Oleh: Bandung Mawardi
Buku membawa nasib dan risiko. Penerbitan buku memang memiliki sekian kemungkinan untuk mati, sekarat, atau hidup dalam usia lama. Buku dalam sejarah peradaban manusia adalah tanda untuk pencapaian puncak atau jurang kejatuhan manusia. Buku sanggup menjadi pusat untuk perubahan dengan dalil kemajuan atau kemunduran.
Jejak-jejak historis buku dalam peradaban manusia itu dikisahkan dengan apik oleh Robert Downs dalam buku Books That Changed The World (1956). Buku itu memuat pembicaraan mengenai daftar buku yang menjadi referensi penentu arah perubahan peradaban. Robert Downs dengan argumetasi kritis dan mumpuni menjatuhkan pilihan atas buku-buku yang merubah dunia. Buku-buku itu antara lain Il Principe (Niccolo Machiavelli), Common Sense (Thomas Paine), Wealth of Nations (Adam Smith), Essay on the Principle of Population (Thomas Malthus), Das Kapital (Karl Marx), Mein Kamp (Adolf Hitler), Principia Mathematica (Sir Isaac Newton), Die Traumdeutung (Sigmund Freud), Origin of Species (Charles Darwin), dan Relativity: The Special and General Theories (Albert Einstein). Deretan buku-buku itu tidak ada yang termasuk dalam ranah kesusastraan. Robert Doawns sadar atas pengaruh buku-buku sastra tapi susah untuk menemukan parameter atas efek dan implikasi sastra atas peradaban manusia.
Perubahan mengejutkan atas situasi zaman mutakhir justru berasal dari buku sastra mendapatkan pembuktian melalui penerbitan Harry Potter (J.K. Rowling) dan Da Vinci Code (Dan Brown). Buku-buku itu menjadi sihir dunia karena menebar pengaruh di penjuru dunia. Sihir itu semakin mumpuni dengan pembuatan film. Penerbitan Harry Potter dan Da Vinci Code menjadi momentum pengaruh imajinasi dalam membaca dan menilai lakon hidup. Buku-buku itu patut masuk dalam daftar panjang buku-buku yang merubah dunia.
* * *
Nasib fantastis sebuah buku pun terjadi di Indonesia dengan penerbitan novel Laskar Pelangi (2005) karangan Andrea Hirata. Buku dengan genre novel-memoar itu sanggup menjadi sihir mumpuni untuk publik pembaca. Buku itu laris di pasaran dengan sekian argumentasi dan sensasi. Laskar Pelangi pun menjadi bukti ada keajaiban untuk industri buku dan gairah publik literasi. Buku itu kerap mendapatkan apresiasi positif untuk efek atau pengaruh terhadap pembaca dalam ranah pemikiran pendidikan, sosial, agama, ekonomi, dan kebudayaan. Buku dalam konteks Indonesia patut jadi referensi atas kesadaran sosial dan perubahan situasi zaman.
Novel Laskar Pelangi seperti arus banjir yang susah terbendung untuk menjadi bacaan dari kehausan publik atas sesuatu yang fantastis. Nasib buku karangan Andrea Hirata itu memberi optimisme bahwa ada sisi lain dari stereotip masyarakat Indonesia malas membaca buku. Laskar Pelangi dengan mengejutkan menjadi berkah besar. Berkah itu tampak mulai dari materi sampai nilai dalam mekanisme konvergensi dan divergensi.
Kisah fantastis dari Laskar Pelangi pun mulai menemukan klaim penguatan melalui penerbitan buku Laskar Pelangi: The Phenomenon (2008) karangan Asrori R Karni. Buku itu mendedahkan pengaruh-pengaruh inspiratif dari Laskar Pelangi terhadap publik pembaca. Buku sebagai inspirasi memang suatu kelumrahan dalam tataran normatif. Studi atas pengaruh Laskar Pelangi oleh Asrori R. Karni menjadi bukti bahwa ada fenomena psikologis dan sosiologis atas kehadiran sebuah buku.
Limpahan berkah Laskar Pelangi semakin fantastis dengan pembuatan film oleh Riri Reza. Laskar Pelangi pun menjadi pusat perhatian dari publik pembaca dan penonton. Kehadiran film itu semakin mengesahkan pengaruh Laskar Pelangi pada publik di Indonesia. Fenomena-fenomena Laskar Pelangi belum sampai titik akhir.
* * *
Buku fantastis dan laris justru melahirkan kutukan dalam bentuk pesimisme. Andrea Hirata mengakui bahwa berkah Laskar Pelangi itu cenderung ditentukan oleh strategi publikasi media dan sensasi. Kondisi itu membuat Andrea Hirata merasa resah dan gelisah. Nasib Laskar Pelangi melahirkan pilihan pada Andrea Hirata untuk berhenti menulis dengan sadar risiko. Argumentasi untuk keputusan berhenti menulis adalah dampak atau imbas dari kutukan pembaca. Andrea Hirata mengakui bahwa pembaca Laskar Pelangi mayoritas bukan pembaca sastra tapi pembaca dadakan karena sensasi.
Pengakuan itu memberi kesadaran bahwa fenomena besar atas sebuah buku di Indonesia masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan kritis. Berapa jumlah pembaca buku di Indonesia? Dalil apa untuk menentukan kegandrungan pembaca atas sebuah buku? Pengaruh-pengaruh apa yang mungkin terasakan dari buku? Apakah nasib laris dan fantastis sebuah buku bisa menjadi tanda untuk optimisme dunia pustaka dan pembentukan masyarakat literasi di Indonesia?
Andrea Hirata sadar keberadaan buku itu penting. Fantastis dan laris adalah risiko. Pengaruh buku sebagai inspirasi adalah berkah. Fenomena-fenomena itu membuat Andrea Hirata mesti membuat testimoni bahwa kehadiran buku mengandung ambiguitas berkah dan kutukan. Buku itu risiko. Begitu.
Dimuat Di Suara Merdeka (12 Oktober 2oo8)
Senin, 13 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar