Jumat, 17 April 2009

Perempuan dalam Dapur

Oleh Heri Priyatmoko

GARA-gara urusan dapur perempuan, orang Belanda datang ke Nusantara dan akhirnya menjajah kita. Begitulah guyonan yang pernah terlontar dari mulut mendiang sejarawan Universitas Indonesia, Onghokham. Maksud Ong, sapaan akrab beliau, tujuan awal orang Belanda berlayar ke Nusantara adalah mencari rempah-rempah atau bumbu dapur perempuan.

Masuk akal juga lelucon ini. Namun, dalam kisah canda Ong tersebut, sebetulnya memunculkan satu perdebatan. Apakah memasak itu sebagai kekuatan atau kutukan bagi perempuan?

Dalam esai ini, penulis ingin membedah fenomena sejarah untuk menunjukkan aktivitas perempuan dalam dapur adalah kekuatan. Perempuan punya andil besar di sini. Pasalnya, tidak sedikit laki-laki yang sampai sekarang masih memandang pekerjaan dapur sebagai ‘‘kodrat‘‘ kaum perempuan.

Bahkan, meminjam ungkapan Henny Irawati, dengan memasak enak berarti istri menjaga agar suami tidak mencari ‘‘daging segar‘‘ di luar rumah. Pikat lelaki melalui perutnya! Terjemahan kasarnya, masak yang lezat, maka suami akan betah di rumah.

Bila mengikuti tiga ‘‘ur‘‘ yang melegenda (dapur, sumur, kasur), memasak menjadi tugas perempuan, dan otomatis mengharuskan perempuan pandai membuat sambal atau mengukur garam. Ini sudah lazim sejak zaman kerajaan. Kita bisa melacatnya dari sumber-sumber sezaman, seperti Serat Centhini.
Mata-mata
Di dapur umum, ternyata perempuan memiliki jasa besar. Pada masa revolusi Indonesia, siapa pula yang bertanggung jawab atas penyediaan makanan untuk para pejuang kalau bukan perempuan! Satu lagi peran perempuan yang patut diacungi jempol, yakni menjadi mata-mata atau kurir. Mata-mata adalah unsur penting dalam mendukung gerakan militer, baik untuk menghindar maupun menyerang basis pertahanan musuh.

Misal di Sumatera Utara. Orang yang menjalankan kegiatan mata-mata dikenal dengan sebutan seko.

Hasil sorotan historis Supriyatno (2006) meriwayatkan, seko disusupkan ke daerah musuh untuk mengamati atau mencari tahu kekuatan militer Belanda. Semuanya dilakukan tanpa pamrih. Para seko hampir setiap hari masuk ke dapur umum tentara Belanda, tanpa diketahui tentara Belanda siapa sejatinya mereka.

Kerja kemanusiaan perempuan dapat pula diintip di era kini. Saat banjir atau bencana alam melanda di berbagai daerah di Indonesia, terlihat ibu-ibu sibuk bekerja di dapur umum.

Di tempat itu, mereka secara bergiliran memasak untuk melayani konsumsi puluhan hingga ratusan orang korban bencana saban hari.
Ninuk MP, dalam esainya yang menantang Memahami Dapur Umum sebagai Gerak Politik Perempuan (2002), menelaah bahwa kaum ibu berhasil menjungkirbalikkan seluruh ide yang digunakan Orde Baru untuk memenjarakan mereka di sangkar emas bernama ‘‘rumah‘‘, atau berkutat di seputar dapur saja. Kalau neraca sejarah boleh menimbang, kegiatan perempuan di dapur tidak boleh dipandang sebelah mata.

Sebab, mereka memiliki kekuatan dasyat, bahkan baik dan buruk gizi kita ada di tangan mereka!

Suara Merdeka, 01 April 2009

Tidak ada komentar: