Oleh: Heri Priyatmoko
Mereka mendapat gelar Mbok Mase dan kata itu bercerita banyak tentang kejayaan pengusaha batik di Jawa tempo dulu. Sebutan ini tidak cuma menunjukkan potret kepiawaian perempuan Laweyan dalam berwirausaha, melainkan juga terkait erat dengan yang disebut oleh sejarawan Solo, Soedarmono, sebagai pendobrak citra; mental pribumi Jawa yang malas.
Berbicara mengenai Mbok Mase Laweyan, mengingatkan pada kisah perjalanan sejarah kain batik sebagai proyek identitas. Fiona Kerlogue, doktor spesialisasi batik lulusan University of Hull Inggris dalam bukunya Batik: Design, Style & History (2004), mengemukakan, di mana saja dan di kesempatan apapun, baik formal maupun informal, batik menjelma menjadi ikon ungkapan kebanggan nasional yang penting, satu dari elemen kuat ekspresi nasionalisme Indonesia yang merata, dikenakan pria-wanita, tua-muda, mulai dari orang biasa hingga presiden.
Batik dipakai tidak saja saat wanita bekerja di sawah, melainkan juga hadir di rumah-rumah, dalam resepsi dan upacara adat, muncul di tingkat bawah maupun elite, bahkan di tingkat kenegaraan. Lebih dari itu, kerap kali menyaksikan batik menjadi ekspresi seni yang tak lagi anonimus, berfungsi tidak hanya sebagai kostum semata-mata, tapi sebagai dekorasi, barang seni, hingga suvenir wisata wajib yang populer.
Gairah memperkenalkan batik dan menghargainya sebagai bentuk ekspresi kecerdasan lokal bangsa di dunia internasional, cukup besar. Ketika batik didaku negeri jiran sebagai hasil ciptaannya, warga Indonesia berang. Tentunya kita tak bisa hanya marah menghadapi kelihaian Malaysia. Karena bangsa manapun yang tak becus mengurus miliknya sendiri pasti akan menjadi incaran pihak lain.
”Jangan nilai orang dari pakaiannya,” inilah nasihat yang sering terdengar. Artinya, penampilan bukanlah hal penting sebab masih ada unsur lain yang jauh lebih penting. Nasihat tersebut tentunya tidak berlaku bagi orang Jawa yang lebih teguh dengan ungkapan ajining raga ana ing busana.
Seperti yang tertulis di buku Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (2005), pakaian merupakan kulit luar yang menegaskan identitas pemakai kepada lingkungan sosial. Baju menjadi media yang efektif guna menunjukkan status, kedudukan, kekuasaan, gaya hidup, gender, dan jenis kelamin dari masa ke masa.
Bila dibandingkan dengan pakaian pakaian adat suku-suku di Nusantara, batik menempati urutan tertinggi (dianggap) sebagai kostum nasional. Eloknya, kini, pemakaian batik tiada lagi mencerminkan perbedaan status sosial dalam gaya hidup.
Di sinilah batik berperan besar (sebagai alat) atas leburnya diskriminasi dan hegemoni yang terbentuk sejak masa kolonial Belanda. Kala itu, pakaian sengaja diciptakan guna membedakan antara yang kulit putih dengan pribumi dan antara pribumi satu dengan yang lain. Saban daerah mesti mengenakan pakaian daerahnya masing-masing. Sementara busana khas kolonial Belanda dilarang dikenakan pribumi.
Pakaian raja atau sultan tidak diperkenankan dipakai sembarang orang, apalagi rakyat jelata. Batik diasosiasikan dengan kehidupan seremonial keluarga yang mempunyai tradisi turun temurun yang sarat dengan privilese. Pakaian menentukan citra seseorang. Busana menjelma sebagai pembeda di tengah-tengah masyarakat. Identitas itu tampil di ruang-ruang publik, dengan tampilan warna-warni, ternyata diam-diam membawa pesan yang sarat konflik.
Dewasa ini, batik baru tren dan membawa kecenderungan pada perwujudan cinta masyarakat Indonesia terhadap produk dalam negeri dan bentuk reaksi atas westernisasi. Teringat pada 13 April 2008, Jl Slamet Riyadi bak lautan manusia.
Gelaran Solo Batik Carnival yang hendak mendongrak pamor batik sampai ke tingkat setinggi-tingginya pantas memperoleh apresiasi publik. Hanya, batik tidak bisa bertahan pada situasi tradisional. Mau tiak mau tidak harus mengalami polesan karena menyesuaikan diri terhadap semangat zaman. Oleh karena itu, batik akan terus berkembang dan dicari orang. Seperti orang Betawi bilang: kagak ade matinye!
Pasang surut batik telah mewarnai perjalanan sejarah kostum di Indonesia. Mengapa kita mesti malu memakai baju batik, karena dengan itu kita berarti ikut melestarikan produk lokal dan memperkuat jati diri bangsa. Tubuh orang Indonesia yang memakai baju batik menjadi personifikasi negara, dan mendefinisikan sebagai non-Barat, sekaligus memberikan bukti bahwa meskipun kita mengadopsi begitu banyak atribut Barat, dalam semangat kita masih ”Indonesia”, yang murni dan tak tercemar.
dimuat di Solopos, 14 Oktober 2008
Senin, 20 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar