Kamis, 09 Oktober 2008

Bahasa, Perempuan, Resistensi

Oleh: Bandung Mawardi


Bahasa mengandung sekian tanda tanya dan tanda seru dalam wacana gender. Definisi bahasa sebagai sistem simbol arbitrer untuk komunikasi rentan dengan bias dan diskriminasi. Bahasa dalam wacana gender memang melahirkan polemik panjang terkait dengan basis pengetahuan dan praktik komunikasi sosial. Bahasa adalah medan pertarungan ideologi legitimasi dalam wacana gender.
Kehadiran bahasa merupakan manifestasi ideologi legitimasi dalam pamrih sosial dan politis. Bahasa memberi pembebasan dan pengekangan makna untuk politik perbedaan. Bahasa dengan sistem dan struktur tertentu susah bersih dari intervensi, hegemoni, dominasi, dan manipulasi pemaknaan. Kondisi rentan dalam bahasa menjadi acuan perdebatan hakikat dan implikasi bahasa dengan tendensi gender.
Shan Wareing (1999) menilai bahwa bahasa dalam perspektif gender kerap mengacu pada praktik perbedaan karena stereotipe historis dan empiris. Pemahaman atas bahasa dan gender mungkin untuk didedahkan dengan kajian teori dominasi dan teori perbedaan. Teori dominasi memiliki dalil bahwa perbedaan wacana antara lelaki dan perempuan mengacu pada perbedaan kekuasaan. Perbedaan itu membuat dominasi lelaki dalam praktik komunikasi menemukan klaim pembenaran atau kelumrahan. Perempuan dalam penjelasan teori dominasi kerap berada dalam posisi minoritas dan lemah dalam otoritas pemaknaan bahasa. Teori perbedaan hadir dengan dalil bahwa perbedaan bahasa antara lelaki dan perempuan mengacu pada pemisahan antara lelaki dan perempuan pada tahap-tahap penting kehidupan mereka. Perbedaan kerap muncul karena lelaki identik dengan intensitas sosialisasi dan agresivitas. Perempuan dalam teori perbedaan cenderung berada dalam posisi inferior atas nama etika, kelamin, atau ideologi. Bahasa itu rentan dan tidak netral dari bias gender.
Praktik komunikasi antara lelaki dan perempuan dalam pandangan kritis memang selalu mengandung ambiguitas resepsi dan pemaknaan. Bahasa dalam klaim otoritas lelaki cenderung menjadi parameter atau kodrat sosial. Bahasa dalam otoritas perempuan pun harus menempati posisi sebagai instrumen atau periferal karena vonis tak utuh atau tak sempurna. Kondisi itu memungkinkan perempuan untuk merebut otoritas sejajar atau melakukan resistensi dalam ranah ideologi sampai pada mekanisme produksi dan resepsi bahasa.

* * *

Jacques Lacan dalam studi kritis tentang bahasa menemukan bahwa hakikat dan fungsi bahasa menetukan eksistensi, subjek, dan identitas. Lacan percaya subjek manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa tapi subjek tidak bisa direduksi menjadi bahasa. Otoritas dan kapasitas dalam bahasa menjadi alasan perbedaan subjek dan identitas. Teori Lacan itu mendapatkan tanggapan kritis dari kaum feminis untuk melakukan resistensi atas dominasi lelaki dalam bahasa. Lacan dengan jeli menunjukkan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi karena struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan bahasa. Kaum feminis memahami penjelasan Lacan itu sebagai argumentasi kritis untuk resistensi atas nama emansipasi dan kesetaraan.
Praktik resistensi untuk emansipasi cenderung menemukan bentuk dan ruh dalam tulisan. Kaum feminis dengan tulisan memiliki kemungkinan untuk merumuskan diri dan menentukan peran untuk menafsirkan dunia dalam perspektif perempuan. Tulisan dalam kadar tertentu cenderung mengandung progresivitas politik bahasa ketimbang dengan praktik bicara di ruang publik. Tulisan dalam ideologi legitimasi kaum feminis menunjukkan struktur dan sistem berbeda dalam pamrih-pamrih emansipasi. Tulisan sebagai manifestasi otoritas bahasa menjadi pertaruhan eksistensi, subjek, dan identitas perempuan.
Helene Cixous percaya tulisan adalah manifestasi otoritas perempuan. Tulisan menjadi bukti politis resistensi perempuan untuk merumuskan kembali aspek-aspek kultutral dan menentukan peran dalam ruang kultural. Tulisan adalah resistensi perempuan dengan kekuatan ampuh untuk merubuhkan hierarki dan patriarki. Tulisan merepresentasikan suara perempuan untuk menamai dan memaknai realitas.

* * *

David Garddol dan Joan Swann dalam Gender Voice (1989) menengarai ada tiga macam hubungan stereotipe dalam wacana bahasa dan gender: (1) bahasa mencerminkan pembagian sosial dan ketidaksetaraan; (2) perbedaan atau ketidaksetaraan tercipta karena perilaku linguistik yang seksis; dan (3) bahasa dan gender berada dalam ranah perseteruan untuk saling memberi pengaruh. Tiga macam hubungan itu mengandung konklusi bahwa perempuan mengalami inferiorisasi dan penindasan dalam bahasa. Gugatan atau resistensi kaum perempuan atas struktur dan stereotipe bahasa mutlak dilakukan untuk tidak menjadi kaum diam, kaum kalah, atau kaum tunduk.
Bahasa adalah kuasa untuk penentuan eksistensi, subjek, dan identitas. Permainan kuasa mesti menjadi pertemuan perbedaan untuk penciptaan dan perebutan makna dalam bahasa. Bahasa adalah otoritas untuk kaum perempuan dalam pamrih tunduk atau bebas dalam politik perbedaan dan gugatan atas patriarki dan falosentrisme. Bahasa sebagai otoritas tentu membutuhkan mekanisme dan sistem untuk membuat klasifikasi atas realitas-realitas.
Luce Irigaray mengingatkan bahwa kaum perempuan membutuhkan bahasa mereka sendiri. Bahasa untuk kaum perempuan adalah bahasa untuk manifestasi merumuskan hakikat dan peran. Perempuan membutuhkan bahasa untuk kebebasan menjadi manusia dalam kesetaraan. Kebutuhan itu bukan impian atau ilusi. Irigaray menjelaskan ikhtiar memiliki bahasa sendiri untuk kaum perempuan mesti direalisasikan dengan transformasi kultural secara substantif dan radikal. Praktik politis atas ikhtiar itu adalah dengan bicara dan menulis sebagai perempuan. Praktik bahasa itu merupakan bukti negasi atau resistensi terhadap dominasi lelaki dalam klaim eksklusif kaum lelaki untuk penamaan dan pemaknaan realitas.
Bahasa dan gender memang perkara pelik dalam keramaian wacana gender sebagai realisasi pemikiran-pemikiran kritis. Pemahaman atas bahasa dan gender membutuhkan intensitas dan ekstensitas dalam membaca dan menilai acuan-acuan patriarki. Bahasa dalam kultur patriaki kerap menemukan legitimasi dan kodifikasi dalam sistem dan institusi pendidikan, politik, kesusastraan, atau media massa. Kondisi itu menjadi tanda tanya dan tanda seru untuk kaum perempuan ketika ingin melakukan resistensi dalam pamrih emansipasi dan kesetaraan gender dengan bahasa. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (8 Oktober 2oo8)

Tidak ada komentar: