Bandung Mawardi
Umar Kayam (1932 - 2002) adalah pokok dan tokoh dalam sastra, seni, kebudayaan, dan ilmu sosial. Nama ini menjadi bab penting dalam biografi kebudayaan Indonesia. Tokoh ini memang moncer untuk pelbagai hal dan memberi “sihir wacana” untuk publik. Orang berhak membaca dan menilai Umar Kayam karena cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, novelet Sri Sumarah dan Bawuk, novel Para Priyayi, dan novel Jalan Menikung. Orang berhak mengenali secara intim sosok Umar Kayam dalam kumpulan kolom Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda, Madhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih, dan Satrio Piningit ing Kampung Pingit.
Apa warisan dari Umar Kayam? Pertanyaan ini sengaja diajukan untuk menilik kembali kontribusi Umar Kayam dalam wacana sastra, seni, kebudayaan, dan ilmu sosial. Umar Kayam mencatatkan diri sebagai tokoh kunci dalam pergulatan wacana-wacana besar dengan orientasi memberi kontribusi untuk biografi menjadi Indonesia. Warisan-warisan itu gampang terlacak dan mengadung kontekstualisasi dalam arus zaman.
Umar Kayam dalam jagad sastra Indonesia modern merupakan pokok dan tokoh yang fenomenal. Sekian teks sastra menjadi juru bicara keampuhan Umar Kayam untuk mengisahakn hidup dengan penguatan narasi suasana dan pergulatan ide dalam tegangan fakta dan fiksi. Cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan sampai hari ini masih jadi tonggak cerpen Indonesia karena model penceritaan yang mengena pada suasana dan karakterisasi tokoh yang kuat. B. Rahmanto dalam Umar Kayam: Karya dan Dunianya (2004) menyebut cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan merupakan cerpen awal Indonesia yang menggelinding sebagai cerpen suasana. Cerpen itu memberi tanda seru dalam kesusastraan Indonesia modern bahwa narasi suasana merupakan kunci kehidupan sebuah cerita.
Novel Para Priyayi merupakan novel kontroversial. Para pengamat dan pembaca melemparkan penilaian yang riuh: novel outobiografis, novel sejarah, Para Priyayi itu risalah sosiologis, novel itu percampuran atau sintesis fakta (ilmu-ilmu sosial) dan fiksi, atau novel itu traktat pandangan kepriyayian modern. Umar Kayam mengakui bahwa penulisan novel Para Priyayi mengacu pada alasan bahwa ilmu-ilmu sosial tidak mampu lagi menjelaskan banyak hal. Kuntowijoyo (1998) menilai novel Para Priyayi merupakan novel sejarah dengan narasi perubahan dari waktu ke waktu tentang sebuah keluarga, peristiwa, dan mobilitas sosial. Novel ini mereprentasikan jejak-jejak kepriyayian dalam kebudayaan Jawa.
Warisan lain yang memberi kontribusi penting adalah tulisan-tulisan kolom Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat yang lalu terbit sebagai buku dalam empat jilid. Tulisan-tulisan itu sebagai catatan kritis untuk memerkarakan transformasi sosial dan kebudayaan dalam tegangan tradisionalitas dan modernitas. Umar Kayam lihai untuk menuturkan wejangan dan kritik sosial-kebudayan melalui tokoh-tokoh yang lekas akrab pada pembaca.
Goenawan Mohamad (1990) menilai tulisan-tulisan Umar Kayam itu enak dinikmati karena secara spontan dan konsisten memberi kerifan untuk memandang hidup. Materi tema dalam kolom Umar Kayam itu sebagai metafora untuk koeksitensi pelbagai hal yang berbeda-beda tapi masing-maing dapat dikonsumsi dan menjadi bagian dari pernyataan diri zaman ini.
Sapardi Djoko Damono (1994) dengan lugas menilai kolom Umar Kayam itu sebagai glenyengan. Glenyengan adalah cara dalam mengungkapkan nasihat, sindiran, protes, atau usul. Umar Kayam sebagai tukang cerita mahfum dalam model glenyengan itu tanpa harus membuat pihak-pihak tertentu sakit atau disudutkan tanpa ampun. Umar kayam sadar bahwa khasanah Jawa telah menyediakan taktik dalam melempar kritik dan mengajukan usul untuk lkebaikan bersama.
Umar Kayam pun mewariskan buku Seni, Tradisi, dan Masyarakat dan Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya. Umar Kayam getol mengurusi seni tradisi. Hal itu jadi dalil ketika Umar Kayam memberi peringatan: seni sebagai tradisi adalah masalah rakyat. Buku Seni, Tradisi, dan Masyarakat membuktikan ketelatenan Umar Kayam memunculkan optimisme dan pembuatan taktik kultural untuk kehidupan seni tradisional dan seni modern. Umar Kayam pun dengan lincah mendedahkan persoalan-persoalan dan pengajuan solusi dalam teater tradisional, teater modern, film, wayang, novel pop, dan hubungan pariwisata dan kebudayaan.
Buku Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya merupakan tanda dan metafor dari perhatian Umar Kayam terhadap kehidupan kebudayaan etnis di Indonesia. Perjalanan itu mengandung pengertian pengamatan terhadap proses tranformasi kultural yang menimpa sekian kebudayaan etnis dalam kutukan dan berkah atau pesimisme dan optimisme untuk eksis dan tumbuh. Umar Kayam juga mengingatkan bahwa perjalanan itu mengartikan proses penerjemhan kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak dari kebudayaan etnis. Pengertian ini dipahami secara kritis sebab memiliki kemungkinan menjadi hegemonik dengan pertaruhan kebudayaan etnis mungkin lekas musnah atau mengalami reduksi secara substantif.
Umar Kayam itu pokok dan tokoh. Warisan-warisan Umar Kayam memang melimpah untuk jadi bahan refleksi membaca tanda-tanda zaman. Buku-buku Umar Kayam tidak sekadar warisan benda mati tapi referensi untuk mencari jejak dan menentukan proses transformasi sosial dan kultural di Indonesia. Warisan-warisan itu membutuhkan interpretasi dan realisasi. Begitu.
Dimuat di Kedaulatan Rakyat (24 Mei 2oo9)
Minggu, 31 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar