Kamis, 09 Oktober 2008

Jangan Melupakan Eksistensi Lokananta

Oleh Heri Priyatmoko

DAUN kalender menunjuk angka 1 September 2007. Publik Solo tergetar. Kotanya menjadi tuan rumah gelaran perdana Solo International Ethnic Music Festival and Conference (SIEM FC) 2007. Sukses besar direngguk. Peserta dari delapan negara puas.

Warga juga gembira ria melihat ruang yang ’’hilang’’, Benteng Vastenburg, yang selama satu dekade lebih dikurung pagar seng. Tak pelak, penonton memberi acungan jempol kepada Wali Kota Jokowi dan segenap panitia. Atas prestasi yang diraih itu, Kota Bengawan tidak ragu memberanikan diri menjadi penyelenggara SIEM FC dan World Congress of the Organization of Heritages Cities (WCOHC), tanggal 25-28 Oktober mendatang.

Untuk menyambutnya, wajah kota disolek makin indah. Ruang publik dibenahi, penataan pedagang kaki lima digarap, dan gerakan revitalisasi budaya Jawa diprioritaskan. Maklum, di ajang tersebut Pemkot Solo bersemangat menampilkan rupa cantik dan potensi yang dimiliki. Ada wisata kuliner Galabo, wisata batik Kauman-Laweyan, wisata keraton, dan wisata budaya.

Meski semua getol dipromosikan, tapi ada sebuah tempat yang belum gencar ditampilkan ke permukaan. Apakah itu, dan apa keistimewaannya? Dialah Lokananta. Setiap memperbincangkan sejarah perjalanan musik di Indonesia, kita tak boleh tidak mesti mengaitkan dua nama tempat: Lokananta di Solo dan Irama di Menteng (Jakarta). Keduanya punya andil besar dalam mengorbitkan lagu, sekaligus para penyanyinya tempo dulu.

Lokananta milik pemerintah dan banyak melahirkan lagu-lagu daerah. Sementara Irama, milik Mas Yos, banyak melahirkan lagu-lagu hiburan (sekarang lagu pop). Nama-nama seperti Rachmat Kartolo, Nien Lesmana, sampai Patty Sisters pernah rekaman di Irama, yang awalnya hanya studio kecil di sebuah garasi di Menteng. Peristiwa rekaman itu terjadi di ujung tahun 1950-an hingga memasuki 1960-an.

Surga Pecinta Musik
Sejatinya, Lokananta adalah nama gamelan para dewa di kahyangan. Nama itu diadopsi untuk perusahaan rekaman piringan hitam pertama milik negara yang berdiri pada 29 Oktober 1956. Sejak awal, Lokananta ditugasi merekam dan memproduksi (menggandakan) piringan hitam untuk bahan siaran bagi 27 studio RRI di seluruh Indonesia.

Piringan hitam itu berisi gamelan Jawa, Bali, Sunda, dan musik daerah lainnya, lengkap dengan pesindennya. Rekaman gending karawitan gubahan dalang kesohor Ki Narto Sabdo, plus karawitan Jawa gaya Surakarta dan Yogya, terkoleksi di sana.

Tersimpan juga piringan hitam berisi lagu-lagu dari penyanyi legendaris seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun. Ah, Lokananta benar-benar ’’surga’’ bagi mereka yang doyan musik daerah atau tembang lawas. Ada pula rekaman suara pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1945 dan acara KTT Nonblok I di Bandung (1955).

Bagi kaum sepuh, dijamin betah berlama-lama berada di gedung yang terletak Jalan Ahmad Yani itu. Mereka senang bak melahap kolak saat berbuka puasa. Pasalnya, Lokananta ibarat gudang dokumen sejarah yang terdengar. Sekitar 38.000 keping piringan hitam tertumpuk di sana. Jadi, Lokananta masuk dalam kategori tempat wisata sejarah musik tradisional.

Sayangnya, kenyataannya sungguh memprihatinkan. Nama Lokananta tenggelam di tengah masyarakat. Namun jangan pesimistis, sebab tempat-tempat seperti ini justru digandrungi orang asing. Dengar saja cerita turis yang berkunjung ke Preservation Hall, New Orleans, AS. Tempat tersebut dianggap surga musik jazz. Walau gedung tidak menarik, nampak tua, berdinding kayu, dengan cat sudah mengelupas, banyak wisatawan antre masuk.

Sebab Preservation Hall merupakan tempat pertama kali, sekitar seabad lalu, kaum budak kulit hitam memainkan dan menikmati musik yang di kemudian hari dikenal sebagai jazz. Dari situlah nama pemusik seperti Louis Armstrong muncul menjadi legenda. Informasi dan makna sejarah, dua aspek penting yang sering diburu para bule.

Begitulah harapan kita pada Lokananta. Apalagi nama maestro keroncong Gesang dan Waldjinah ’’Si Walang Kekek’’ yang mengguncang jagad seni tarik suara sampai ke belahan dunia juga dibesarkan di situ. Lagi pula, studio rekaman ini makin menawan setelah renovasi. Ruang studio dengan segala perlengkapan rekaman berkualitas.

Dinding ruang rekaman dibentuk berlekuk dan silinder, dilengkapi pengatur gelombang suara. Tidak hanya dilapisi kayu multiplek, dinding ruang berukuran 240 m2 dan tinggi tujuh meter juga dilapisi glass wool sehingga mampu meredam suara.

Dalam menyambut berhelatan akbar SIEM FC dan WCOHC, Pemkot Solo jangan melupakan Lokananta. Sebaiknya, Pemkot menggandeng media massa.

Sebab mereka salah satu media promosi yang terbaik. Media massa, cetak atau elektronik, tidak bisa dimungkiri sebagai saluran komunikasi paling ampuh mempromosikan Lokananta untuk kepentingan edukatif, inspiratif, dan rekreatif. (32)

(Dimuat di Suara Merdeka, 4 Oktober 2008)

1 komentar:

Sidqi mengatakan...

saya sangat tertarik dengan lokananta. apakah saudara memiliki kontak yang saya bisa hubungi di lokananta solo. no telp atau alamat email misalnya. terima kasih.

salam
adkhilni m. sidqi