Oleh: Heri Priyatmoko
Ponsel berdering. Ada SMS masuk. Tarno seketika menghentikan obrolannya dengan Pakde Katino. Bergegaslah merogoh kantong celana. Lalu SMS dibaca. ”SMS dari sapa, Tar?,” tanya Pakde Katino penasaran melihat raut wajah Tarno tiba-tiba sumringah.
”Ini, adik saya di Jakarta memberi kabar, dia Lebaran akan mudik,” jawab Tarno bungah.
“Wah, syukur bakda-bakda pada bisa ngumpul,” Timpal Yu Mukinah yang sedang membuatkan wedang teh tubruk.
Di awal puasa, greget mudik memang sudah tampak. Ini terbaca dari larisnya pesanan tiket kereta api dan naiknya omset penjualan tiket bus. Budaya massal saban menjelang Idul Fitri tersebut bak magnet yang mengikat manusia dengan akarnya. Ada hubungan batin antara seseorang yang merantau dengan keluarga dan tanah kelahiran.
Dinginnya angin malam sampai menusuk kulit ari tak menghalangi mereka untuk lanjutkan perbincangan. ”Saban mudik, tak jarang warga dari kota mengeluh, Pakde...” Tarno lirih.
”Apa yang mereka keluhkan?,” Pakde Katino datar.
”Mereka selalu jengkel dengan pemerintah soal perbaikan infrastruktur jalan di jalur mudik. Bagaimana tidak, mendekati puncaknya, banyak kerjaan yang belum rampung dan kondisi jalan kurang mendukung. Semua itu akan menghambat para pengendara motor di hari H. Anehnya persoalan ini selalu berulang dan klasik. Seolah perbaikan jalan adalah proyek tahunan,” Tarno membeberkan.
”Kemarin saya lihat jalan utama dari Solo, Karanganyar, hingga Sragen, beberapa ruas jalan terlihat baru saja diperbaiki. Namun, yang dilakukan sepotong-potong sekitar 2-5 km. Kondisi jalan yang bergelombang dan bertambalan itu menyebabkan arus kendaraan terhambat,” lanjut Tarno yang sehari-harinya bekerja menjadi tukang loper koran Suara Merdeka.
”Betul, suamiku kemarin juga bilang, penyempitan jalan dari empat lajur di jalan Raya Solo-Sragen km 10, Kebakkeramat, menjadi salah satu titik rawan kemacetan,” Yu Mukinah nyambi goreng bakwan, nambahi.
Pakde Katino tak bisa menyembunyikan rasa khawatir. Karena kedua anaknya bagian dari jutaan pemudik. Dalam pikiran Pakde Katino, ratusan bahkan jutaan orang bakal melintasi jalanan itu selama mudik tahun ini. Jalan raya masih menjadi pilihan utama pemudik baik yang menggunakan kendaraan umum atau pribadi.
Wedang teh tubruk belum begitu dingin, Tarno segera meminumnya.
”Keamanan dan keselamatan warga yang hendak mudik setidaknya harus menjadi fokus utama pemerintah. Beruntung sekarang tidak lagi musim hujan sehingga potensi ancaman agak sedikit berkurang. Tapi, itu bukan berarti kita tidak perlu waspada. Persiapan dan koordinasi instansi pemerintah, seperti Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, dan Kepolisian, segera dilakukan mulai detik ini,” ucap Tarno seraya meletakkan kembali gelas di meja.
Pakde Katino yang mengunyah timus mengangguk setuju dan berkomentar, ”Ritual mudik itu penting. Pemudik bahagia bertemu sanak keluarga. Ini yang tidak ternilai harganya. Bisa mulih ndeso di masa Lebaran itu anugerah. Hanya Lebaran yang bisa menjadi momentum luar biasa pulangnya manusia ke desa. Dengan mudik pula, ada pemerataan ekonomi di daerah. Duit triliunan rupiah uang mengalir ke desa-desa. Tanpa momen Lebaran, perputaran uang sebanyak itu sesuatu yang mustahil, Yu”.
Pemerintah dituntut jeli memeriksa dan mengawasi kelaikan armada transportasi, jalan, dan kondisi pengemudi, demi tercipta kenyamanan dan keamanan pemudik sampai ke tempat tujuan. Yang pasti, tinggi rendahnya angka korban jiwa akibat kecelakaan lalu lintas selama mudik adalah indikator keberhasilan pemerintah.
”Iya, kita yang di rumah berdoa saja. Agar anak-putu kita nanti pulang dengan selamat,” sahut Yu Mukinah menutup obrolan.
Dimuat di Suara Merdeka, 27 September 2008
Kamis, 09 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar