Kamis, 16 April 2009

Memerkarakan Manusia Jawa

Bandung Mawardi

Siapa manusia Jawa? Pertanyaan ini bakal terus dilontarkan tanpa jawaban tuntas. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengenai manusia Jawa pun fasih diucapkan tapi susah mendapati jawaban. Jejak-jejak historis tentang manusia Jawa memang belum terlacak dan ditafsirkan dengan utuh. Jejak-jejak itu telah jadi acuan untuk menengok manusia Jawa pada masa lalu dan membaca manusia jawa hari ini.
Marbangun Hardjowirogo dalam Manusia Jawa (1983) mengajukan perspektif tentang manusia Jawa dengan kriteria bebas tanpa sistematika. Deskripsi dan analisis Marbangun Hardjowirogo tampak lenggak-lenggok dari pelbagai khazanah masa lalu ke realitas-realitas mutakhir. Penerbitan buku itu jadi jawaban kecil untuk memerkarakan manusia Jawa dalam pelbagai konteks ruang dan waktu.
Buku itu lahir sebagai reaksi dari risalah kontroversial Mochtar Lubis dengan judul Manusia Indonesia (1977). Mochtar Lubis dengan kritis membaca dan menilai manusia Indonesia dalam pelbagai sisi meski tampak fragmentaris. Konklusi kecil Mochtar Lubis terhadap manusia Jawa: sadar harga diri. Konklusi itu mendapati tanggapan dari Marbangun Hardjowirogo dengan muatan-muatan etnis.
Generalisasi jadi dalil Marbangun Hardjowirogo untuk memerkarakan manusia Jawa. Dalil ini jadi kaku karena tak memungkinkan pluralitas dalam konteks Jawa. Inilah dalil umum itu: “Semua orang Jawa itu berbudaya satu.” Sentralitas dari homogenisasi itu terletak di Jogja dan Solo sebagai pusat kebudayaan. Klaim atas manusia Jawa didedahkan dalam ciri-ciri: sikap feodalistik, sikap keagamaan, sikap fatalistik, keterjalinan dengan wayang, enggan menunjukkan sikap tegas, corak watak rumangsa, enggan untuk ojo dumeh, tepa slira, dan mengunggulkan sikap budi luhur.
Sekian ciri itu masih fragmentaris untuk jadi patokan mengenai manusia Jawa. Masihkan ciri-ciri itu merepresentasikan manusia Jawa hari ini? Apakah ciri-ciri itu merupakan tinggalan dari masa lalu? Apakah manusia Jawa konsisten dengan ciri-ciri itu atau malah rentan untuk perubahan? Manusia Jawa itu definisi inklusif atau eksklusif? Pertanyaan-pertanyaan ini sekadar rentetan pendek dari seribu pertanyaan.
Ciri manusia Jawa yang tak tergarap dengan intensif dalam studi Marbangun Hardjowirogo adalah kebatinan. Ciri ini memiliki jejak historis dan terus memiliki eksistensi dengan sekian deviasi dan derivasi. Kebatinan bahkan patut dijadikan bab besar untuk memerkarakan manusia Jawa. Pelbagai studi tentang Jawa mayoritas menempatkan kebatinan sebagai ciri penting.
Harun Hadiwijono dalam buku Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa (1983) melakukan penelusuran kritis dalam khazanah sastra di Jawa sejak zaman kepustakaan Hindu-Jawa sampai abad XIX dan fenomena pelbagai perkumpulan kebatinan pada abad XX. Penjelajahan kepustakaan menunjukkan bahwa manusia Jawa sejak dulu identik dan luluh dengan kebatinan meski dalam babak-babak zaman mengalami keterpengaruhan dengan agama dan peradaban Hindu, Budha, Islam, dan Kristen.
Manusia Jawa dalam kebatinan terus mengalami fase-fase perubahan karena acuan dan fakta arus zaman. Konsep tentang manusia dengan identitas Jawa pun tidak terdefinisikan dalam homogenisasi. Manusia Jawa justru inklusif untuk melakukan perubahan atau transformasi diri sesuai dengan referensi dan orientasi. Kebatinan sekadar jadi dalil dalam legitimasi ata deligitimasi diri sebagai manusia Jawa. Klaim-klaim muncul dengan sekian argumentasi dan bantahan. Hal itu jadi bukti dinamisasi tentang wacana manusia Jawa.
Penguatan wacana manusia Jawa dalam ciri kebatinan pun tampak dalam buku S. De Jong dengan judul Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (1975), buku Clifford Geertz dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981), dan studi Niels Mulder dengan judul Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (1983). Kebatinan menjadi perkara penting untuk membaca dan menilai manusia Jawa dalam sekian fragmen ruang dan waktu.
Niels Mulder dengan lugas menyebutkan bahwa kebatinan merupakan identitas kultural Jawa. Pengertian ini jadi dalil untuk mengungkap pandangan tentang “durung njawa” dan “menjadi Jawa”. Durung njawa sampai kerap menjadi penilaian terhadap ketidaksempurnaan proses secara etis, sosial, dan kultural sesuai dengan “normativitas Jawa”. Durung njawa seperti vonis untuk ketidaksanggupan atau belum sempurna sebagai manusia Jawa. perkara “menjadi Jawa” adalah proses dan mekanisme untuk memenuhi sekian kriteria dalam normativitas Jawa. Kebatinan jadi penting dalam hal ini karena mencakup konsep etis, estetis, dan kosmis. Ikhtiar menjadi Jawa seperti memiliki undakan-undakan sebagai pertaruhan dalam kelangsungan dan perubahan sosial-kultural.
Wacana manusia Jawa dan kebatinan dalam pelbagai tanggapan rentan jadi acuan untuk menyebut manusia Jawa itu cenderung tak rasional, tendensi pada spiritualitas, menolak materialisme, atau susah meladeni modernisasi. Penilaian ini jadi sasaran kritis ketika melakukan perbandingan dengan faktor-faktor penentu eksistensi perkumpulan kebatinan dan pengaruh dalam tarnfromasi sosial-kultural. Pelekatan ciri kebatinan pada manusia Jawa itu tidak absolut tapi memang kelumrahan karena fakta atau opini umum.
Siapa manusia Jawa? Pertanyaan ini belum rampung menemukan jawab. Pertanyaan-pertanyaan lain pun belum mendapati jawab. Pelbagai studi tentang kebudayaan Jawa dan manusia Jawa selama ini memang terkesan menjadikan manusia Jawa dalam stereotipe semu. Manusia Jawa berada mencakup pengertian-pengertian negatif dan positif. Ikhtiar mensahihkan definisi manusia Jawa kadang jadi alasan untuk dominasi atau melemahkan otoritas dalam konteks politik, ekonomi, sosial, spiritualitas, seni, dan kebudayaan. Memerkarakan manusia Jawa itu seperti membaca puisi dalam seribu bait dengan permainan tafsir yang kompleks dan pluralis.
Memerkarakan manusia Jawa tentu memiliki implikasi dengan kompleksitas wacana wong Jawa ilang Jawane. Definisi dan proses perubahan manusia Jawa dalam arus zaman pun mungkin jadi tanda untuk memerkarakan wong Jawa ilang wonge. Manusia Jawa sampai hari ini masih jadi pertanyaan tak usai dan jawaban tak sempurna. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (29 Maret 2oo9)

Tidak ada komentar: