Kamis, 16 April 2009

Kekuasaan dan Kebudayaan

Bandung Mawardi

Soerjosoeparto pernah merasakan hawa intelektual dan modernitas di negeri Belanda. Lelaki itu sadar tentang arus hidup dan hukum perubahan yang tak terelakkan. Olah pengetahuan dan pengalaman hidup di negeri Belanda menjadi tanda seru untuk mengusung utopia kekuasaan dan kebudayaan di Istana Mangkunegaran. Tanda seru itu dengan pelbagai konsekuensi direalisasikan untuk utopia Jawa modern tapi tak abai terhadap tradisi. Proses perubahan itu dijalankan ketika Soerjosoeparto sebagai lokomotif perubahan setelah dinobatkan sebagai Mangkunegoro VII (1916-1944).
Olah dan ulah kultural-politik Mangkunegoro VII membuat pemerintah kolonial cemas dan lekas ingin membuat represi politik. kecemasan itu tampak dalam laporan Gubernur Jenderal Idenburg pada Th. B. Pleyte (Larson, 1990: 92). Idenburg curiga Mangkunegoro VII sangat mendambakan proses demokratisasi di kepulauan Hindia Belanda. Budi Utomo di Solo dengan spirit nasionalisme dan orientasi kultural di bawah pimpinan Mangkunegoro VII bisa menjadi masalah akut untuk pemunculan isu perlawanan terhadap kolonial. Cemas kolonial itu membuat Mangkunegoro VII mahfum untuk lekas dan berani membuat desain kebudayaan Jawa biar demokratis dan modern sebagai tandingan atas represi dari kolonial.
Biografi Mangkunegoro VII mengandung kontroversi dalam paham kekuasaan dan kebudayaan di Jawa. Mangkunegoro VII memiliki ide dan aksi progresif meski rentan mengalami benturan dengan kepentingan kolonial dan Istana Kasunanan. Benturan-benturan itu terkadang membuat luka dan konflik dingin tapi tak bisa menutup pintu untuk perubahan. Raja Jawa itu telah menjelma sebagai manusia modern dengan warisan-warisan politik-kultural tradisional raja-raja Jawa pada masa lalu. Warisan-warisan itu lalu mendapati interpretasi modern untuk menciptakan Jawa sebagai subjek kebudayaan dan kekuasaan.
John Pamberton (2003) dalam On the Subject of “Java” membuat perbandingaan kritis antara dua Raja di Solo: Kasunanan dan Mangkunegaran. Pakubuwono X (1893-1938) tampak ditakdirkan untuk membawa “Jawa” pergi bersamanya tapi Mangkunegoro VII tampak ditakdirkan untuk memulihkan secara sistematis segala yang hilang dari “Jawa”. Mangkunegoro VII memiliki tendensi besar untuk mengusung ide-ide perubahan atas nama “kemadjoean”. Kuntowijoyo (2004) menduga bahwa kontras antara Kasunanan (Pakubuwono X) dengan Mangkunegaran (Mangkunegoro VII) dipengaruhi oleh faktor dan model pendidikan para bangsawan Jawa. Mangkunegaran lebih cenderung mengembangkan IQ dan Kasunanan EQ.
Dua kerajaan di Solo dalam bayang-bayang kolonial pada abad XX selalu memiliki tegangan-tegangan politik dan kultural atas nama Jawa dan modernitas. Kolonial Belanda selalu memberi godaan-godaan untuk intervensi atau hegemoni dengan pamrih stabilitas politik. Kasunanan dan Mangkunegaran eksis dan tumbuh dengan perbedaan model dan orientasi. Pakubuwono X cenderung dengan penguatan simbol-simbol untuk melegitimasi kekuasaan dan kebudayaan. Mangkunegoro VII cenderung melakukan olah dan ulah untuk progresivitas modernitas Jawa dengan pendidikan, pergerakan politik, nasionalisme, seni, dan agenda-agenda kultural.
Biografi politik Mangkunegoro VII tumbuh bersamaan dengan ombak kecil pergerakan politik di Solo. SI dan Budi Utomo menjadi tanda seru untuk isu-isu politik, agama, dan kultural. Mangkunegoro VII mahfum dalam membaca situasi pergerakan politik di Solo dengan melibatkan diri dalam Budi Utomo. Mangkunegoro VII termasuk menjadi sponsor atas perdebatan Soetatmo Soerjokoesoemo dengan Tjipto Mangoenkoesoemo: nasionalisme Jawa versus nasionalisme Hindia. Perdebatan sengit itu terbit dalam selebaran Javaansche of Indische Nationalisme (1918) sebagai nomor ekstra dari majalah Wederopbouw. Misi majalah ini merepresentasikan paham kekuasaan dan kebudayaan. Mangkunegoro VII mengungkapkan: “Keindahan mengendalikan kekuasaan, kekuasaan memiliki keindahan, kearifan memberikan hak kekuasaan” (Shiraishi, 1986: 163).
Mangkunegoro VII memosisikan diri sebagai kosmopolit intelektual dengan ikhtiar membuat titik temu antara Barat dan Timur. Ikhtiar itu menjelma dalam pembentukan Cultuur-Wijsgeerige Studiekring (Lingkar Studi Kebudayaan dan Filsafat) pada tahun 1917. Kelompok ini beranggotakan orang Jawa, Cina, misionaris, pegawai kolonial, dan para sarjana. Tujuan kelompok studi ini adalah menciptakan hubungan erat antara budaya Barat dan Jawa. Cultuur-Wijsgeerige Studiekring menjadi sarana Mangkunegoro VII untuk menunjukkan bahwa budaya Jawa memiliki peran tinggi dan perlu dipahami oleh negeri-negeri di Barat.
Warisan besar dari Mangkunegoro VII dalam Cultuur-Wijsgeerige Studiekring adalah teks ceramah dengan judul Over de wajang-koelit (poerwa) in het algemeen en over de daarin voorkomende symbolische en mystieke elementen (1920). Teks tentang simbol dan mistik dalam wayang ini kelak jadi referensi primer untuk studi-studi wayang mutakhir. Mangkunegoro VII dalam epilog teks itu mengungkapkan semangat nasionalisme Jawa sejati sebagai resistensi atas monopoli filosofis peradaban Barat dalam hal-hal spiritual dan wacana peremehan atas supremasi Jawa (Pamberton, 2003: 177)
Kontribusi fenomenal Mangkunegoro VII adalah penyelenggaraan Kongres Kebudayaan (Jawa) pada tanggal 5-7 Juli 1918 sebagai embrio untuk pelaksanaan Kongres Kebudayaan di Indonesia. Ide dan pelaksanaan Kongres Kebudayaan Jawa itu melibatkan pelbagai kalangan dari Mangkunegaran, Kasunanan, dan Belanda. Proyek kebudayaan ini menurut Takashi Shiraishi menjadi pengesahan Mangkunegoro VII sebagai “raja modern berbudi cerah”.
Mangkunegoro VII juga mengambil inisiatif untuk pendirian Java Instituut (1919) sebagai institusi dengan tujuan memajukan perkembangan kebudayaan pribumi mencakup Jawa, Madura, dan Bali. Java Institut menerbitkan majalah prestisius Jawa sebagai juru bicara untuk dialektika desain dan proses perubahan kebudayaan Jawa pada arus modernitas dan bayang-bayang kolonial.
Pelbagai agenda kultural Mangkunegoro VII itu seperti merepresentasikan ajaran Mangkunegoro IV dalam Wedhatama: “Pengetahuan luhur di Tanah Jawa adalah agama raja.” Mangkunegoro VII dengan sadar dan intensif merealisasikan pelbagai utopia kultural untuk Jawa. Utopia itu kelak berhadapan dengan godaan-godaan politik dan realitas kapitalisme-globalisasi. Warisan-warisan Mangkunegoro VII mungkin terabaikan dengan keramaian lakon politik dan ekonomi. Tokoh-tokoh kunci dalam politik dan kebudayaan saat ini perlu membuka kembali lembaran sejarah dan menginsafi bahwa utopia kebudayaan itu tak bisa ditundukkan dengan pamrih dan jerat kekuasaan. Begitu.

Dimuat di Kompas (28 Maret 2oo9)

Tidak ada komentar: