Oleh: Heri Priyatmoko
Kauman. Sebuah nama kampung kuno yang bersebelahan dengan Masjid Agung Surakarta, yang menyimpan kisah sejarah panjang abdi dalem ulama Keraton Kasunanan beserta keuletan perempuan perajin batik.
Matahari mulai melemah. Sinarnya tak lagi kuat menyusup lorong-lorong sempit nan panjang. Jam lima sore warung Mbak Dian di mulut gang masih buka.
”Mau nyoba wedang jahe gulo batu bikinan saya ndak mas?” pemilik warung yang sedikit kemayu itu menawari Bogel yang sedang mesam-mesem membaca SMS masuk.
Pertanyaan Mbak Dian cukup dibalas dengan anggukan. Bogel setuju.
”Ada apa to mas, kok senyum-senyum sendiri?” tanya Mbak Dian sembari ngelap meja yang basah tersiram kuah soto.
”Ada kabar baik, mbak. Pak RW memberitahukan kepada saya rencana Pemkot Surakarta untuk merevitalisasi Kampung Kauman,” jawab Bogel seraya nyemplus lombok, menambah kian nikmat makan tempe bacem-nya.
”Wealah, kalau begitu saya melu seneng. Sapa tahu warung-warung di sini katut laris. Menjadi tempat jujugan sopir taxi, sopir becak, dan pemandu lokal yang mengantar turis maupun pembeli batik,” kata Mbak Dian setengah berharap.
Memang, Pemkot Surakarta sudah membikin design engineering detail (DED) untuk revitalisasi Kampung Kauman. Langkah ini telah sekian lama dinanti warga. Sebetulnya minat masyarakat setempat terlihat dalam memberdayakan wilayahnya, yakni dengan dibentuknya Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman pada 7 April 2006 silam. Mereka sadar bahwa Kauman adalah ”harta karun” yang terkubur oleh kemegahan pertokoan yang mengepungnya. Kauman sangat istimewa dikembangkan sebagai kampung wisata religius dan batik. Lagipula terletak di wilayah komersial perdagangan dan perkantoran sehingga mempunyai kemungkinan perkembangan ekonomi lebih mudah dan cepat.
”Saya dan rekan muda-mudi di sini akan ikut berpartisipasi demi suksesnya program tersebut. Karena itu, ada baiknya pula mbak mulai belajar sedikit-sedikit mengenai sejarah kampung Kauman. Sungguh mungkin besok pengunjung yang mampir ke warung ini bertanya soal asal-usul Kampung Kauman,” Bogel menjelaskan sambil menggeser duduknya untuk menjangkau rempeyek di lodong.
”Kita pun harus tahu toponimi kampung-kampung. Misalkan, Kampung Gerjen. Jaman dulu kampung ini ditinggali abdi dalem yang bekerja sebagai penjahit. Kampung Sememen merupakan tempat tinggal ketib Sememi. Kemudian Kampung Modinan ditinggali para modin,” sela Handri, teman Bogel yang baru saja menghabiskan sepiring sayur lodeh, mulai nimbrung.
Tentunya upaya revitalisasi ini tak mandeg pada konservasi rumah kuno dan pembangunan sarana fisik kawasan saja. Sebisa mungkin revitalisasi juga menyangkut pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar. Beberapa dinas terkait perlu dilibatkan, seperti Dinas Koperasi dan UKM memberi suntikan dana para UKM batik setempat. Dukungan Kantor Penanaman Modal membuka akses untuk permodalan yang lebih besar bagi pengusaha batik. Sementara Disperindag berusaha keras dalam aspek pemasaran batik. Lalu, bagian promosi wisata Kampung Kauman menjadi tugas Disbudpar.
”Jika jalinan kerja sama yang bersifat sinergis antara dinas terkait dan masyarakat sekitar, tidak mustahil kegiatan revitalisasi ini berdampak pada lestarinya bangunan dan meningkatnya aktivitas ekonomi sehingga memberi insentif kepada warga,” imbuh Handri seraya mengupas pisang untuk pencuci mulut.
”Mbak, saya pergi dulu. Sudah ditunggu Pak RW di kalurahan untuk membuatkan jadwal training bahasa Inggris para pemandu lokal,” Bogel pamit, dan di meja tertinggal uang kertas biru bergambar I Ngusti Ngurah Rai.
”Mas, ini pengembaliannya,” kata Mbak Dian menoleh, namun Bogel sudah ngacir duluan dan berteriak, ”ambil saja pengembaliannya”.
(Dimuat di Suara Merdeka, 16 Mei 2009)
Minggu, 31 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar