Rabu, 22 Oktober 2008

Analisis Tokoh Muslimah dalam ”Laskar Pelangi ”

Oleh Heri Priyatmoko

SUATU pagi di tanah Belitong Timor pada pertengahan 1970-an, sepuluh anak yang berjuluk Laskar Pelangi ketakutan. Hujan turun amat deras dan petir menyambar-nyambar sementara ibu guru mereka belum juga datang. Andrea Hirata kecil dan sembilan temannya merapat di dinding papan agar terhindar dari semburan air hujan yang masuk lewat atap seng yang bolong menutupi sekolah reot bak gudang kopra itu. Mereka yakin ibu guru, Ibu Muslimah, pasti datang. Sebab, Ibu Mus (panggilan Ibu Muslimah) bukan tipe guru yang gampang bolos atau semangat mengajar mudah runtuh gara-gara hujan.

Benar, Ibu Mus datang berpayung daun pisang. Ketika itu Andrea merasakan getaran kalbu yang mendesir. Pada momen yang tak terlupakan ini, terbetik tekad kuat di hatinya, suatu saat nanti bakal bikin tulisan sosok dan kiprah Ibu Mus. Itulah yang diungkapkan Andrea dalam acara Kick Andy pada 4 Oktober 2007 silam dan tertulis pula di buku Asrosi S Karni, Laskar Pelangi: The Phenomenon (2008).

Kini, janji Andrea terbayar jua. Lahirnya novel Laskar Pelangi (2005) dipersembahkan hanya untuk ibunda guru tercinta. Seperti apa kehebatan Ibu Mus ketika mengajar meski puluhan tahun berlalu tapi sosoknya masih terekam di sanubari mantan muridnya, Andrea?

Serba minim dan memprihatinkan kondisi yang dialami Ibu Mus tiga dasawarsa lampau. Sementara perempuan seusianya sibuk bersolek dan bermain, Ibu Mus yang kala itu berumur 20 tahun justru mengajar di Sekolah Dasar Muhammadiyah Gantung, Belitong Timur yang tak menjamin kantong bisa tebal. Bagaimana tidak; mengajar di sekolah reot, mengurusi anak-anak miskin, gaji cuma 3.000 ribu rupiah perbulan yang kadang dibayar 1.300 ribu. Eloknya, semua dilakoni secara ikhlas.

Bahan Bakar
Dia menyikapi kenyataan pahit ini secara positif. Hal itu tak menyebabkannya pasrah pada nasib, namun malah menjadi ”bahan bakar” demi mengejar ketertinggalan. Ibu Mus memompa semangat belajar murid dengan menampilkan sosok figur besar, seperti Soekarno dan Galileo. Dorongan kian efektif karena Laskar Pelangi juga punya motivasi diri akibat perlakukan diskriminasi, yaitu tak boleh sekolah di SD favorit PN Timah dan disekat oleh papan pembatas bertulis ”Dilarang masuk buat orang jang tida punja hak”. Ibu Mus tidak terlalu kesulitan mengarahkan mereka. Pasalnya, telah dibangun atmosfer spirit pendekatan belajar-mengajar Ibu Mus dan murid-muridnya, dan memanggil mereka dengan sebutan ”nak”, panggilan sayang dari kata ”anak”.

Para murid tiada merasa diperlakukan berbeda-beda. Ibu Mus membimbing dengan penuh kasih sayang, semua disemangati, sesuai kapasitas mental dan pikiran masing-masing. Tersedianya unsur guru yang mengajar dengan paradigma inklusi itu yang lebih sulit dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi ketimbang sekadar mengadakan komposisi kelas yang inklusi. Sebutlah tokoh Harun. Anak itu mempunyai kelainan mental, tapi Harun tetap merasa dihargai dan diperlakukan setara dengan temannya.

Pada riwayatnya, Ibu Mus hanya lulusan Sekolah Kepandaian Putri (SKP), sekolah keterampilan menjahit dan menyulam. Akan tetapi hebat dalam mewariskan fighting spirit yang meledak-ledak sepanjang hayat. Hal itu diakui Andrea, bahwa meski sudah menimba ilmu di perguruan tinggi di Universitas Indonesia dan Universitas Sorbonne, Paris, berjumpa dengan belasan profesor papan atas, namun bagi Andrea guru terbaik tetap Ibu Mus. Perempuan berkerudung ini menyihir Andrea menjadi rakus ilmu dan cinta pengetahuan, sedangkan sebagian profesor menciptakan iklim belajar yang penuh beban dan suasana stres.

Dia perempuan sederhana, jauh dari hiruk pikuk kota, hidup di tengah masyarakat yang terbelit kemiskinan, tapi sekarang ia menjadi tokoh idola banyak orang di kala mereka kehilangan pegangan. Ada dai kondang tingkat nasional yang sempat menjadi idaman banyak perempuan, namun kemudian malah mengecewakan karena sang dai berpoligami, sebuah tindakan yang tidak disukai kaum hawa.

Orang-orang yang pernah kita kagumi ternyata juga korupsi. Andaikan saja Andrea tak menulis memoar Laskar Pelangi, daya pukau dan kedasyatan Kartini dari tanah Belitong itu tak diketahui masyarakat.
Pada intinya, kehadiran Ibu Muslimah kembali mengingatkan kepada kaum oemar bakri: guru adalah kunci keberhasilan siswa. Dan, Ibu Muslimah telah menyalakan alarm peringatan pada kita semua bahwa kemiskinan bukanlah alasan untuk berhenti belajar dan bukan tak mungkin sebuah sekolah kecil dengan segala keterbatasannya mampu melahirkan kreativitas yang melampaui sekolah favorit yang mapan baik dari segi pengajarannya maupun fisik.

Harapannya, semoga di negeri ini hadir seribuan guru macam Ibu Muslimah yang getol meniupkan semangat pendidikan bagi anak didiknya meski terjepit dalam situasi kemiskinan. (80)

Dimuat di Suara Merdeka, 22 Oktober 2008

Tidak ada komentar: