Jumat, 24 Oktober 2008

Sumpah Menulis!

Oleh: Bandung Mawardi


Pada 28 Oktober 1928 kaum terpelajar mengadakan kongres dengan putusan Sumpah Pemuda. Peristiwa itu representasi gerakan perlawanan terhadap kolonialisme dan ikhtiar mengonstruksi Indonesia. Sumpah Pemuda melahirkan konsensus untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Indonesia pun hidup dan tumbuh dalam tulisan dan lisan.
Tokoh kunci perumusan Sumpah Pemuda adalah Muhammad Yamin. Tokoh ini sejak usia 17 tahun memiliki obsesi bahasa. Obsesi itu menjelma dalam laku menulis. Muhammad Yamin sadar untuk mengonstruksi Indonesia memerlukan fondasi dengan bahasa. Ide-ide nasionalisme tumbuh dan menyebar dengan laku membaca dan menulis. Bahasa Indonesia jadi pilihan dengan potensi-potensi konstruktif dan progresif. Muhammad Yamin adalah manusia dengan sumpah menulis. Pustaka Indonesia pun mencatat publikasi tulisan Muhammad Yamin dalam jenis puisi, drama, politik, sejarah, hukum, bahasa, budaya.
Ide dan imajinasi Indonesia tumbuh dengan tulisan. Soekarno menulis dengan retoris dan sugestif. Sutan Sjahrir menulis dengan reflektif dan filosofis. Mohamad Hatta menulis dengan analitis dan kritis. Tan Malaka menulis dengan gairah dan provokatif. Pendiri-pendiri bangsa mengonstruksi Indonesia dengan sumpah dan laku menulis. Tulisan adalah tanda seru untuk ikhtiar menjadi Indonesia.
Eksplorasi dan progresivitas bahasa Indonesia dalam tulisan tampak kentara sejak tahun 1930-an. Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane adalah contoh manusia dengan sumpah menulis. STA jadi lokomotif ampuh dalam laku menulis di Indonesia. STA menulis pelbagai perkara: sastra, bahasa, antropologi, filsafat, budaya, politik, teknologi, dan agama.
Laku menulis pun jadi gairah besar dengan sekian dalil dan pamrih. Pramoedya Ananta Toer menulis dengan teks cerpen, novel, drama, sejarah, biografi, politik. Mochtar Lubis menulis dengan teks cerpen, novel, sosial, bahasa, budaya, politik, teknologi. Soedjatmoko menulis dengan teks filsafat, sejarah, sosiologi, budaya, teknologi, politik. Ajip Rosidi menulis dengan teks puisi, cerpen, novel, biografi, budaya. Deretan nama penulis itu masih panjang dan belum pada tanda titik.
Warisan-warisan tulisan dari tokoh-tokoh itu masih ada untuk referensi dan tanda seru dalam ikhtiar menjadi Indonesia. Apakah warisan dari realisasi sumpah menulis itu mati atau hidup sampai hari ini? Mati atau hidup itu urusan kemauan dan kesanggupan. Pertanyaan ini sepele tapi merepotkan karena ada realitas tak mengenakkan. Apa?
Kritik-kritik keras dan pedas kerap muncul dengan sasaran mahasiswa sebagai kaum terpelajar. Kritik itu mengacu pada curiga akut tentang kemunduran dan kebangkrutan laku membaca-menulis pada kaum mahasiswa. Curiga itu jadi stigma tanpa titik akhir. Curiga itu menemui kebenaran atau kesalahan? Jawaban yang kerap muncul adalah membenarkan curiga akut itu. Tragis! Kaum mahasiswa mesti lekas sadar dan sanggup menepis-menantang curiga (stigma) itu dengan sumpah menulis dan laku menulis. Sumpahlah menulis! Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (25 Oktober 2oo8)

Tidak ada komentar: