Bandung Mawardi
Kumpulan pertanyaan: Apa sastra Jawa? Apa sastra berbahasa Jawa? Apa sastra Jawa dengan aksara Jawa? Apa sastra Jawa dengan aksara Latin? Apa sastra Jawa dengan bahasa Indonesia? Kumpulan pertanyaan pelik itu susah menemukan jawaban jika sekadar masuk melalui pintu tunggal. Jawaban mesti masuk melalui sekian pintu untuk pengajuan argumentasi yang mengandung persamaan, kemiripan, atau pertentangan. Ketegangan mencari dan menemukan jawaban adalah konsekuensi dari ikhtiar mengurusi “Jawa” dalam cakupan aksara, bahasa, sastra, kultural, tradisi, modernitas, atau lokalitas.
Pemunculan definisi tentang sastra Jawa secara paripurna tentu jadi tanda titik yang susah dirayakan oleh publik. Proses kelahiran dan pertumbuhan sastra Jawa mengandung pertanyaan dan jawaban yang rentan mengalami penerimaan utuh atau bantahan. Penerimaan terjadi dengan jalan sebaran dan pewarisan yang terbentuk dengan konvensi-konvensi mengacu pada sumber yang dipercayai atau dibakukan. Bantahan adalah kritik yang menginginkan ada proses perubahan tanpa harus melakukan penolakan mutlak untuk mematikan atau menghilangkan.
Lembaran-lembaran lama dalam kesusastraan Jawa memiliki catatan-catatan tentang kehidupan sastra Jawa dengan aksara Jawa. Para pujangga dengan tekun dan khusuk menganggit sastra dalam pelbagai bentuk: babad, kakawin, atau suluk. Teks-teks sastra itu memiliki kedudukan dalam situasi zaman yang memungkinkan terjadi resepsi dari publik terhadap kerja kultural para pujangga. Aksara Jawa jadi pilihan untuk memberi bentuk dan ruh dalam penulisan sastra. Aksara Jawa adalah tanda dari proses kehidupan sastra Jawa dengan pertaruhan imajinasi, pemikiran, dan ekspresi yang sadar zaman.
Pewarisan sastra Jawa dengan aksara Jawa terus mendapati godaan dari alur zaman yang membuat Jawa sebagai ruang terbuka untuk sebaran pengaruh dari India, Cina, Arab, dan Barat. Pengaruh-pengaruh itu muncul dalam proses kelahiran atau pertumbuhan sastra Jawa. Peradaban India paling kentara menjadi prolog dari sastra Jawa yang menerima pengaruh mulai dari aksara sampai cerita. Peradaban Arab dan Cina pun memberi godaan untuk penentuan nasib sastra Jawa dalam pilihan bentuk dan cara pengisahan. Kehadiran peradaban Barat jadi kunci atas perubahan-perubahan besar yang tampak sistematis dan sadar pada pembakuan untuk menentukan nasib sastra Jawa.
Catatan sejarah sastra Jawa mengalami perubahan mengejutkan pada awal abad XX dengan pola interaksi dan ketegangan. Sastra Jawa menemukan godaan untuk melakukan peralihan dari pilihan aksara Jawa ke aksara latin yang diusung dan “dipaksakan” oleh kolonial atas nama peradaban Barat yang modern. Godaan itu diimbuhi dengan pengaruh-pengaruh dari penerjemahan teks-teks sastra dari Barat ke dalam bahasa Jawa dengan aksara Latin. Hasil sastra dari pengarang Cina keturunan pun memberi pengaruh atas perayaan bahasa Melayu (pasar) dengan aksara Latin. Godaan semakin kentara dengan model penerbitan buku, pers, dan selebaran yang memakai aksara Latin untuk bahasa Belanda, Melayu, atau Jawa.
Lakon godaan untuk sastra Jawa itu jadi tanda seru untuk definisi yang tidak paripurna dan fakta atas kodra perubahan. Kolonial dan kalangan intelektual-pujangga pribumi sadar bahwa modernitas dan pembaratan jadi pilihan tanpa tawaran untuk penolakan mutlak. Sastra Jawa pada masa itu jadi studi yang diurusi oleh para pakar dari Belanda dan pakar-pakar dari Jawa sendiri dengan desain perubahan. Perubahan secara sistematis atas sastra Jawa dengan aksara Latin dan penerimaan genre sastra modern dari Barat terjadi karena ada faktor-faktor yang ampuh. Pendirian dan opersionalisasi institusi kultural, penerbitan, sekolah, dan pers oleh kolonial dan kaum pribumi menjadi penentu atas perubahan lakon sastra Jawa.
Sejak itu sastra Jawa memakai aksara Latin dan perlahan meninggalkan aksara Jawa. Balai Pustaka dan penerbitan-penerbitan swasta dengan gairah menerbitakn edisi sastra Jawa dengan aksara Latin dan memberi porsi kecil untuk edisi dalam aksara Jawa. Lakon sastra Jawa lalu dengan genit menerima dan meniru bentuk-bentuk sastra modern yang diolah dalam aksara Jawa Latin. Perayaan sastra Jawa modern mulai dilakukan dengan percampuran optimisme dan pesimisme ketika desain kolonial dan otoritas para pakar bahasa dan sastra Jawa jadi penentu arah yang susah diimbangi.
Sapardi Djoko Damono (2001) menjelaskan aksara Latin itu dari Barat. Penerimaan membuat sastra Jawa mesti juga menerima pengaruh terhadap kiblat Barat. Pengarang Jawa mulai meninggalkan bentuk babad, kakawin, atau suluk lalu memilih menulis puisi, cerpen, atau novel. Proses ini jadi fakta sastra Jawa modern yang memiliki pola pewarisan dan sambungan-sambungan konvensi sampai hari ini. Pertumbuhan sastra Jawa modern ini tentu membuat definisi sastra Jawa mengalami perubahan dari definisi masa lalu. Sastra Jawa modern lalu jadi tanya yang mesti mendapati jawaban tak usai. Publik yang percaya bahwa definisi itu tak mungkin berubah lagi jadi tanda bahwa sastra Jawa mandeg.
Pengarang sastra Jawa modern gairah dan suntuk melakukan eksplorasi dalam bentuk-bentuk sastra modern dengan pengakuan bahwa itu sastra Jawa. Legitimasi itu memakai argumen bahwa sastra Jawa tentu memakai bahasa Jawa. Kunci dari sastra Jawa adalah bahasa Jawa dengan aksara Latin? Sastra Jawa adalah puisi, cerpen, dan novel? Sastra Jawa adalah sastra dengan kisah detektif, horor, dan panglipur wuyung? Bahasa Jawa adalah takdir atau fakta absolut untuk sastra Jawa modern?
Pertumbuhan sastra Jawa modern sejak 1920-an mengalami persaingan dengan sastra Indonesia modern. Persaingan itu menimbulkan efek positif dan negatif untuk menentukan nasib sastra Jawa dalam bayang-bayang kuasa kolonial dan penerimaan publik pembaca. Gambaran tentang nasib sastra Jawa itu terus mengalami pertumbuhan pasang surut dalam penerapan politik kebudayaan oleh kolonial dan pemerintahan Republik Indonesia yang kurang memberi pemihakan terhadap bahasa dan sastra Jawa.
George Quinn (1995) dalam buku The Novel in Javanese atau Novel Berbahasa Jawa secara eksplisit tidak lekas mengatakan itu sebagai studi sastra Jawa. Studi ini dengan gambalang memberi gambaran historis dan nasib sastra Jawa modern. Quinn menemukan ada ambivalensi dalam proses pertumbuhan novel dengan bahasa Jawa. Bentuk novel itu jadi representasi yang mungkin dialami juga oleh puisi dan cerpen dalam bahasa Jawa. Novel adalah bentuk sastra Barat. Penulisan novel dalam bahasa Jawa jadi fakta sastra Jawa modern yang terbuka untuk menerima pengaruh asing atau melakukan perubahan.
Ambivalensi tampak pada para pengarang yang memiliki akar Jawa dalam menulis teks sastra. Pengarang-pengarang yang menulis dengan bahasa Jawa dengan klaim normatif menganggap teks sastra yang dihasilkan adalah sastra Jawa. Novel, puisi, atau cerpen yang ditulis terkadang sedikit mengatakan Jawa tapi suntuk dengan kisah-kisah detektif atau panglipur wuyung. Bahasa mungkinkah tetap jadi harga mati untuk sastra Jawa modern? Berapa teks sastra Jawa modern yang sanggup dan intensif mengatakan Jawa? Pemberian harga mati terhadap bahasa Jawa mungkin jadi kontradiksi jika tidak ada ekplorasi atas Jawa yang historis dan Jawa yang memiliki kodrat perubahan.
Pengarang-pengarang dengan akar Jawa yang menulis teks sastra untuk mengatakan Jawa dalam bahasa Indonesia justru memberi bukti untuk kodrat perubahan sastra Jawa modern. Teks-teks sastra itu tidak sekadar sastra dengan unsur lokalitas tapi ancangan untuk klaim “sastra Jawa” yang hadir dalam bentuk dan subtansi. Pilihan memakai bahasa Indonesia adalah pertaruhan untuk komunikasi dan jawaban atas ambivalensi kultural dan bahasa. Wacana tentang teks-teks sastra dengan bahasa Indonesia dari Romo Mangunwijaya, Umar Kayam, Linus Suryadi AG, atau Arswendo Atmowiloto sebagai “sastra Jawa” adalah godaan untuk nasib sastra Jawa modern. Godaan itu ingin menemukan dalil untuk tetap percaya pada definisi paripurna atau membuka kemungkinan untuk perubahan. Lakon perubahan sastra Jawa tentu mengandung risiko dan konsekuensi! Begitu.
Dimuat di Solopos (7 Mei 2oo9)
Kamis, 14 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar