Senin, 13 Oktober 2008

Satire Politik Indonesia

Oleh: Bandung Mawardi

Judul : Dari Kamp ke Kamp (Cerita Seorang Perempuan)
Penulis : Mia Bustam
Penerbit : Spasi dan VHR Book
Tahun : 2008
Tebal : xiv+273 Halaman

Pengakuan lugas dituturkan Mia Bustam ketika memberi jawaban mengenai PKI pada seorang psikolog dalam tahanan. Mia Bustami menuturkan: “Saya bukan anggota PKI, Nak Hardjono. Saya hanya anggota Lekra.” “Tapi Lekra toh berafiliasi dengan PKI?” Mia menjelaskan: “Saya di situ hanya agar bisa bergaul dengan seniman, dan menambah pengetahuan saya mengenai seni dan sastra.”
Jawaban itu tidak mengesankan muatan ideologis atau politis tapi pamrih untuk pengetahuan dan seni. Mia adalah sosok seniman. Keterlibatan dan peran dalam Lekra mengantarkan dirinya pada tuduhan-tuduhan subversif. Tuduhan itu melahirkan keputusan dalam bentuk penahanan tanpa pengadilan. Mia pun mendapat cap sebagai PKI. Cap itu selalu mendapat sangkalan karena Lekra dan PKI beda.
Mia mengisahkan fragmen-fragmen hidup sebagai istri pelukis Sudjojono, keterlibatan di Lekra, dan penahanan di pelbagai tempat dalam buku memoar Dari Kamp ke Kamp (Cerita Seorang Perempuan). Memoar itu cenderung sebagai kisah hidup dalam rentetan tragedi tapi dilakoni dengan percampuran keluguan dan resistensi. Mia memiliki strategi pengisahan yang humanis tanpa terbebani oleh tendensi-tendensi politis. Strategi teks itu membuat memoar ini menjadi terasa intim dan mengandung otentisitas ketimbang dengan buku-buku memoar lain yang cenderung politis dan emosional.
Buku ini memiliki alur runtut meski dengan patahan-patahan kecil karena kelemahan (keraguan) pengarang pada ingatan atas peristiwa-peristiwa tertentu. Kisah penting tejadi ketika Mia terlibat di SIM (Seniman Indonesia Muda) dalam kerja kreatif dan pameran lukisan. Kesibukan itu mengantarkan Mia pada interaksi dengan pelbagai orang dan institusi. Interaksi itu menentukan keterlibatan dalam Lekra. Pengesahan Mia sebagai anggota Lekra terjadi pada akhir 1959 dalam Kongres Lekra I di Solo. Peran semula adalah sebagai peninjau atas sesuai dengan isi undangan dari Nyoto. Peran itu praktis berubah dengan pengiriman surat dari Joebar Ajoeb yang memberitahukan bahwa pimpinan Lekra mencatat Mia sebagai anggota Lekra.
Buku memoar Mia mengesankan kisah-kisah dalam tipologi kelumrahan dan kenaifan orang-orang biasa. Biografi Mia menyisakan sebuah mimpi yang kandas. Mia ingin memiliki padepokan dengan konsep untuk belajar seni dan hidup dalam kolektivitas dan kemandirian. Mimpi itu mengacu pada sebuah buku mengenai usaha Makarenko di Uni Sovyet. Mimpi Mia kandas karena kurang dukungan dari teman-teman. Mimpi itu menunjukkan pandangan humanis dari Mia untuk sadar atas laku keratif dan realitas hidup.
Kisah mengesankan terjadi pada tahuh 1964 dalam Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner di Jakarta. Mia merasakan ada interaksi konstruktif untuk menambah pengetahuan tentang seni dan sastra. Mia ketika itu juga mengunjungi Gedung CC-PKI yang dalam proses perampungan. Mia usul pada Nyoto agar di dinding gedung dipasangi potret-potret tokoh-tokoh: Semaun, Alimin, Marx, Engels, Lenin, dan lain-lain. Usulan itu disepakati dan mulailah Mia melakoni laku kreatif melukis tokoh-tokoh. Nasib apes dialami Mia karena lukisan-lukisan yang sudah jadi tak mungkin lagi dipasang karena Gedung CC-PKI dibakar massa dalam Peristiwa 1965. Kisah itu memang mengandung ambivalensi antara urusan politik dan seni. Mia cenderung menilai itu sebagai laku seni karena sadar atas peran dan kompetensi.
Peristiwa 1965 membuat Mia terseret dalam operasi pembersihan oknum-oknum PKI. Mia masuk penjara dengan tuduhan-tuduhan: (1) dianggap mengikuti latihan di Lubang Buaya; (2) melindungi dan memberi tempat persembunyian pada oknum-oknum PKI; dan (3) mengadakan rapat-rapat gelap dengan oknum-oknum PKI. Mia menyangkal tuduhan-tuduhan itu dengan argumentasi-argumentasi lugas. Tuduhan-tuduhan itu tidak mengandung kebenaran tapi Mia tetap harus masuk tahanan.
Tuduhan PKI untuk menjebloskan Mia ke penjara adalah rekayasa politik. Hal itu diakui Mia ketika melakukan dialog dengan Romo de Blot. Romo menanyakan: “Tidakkah engkau menyesal menjadi anggota PKI?” Mia menjawab dengan eksplisit: “Saya tidak pernah menjadi anggota PKI, Romo. Saya pun tidak menyesal karena tidak pernah melakukan hal-hal yang patut disesali.” Romo melanjutkan: “Jadi kau tidak merasa bersalah?” Mia dengan lugas menjawab: “Tidak Romo, karena saya memang tidak bersalah.” Jawaban-jawaban Mia dalam dialog itu merupakan penegasan bahwa menjadi anggota Lekra tidak harus praktis sebagai PKI. Mia mengurusi seni bukan politik. Hal-hal itu mesti jadi kesadaran kritis terhadap stigmatisasi Lekra. Mia ingin melawan distorsi Peristiwa 1965.
Pengalaman sebagai tahanan politik dari 23 November 1965 sampai 27 Juli 1978 di pelbagai tempat (Polres Sleman, Benteng Vredeburg, Penjara Wirogunan, Penjara Perempuan Bulu, Instalasi Rehabilitasi Plantungan) justru menjadi pengalaman pelangi dengan kisah orang-orang biasa dari teman-teman Mia. Kisah-kisah itu mengandung elan vital dalam kondisi represi dan teror. Mia dalam memoar itu tak sekadar mengisahkan diri sebagai pusat cerita tapi juga memberi jatah besar untuk kisah-kisah para teman dan orang lain. Buku memoar ini pun menjadi kisah humanis dengan percampuran tragedi dan komedi.
Mia pada suatu saat mendapatkan pertanyaan mengenai kontribusi apa yang bisa dilakukan pada bangsa dan negara ketika sudah bebas. Pertanyaan itu adalah buntut dari penataran P-4 dan indoktrinasi dengan embel-embel Santiaji Pancasila. Mia menjawab: Aku ingin menerjemahkan karya-karya sastra Barat yang bermutu ke dalam bahasa Indonesia agar bisa dinikmati oleh mereka yang tidak paham bahasa asing. Keinginan Mia itu mesti berhadapan dengan risiko dalam bentuk pelarangan atau nama penerjemah disamarkan oleh penerbit. Peristiwa 1965 telah membuat rezim Orde Baru mengalami ketakutan akut. Buku-buku pun bisa jadi musuh atau momok subversif yang harus lekas dimusnahkan.
Mia pada 27 Juli 1978 mendapatkan kebebasan. Mia merayakan kebebasan dengan satire: “BEBAS! Dengan menyandang bahaya laten pula.” Satire itu muncul karena ada embel-embel eks-tapol PKI atau pencantuman tanda ET pada KTP. Kebebasan itu adalah satire. Buku memoar Mia adalah representasi satire politik Indonesia. Begitu.

Dimuat di Seputar Indonesia (12 Oktober 2oo8)

Tidak ada komentar: