hidup bisa teramalkan dan terarahkan. Rezim iklan pun semakin intensif lenggak-lenggok dari jagad sakral sampai jagad profan. Iklan menjelma doa, ibadah, kebaktian, atau iman. Iklan menjelma kedipan mata, hembusan nafas, atau sentuhan. Rezim iklan jadi panglima “abad yang berlari” atau “dunia yang tunggang-langgang.”
Rezim iklan saat ini jadi aurat dan aura untuk Indonesia. Iklan-iklan komersial mendapati penggenapan dengan iklan-iklan politik. Kalkulasi ekonomi dan kalkulasi politik jadi pertaruhan untuk permainan modal dan lakon kekuasaan. Publik tanpa kenal lelah mendapati iklan sebagai ritual dan doa-doa berserakan di jalan, televisi, koran, pohon, atau radio. Hari-hari dijalani dengan imperatif iklan. Publik seperti hendak ditaklukkan dengan ibadah iklan.
Iklanisme jadi ideologi tanpa interupsi. Negara dengan takzim merayakan iklanisme untuk membuat dan mendesain tata kehidupan individu dan kolektif. Negara ini adalah negara dari pahala iklan. Negara takluk oleh iklan sebagai pemasok modal untuk operasionalisasi pelbagai sistem kehidupan. Pemilik modal dengan iklan membuat perjanjian suci untuk kalkulasi ekonomi dan politik.
Mekanisme negara iklan itu eksplisit. Iklanisme pun disebarkan dengan utopia untuk melenakan publik. Penguasa meminta iman dan amin dari publik dengan pamrih eksistensi negara ditentukan oleh iklan. Kota-kota pun riuh dengan iklan dan sirkulasi modal. Iklan meresap dan menjelma ruh kota untuk perubahan-perubahan mengejutkan tapi kadang kecut dan luput. Kota-kota jadi homogen karena negara mengeluarkan instruksi atas nama iklanisme.
Polemik iklan politik adalah contoh kerepotan dalam ibadah politik. Iklan-iklan itu jadi sambungan dari iklan demokrasi yang mengatasnamakan takdir dunia. Demokrasi pun dijajakan dengan pertarungan sengit melalui jurus-jurus iklan. Kebohongan dan godaan menjadi rumus untuk pelanggengan rezim iklan dengan pamrih politik. Modal besar untuk iklan tentu diasumsikan bakal menuai panen besar.
Iklan politik rentan dengan konflik. Situasi ini terus terjadi di negara ini tanpa ada pertobatan. Iklan sesak dengan klaim. Iklan mengandung birahi untuk menaklukkan atas nama pembodohan massa. Iklan merengek minta iman dan amin. Iklan politik memang jadi lakon getir untuk negara ini tanpa memiliki malu. Ketelanjangan, aib, dan luka terus dijajakan untuk membuat rezim iklan jadi tuan negara.
Orang sakit, sekarat, miskin, luka, atau merana justru mendapati obat iklan politik. Sekolah ambruk, jalan rusak, udara kotor, banjir, atau longsor justru didoakan dengan iklan. Pendidikan amburadul, birokrasi macet, keamanan jebol, korupsi jadi wabah, atau kekerasan merebak justru dikeruhkan dengan iklan. Negara ini memang pemuja iklan dan cinta mati pada iklan.
Para aktor memiliki mantra dalam iklan dengan godaan-godaan basi. Mantra itu disebarkan dengan spirit seperti menunaikan ibadah untuk mencari berkah. Aktor politik mungkin memang abai bahwa iklan itu adalah kutukan untuk membuat zaman jadi cerewet tapi hilang makna. Iklan mungkin bakal mengarah sebagai kutukan zaman dengan penciptaan kiamat-kiamat kecil. Kutukan ini justru terus dirayakan seperti kemenangan hidup. Barangkali orang tak sekadar menerima kutukan tapi terlanjur mencintai kutukan: amor fati. Tragis.

Dimuat di Kompas Jateng (21 Maret 2oo9)

Tidak ada komentar: