Kamis, 16 April 2009

Cecabang Jalan Akademisi Sastra

(Tanggapan untuk Esai Aries A Denata SS)
Oleh: Haris Firdaus

Dunia kesusastraan selalu berisi banyak jalan dengan cecabang yang plural dan tak bisa dipersamakan. Sekian jalan yang barangkali kita temui saat menyusuri dunia sastra harusnya dianggap sebagai sebuah kekayaan, semacam kemajemukan yang indah dan merangsang. Ambisi “menyamakan” jalan yang harus dilalui oleh tiap komponen dalam sastra adalah keinginan gegabah yang kebanyakan timbul karena narsisme.

Ambisi tidak bijak semacam itulah yang kita temui saat membaca esai Aries A Denata SS berjudul “Duel di Jalan Raya Sastra Solo” (Solopos, 1/3). Diawali dengan klaim klise bahwa “para akademisi sastra hanya berkutat di wilayah kampus semata”, esai tersebut hendak menyampaikan semacam “tantangan duel” kepada para akademisi sastra Solo. Sebagai orang yang mengklaim dirinya sebagai “orang jalanan sastra Solo”, Aries dengan bersemangat melabrak para akademisi sastra Solo yang menurutnya “mengurung diri dalam dunianya sendiri” dan “seolah sudah tak ada lagi dunia di luar dirinya”.

Lucunya, klaim labrakan Aries yang belum tentu sahih ini akan segera bisa kita kenakan balik padanya. Dengan menantang dan bahkan bisa dikatakan “menyuruh-nyuruh” para akademisi sastra untuk berduel dengan “orang jalanan sastra” di jalan raya sastra Solo, Aries sebenarnya juga sedang “mengurung diri dalam dunianya sendiri”. Ia juga bersikap “seolah sudah tak ada lagi dunia di luar dirinya”.

Tampak sekali ia ingin memakai standar aktivitas diri dan rekan-rekannya di komunitas sastra non akademis untuk melihat kiprah para akademisi sastra. Menggunakan pola pikir komunitas sastra, maka aktivitas yang paling penting memang melakukan pengembangan diri supaya bisa menghasilkan karya dengan derajat estetika tinggi dan juga melakukan pertemuan dengan publik seluas mungkin guna mensosialisasikan diri, karya, dan komunitas.

Masalahnya, apakah ukuran macam itu bisa dipakai untuk menilai kualitas aktivitas para akademisi sastra? Apakah para akademisi ini harus dituntut untuk selalu terus-menerus hadir di hadapan publik luas seperti yang dilakukan oleh para pegiat komunitas sastra? Jika yang dimaksud Aries dengan “duel di jalan raya sastra Solo” adalah sekadar hadir sebagai pembicara dalam sebuah acara sastra, misalnya, bukankah itu sudah terjadi secara cukup lazim di dunia sastra Solo? Bukankah cukup jamak kita jumpai seorang dosen duduk bersama sastrawan membahas masalah sastra di Solo?

Bukanlah tugas utama para akademisi sastra untuk mengadakan perjumpaan secara terus-menerus dengan publik, apalagi mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan-pertemuan itu. Cukup banyak infrastruktur sastra di Solo yang bisa melakukan hal tersebut. Segepok komunitas sastra yang telah disebut Aries dan juga lembaga-lembaga kebudayaan semacam Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) dan Dewan Kesenian Surakarta (DKS) lebih cocok untuk “dibebani” tugas itu.

Para akademisi sastra bertugas di kampus, karena memang itulah ranah pokok perjuangan mereka, bukan karena mereka “mengurung diri dalam dunianya sendiri”. Tugas utama mereka bukanlah mengadakan acara bedah buku atau workshop penulisan kreatif seperti yang dilakukan oleh komunitas sastra. Yang menjadi pokok perjuangan mereka adalah menumbuhkan bibit-bibit baru kritikus dan peneliti sastra dengan melakukan pengajaran sastra sebaik mungkin. Selain itu, tugas mereka jugalah menghasilkan telaah akademis berkualitas cemerlang atas karya sastra.

Dalam hal menilai karya para akademisi sastra ini pula Aries menggunakan ukuran yang lagi-lagi menunjukkan bahwa dia “mengurung diri dalam dunianya sendiri”. Pendapatnya yang menyayangkan bahwa jurus para akademisi sastra ini “hanya bisa ditangkap oleh kalangan terbatas”, yakni “para intelektual saja”, sungguh merupakan pendapat yang kelihatannya sahih tapi sebenarnya melencong. Benar bahwa para akademisi sastra memang menggunakan jurus kritik sastra yang barangkali hanya bisa dipahami sejumlah kecil orang, yakni mereka yang membekali diri dengan wacana sastra dan intelektual secara baik. Namun, kenyataan ini sama sekali tidak perlu disayangkan karena memang itulah yang seharusnya mereka lakukan!

Seandainya tiap akademisi sastra dibebani tugas untuk menulis telaah sastra yang awam, lalu siapa yang akan menulis telaah akademis yang serius dan penuh dengan wacana intelektual? Karya sastra tak bisa hanya dipahami melalui jalan “kritik umum” yang akrab dengan semua golongan. Teks sastra juga berhak ditelaah secara serius dengan metode yang ketat, bahasa ilmiah, dan teori pendukung yang memadai. Sekali lagi, siapa yang akan mengambil tugas itu jika bukan para akdemisi sastra?

Kritik terhadap para akademisi sastra memang perlu dilakukan tapi harus dengan substansi yang benar dan jalan pikir yang tak sesat. Kritikan terhadap mereka seharusnya diarahkan pada aktivitas yang memang menjadi tugas mereka, yakni pada wilayah pengajaran dan penelitian sastra. Dua wilayah inilah yang menjadi cecabang jalan sastra yang mereka geluti sehingga lebih bijak jika kita bertanya tentang efektivitas kerja mereka di sana.

Jikalau memang hendak mengkritik para akademisi sastra Solo, maka pertanyaan yang bisa diajukan adalah: sejauh mana mereka mampu membekali mahasiswanya dengan kemampuan menulis karya atau kritik sastra yang memadai dan apakah telaah yang mereka lakukan atas berbagai ragam karya sastra sudah memenuhi kriteria intelektual yang baik? Dua pertanyaan inilah, bukan tantangan duel di jalan raya, yang seharusnya lebih dulu diajukan pada akademisi sastra Solo.

Menantang para akademisi sastra untuk berduel di “jalan raya sastra”, seperti yang dilakukan Aries, sungguh bukan tindakan yang bijak dan bajik. Tantangan itu justru berbalik menjadi “senjata makan tuan” karena menunjukkan bahwa penulisnya “mengurung diri dalam dunianya sendiri.

Dimuat di Solopos, 15 Maret 2009

Tidak ada komentar: