Oleh Heri Priyatmoko
Pujian publik mengalir deras atas keberhasilan terselenggarakannya event World Heritage Cities Conference and Expo (WHCCE) di Kota Solo. Semua ini tak lepas berkat peran Walikota Jokowi. Beliau sejak tiga tahun lalu lincah melobi di luar negeri hingga akhirnya Kota Bengawan bisa memenangkan kompetisi dengan berbagai kota di dunia untuk menjadi tuan rumah Konferensi dan Ekspo Kota-kota Warisan Dunia wilayah Eropa dan Asia yang berlangsung 25-28 Oktober kemarin.
Dalam pembukaan acara ini, Vice President of Organization World Heritage Cities (OWHC), Alexander Kibovskiy berharap konferensi ini tak hanya sebagai ajang temu para walikota dan lembaga yang peduli heritage, tapi juga bisa memberi solusi pada negara atau kota yang menghadapi permasalahan heritage di wilayahnya. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Watjik turut meresmikan Jaringan Kota Pusaka (JPK). Dia berpesan kepada walikota agar mencari jalan terbaik dan mempertimbangkan berbagai hal dalam pelestarian aset warisan budaya dalam melakukan pembangunan dan pengembangan kota.
Tidak sedikit bangunan sejarah di kota babak belur dilindas arus kapitalisme merupakan masalah yang kini hangat diperbincangkan. Kesalahan besar yang kerab dilakukan Pemkot yaitu membangun kota dengan mengalahkan bangunan bersejarah, walau itu mempunyai nilai sejarah budaya yang sangat besar bagi masyarakatnya. Sebetulnya, bangunan bersejarah ialah pusaka budaya yang menjadi bagian dari warisan manusia yang semestinya mendapat perhatian khusus untuk dilindungi serta dilestarikan.
Karena adanya aspek historis dan arsitektur inilah dapat memberikan nilai makna kultural masa lampau, yang tentu saja melekat pada bagian-bagian yang terdapat pada fisik bangunan itu sendiri. Hal tersebut penting dipahami, sebab sebagian banyak kota di Indonesia merangkak tumbuh menjadi kota modern (harus) mengorbankan peninggalan bangunan kuno atau situs sejarah untuk kepentingan investor.
Seperti yang diungkapkan pengamat perkotan Prof Eko Budiharjo, bahwa fenomena bunuh diri perkotaan (urban suicide) sudah muncul sejak merebaknya gerakan arsitektur modern di mancanegara. Bangunan-bangunan bersejarah dihancurkan untuk mewadahi kepentingan kapitalis membangun mal, supermal, shopping centre, department store, hotel, dan kantor sewa, yang mencakar langit. Disebut bunuh diri perkotaan karena para walikota pemimpin daerah yang mendapat amanah dan daerahnya justru menjadi pemrakarsa penghancuran bangunan tua bersejarah, taman-taman, dan ruang terbuka hijau. Para seniman, budayawan, ilmuwan, profesional, yang di luar jalur kekuasaan hanya bisa protes, demonstrasi, bersuara keras, menulis di media massa, untuk melawan para elite yang disebut sebagai The Big Boys atau Urban Cowboys yang sewenang-wenang itu.
Banyak tangible heritage di berbagai kota kini yang sudah beralih fungsi, dihancurkan, atau dibiarkan telantar tidak dipelihara. Coba bayangkan, seandainya kota kita bersih tidak mempunyai tinggalan bersejarah, candi, arca, serta benda purbakala lainnya. Tentu, kota kita akan menjadi kota yang kering sejarah. Tinggalan sejarah adalah bukti kebesaran, kejayaan, dan kebanggaan sebuah masyarakat. Juga menjadi cermin menatap masa depan.
Deklarasi Solo
Warisan sejarah menjadi kebanggaan dan sekaligus keindahan. Dari sana, kita dan generasi mendatang berkaca, belajar, dan mendapat inspirasi untuk membangun kota dan masyarakat yang lebih baik. Pasalnya, banyak pandangan menyatakan upaya memahami kota memang tidak bisa dilakukan kecuali melalui telaah historis terhadap warisan leluhur. Heritage adalah warisan nenek moyang yang semestinya dikelola dengan baik oleh ahli warisnya, bukan justru dikubur diganti dengan bangunan komersiil.
Slogan diusung Jokowi, Solo in the future is Solo in the past, bukan berarti antiperubahan atau memuja masa lalu. Namun lebih pada semangat membangun kota modern tanpa mengalahkan kekayaan budaya dan sejarah yang ada. Roh dalam slogan tersebut penting ditiru kota di Indonesia yang sedang dilanda wabah penyakit vandalisme heritage demi pengembangan fisik tata ruangnya. Tanpa didasari semangat kolektif pelestarian, cepat atau lambat, aset historis yang kita dimiliki tergerus kepentingan ekonomi. Wajah fisik kota akan berganti dengan bangunan baru, dengan struktur monumental sebagai lambang modernisasi yang dijadikan solusi dalam menghilangkan kenangan masa silam.
Soal kepemilikan aset sejarah yang di tangan swasta, Pemkot tidak usah risau. Di sini, Pemkot menjalin kerjasama mendorong perbaikan dan pemeliharaan bangunan tua. Misal, di Solo ada kampung tua Laweyan dan Kauman yang sohor industri batik. Pemkot menggandeng mereka dengan memberi subsidi biaya perbaikan rumah kuno, juga mendanai perbaikan infrastruktur lingkungan. Lebih dari itu, Pemkot menyediakan kredit usaha kecil dan menengah pengusaha setempat. Paling tidak, dengan investasi publik semacam ini menjadi pemicu investasi swasta terhadap bangunan dan kawasan bersejarah.
Helatan akbar WHCCE di Solo telah menyalakan alarm peringatan pada kota-kota di Indonesia untuk menghentikan aksi vandalisme pada heritage dan telah melahirkan Deklarasi Solo yang berisi sembilan poin. Di antaranya, perlunya menjaga dan melindungi properti budaya dan mengembangkan budaya hidup yang harmonis yang membentuk citra khas kota dan mendorong budaya hidup yang bersemangat di berbagai lapisan masyarakat. Kemudian, perlunya memanfaatkan kebijaksanaan dan pelajaran yang dipelajari dari warisan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat dan untuk memperkuat dasar pembangunan kreatif dan berkelanjutan.
Kesadaran melestarikan bangunan bersejarah sudah dipertegas para leluhur kita, “wewangan kang umure luwih saka paroning abad, haywa kongsi binabad, becik den mulyakna kadya wujude hawangun”. Artinya, bangunan yang berumur lebih dari 50 tahun merupakan bangunan sejarah dan budaya, dapat digunakan sebagai penelitian, menambah pengetahuan dan lain kebutuhan kemajuan serta bermanfaat sebagai tuntutan hidup.
Dimuat di Joglosemar, 30 Oktober 2008
Jumat, 31 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar