Bandung Mawardi
Museum Radya Pustaka di Solo mengalami petaka dan nestapa. Koleksi buku-buku kuno raib tanpa ada jejak untuk bisa ditemukan dan menaruhnya kembali di rak-rak dalam museum. Berita tentang kehilangan ini memang mengejutkan tapi juga ikut memberi kesan kecut ketika mengingat kasus-kasus kontroversial yang pernah terjadi di Museum Radya Pustaka. Pertanyaan dan curiga tentu membuat kasus ini jadi dilema yang mengundang keprihatinan dan kekhawatiran.
Museum yang didirikan pada 28 Oktober 1890 oleh Adipati Sosroningrat IV ketika masa pemerintahan Pakubuwono IX itu merupakan situs sejarah, sastra, dan budaya tertua di Indonesia. Jejak-jejak historis tentang Jawa didokumentasikan melalui pustaka untuk bisa mendapati apresiasi dari generasi ke generasi. Peran sebagai “sorga pustaka” justru mengalami pengabaian untuk perawatan dan apresiasi. Fakta itu membuat museum terpahamkan sebagai pekuburan untuk pustaka dan ruang historis Jawa yang sepi meski memiliki kisah-kisah monumental.
Museum yang terletak Jalan Slamet Riyadi Solo sejak 1 Januari 1913 itu seperti meratap dan merana. Kasus kehilangan buku adalah kasus kehilangan ruh karena museum itu khas dengan koleksi buku-buku kuno. Kisah museum sebagai lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada masa lalu mulai menjadi lahan untuk tindakan-tindakan ternoda. Pihak pengelola museum belum bisa membuat keterangan komplit mengenai buku-buku kuno yang hilang itu kemungkinan untuk studi atau komiditi menggiurkan oleh para kolektor.
Pihak pengelola justru menduga bahwa buku-buku yang hilang itu kecil kemungkinan untuk diperjual-belikan tapi untuk ngangsu kawruh. Pihak-pihak yang meminjam atau membawa buku-buku kuno itu mungkin ingin melakukan alih bahasa ke Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (Suara Merdeka, 23/4/2009). Dugaan itu agak lumrah tapi mengesankan ada fakta besar yang memprihatinkan. Selama ini pakar-pakar yang tekun mempelajari khazanah literatur Jawa memang orang asing. Ketekunan itu mengalahkan perhatian sarjana-sarjana atau para peneliti dari negeri sendiri.
Pihak pengelola pun menghimbau pada peminjam untuk lekas mengembalikan buku. Himbauan ini jadi indikasi bahwa ada buku-buku yang mungkin dipinjam tapi belum kembali dan belum bisa dipastikan kalau ada pencurian atau penghilangan secara sengaja. Daftar buku-buku kuno yang hilang: Warna-Warni Sinjang (4 jilid), Smaradhana, Kakawin Barathayudha, Bausastra (4 jilid), Primbon Mangka Prajan, Serat Ong Ilaheng, Serat Jayalengkara Purwacarita, Serat Ambiyabahwi, Babad Surakarta, Babad Giyanti Dumugi Prayat, Serat Wiwahajarwa, Buku Gambar Songsong Keraton, Babad Purwa, dan lain-lain. Pengelola mengatakan buku yang hilang sekitar 20-an ketika dilakukan pendataan ulang. Buku-buku kuno itu merupakan dokumentasi tentang sejarah Jawa, sejarah Solo, batik, bahasa, wayang, falsafah kuno, lakon politik, dan spiritualitas.
Kehilangan buku merupakan indikasi kehilangan pengetahuan dan masa lalu. Buku-buku kuno itu sumber pengetahuan yang membuat sejarah memiliki gerak dan manusia memiliki nostalgia-utopia. Kasus ini bakal jadi pelik ketika publik sekadar sibuk mencari pihak yang salah. Pola ini biasa terjadi ketika memberi reaksi terhadap kasus-kasus yang terkait dengan warisan-warisan kultural. Tindakan mencari pihak yang bersalah dan proses hukum memang niscaya tapi ada beban berat yang mesti ditanggungkan. Beban itu adalah ikhtiar untuk merasa memiliki dan menikmati Museum Radya Pustaka sebagai sorga pustaka dan situs sejarah kultural.
Selama ini museum memang tampak sepi dari pengunjung dan apresiasi. Kebutuhan publik untuk membaca dan menikmati koleksi buku kuno di museum memang sedikit. Hal ini merupakan fakta yang membuat museum seperti rumah tua dan buku-buku kuno seperti benda-benda aneh dari masa lalu. Rasa memiliki dan menikmati itu butuh realisasi mulai dari keberadaan komite museum, mitra museum, program diskusi reguler, dan program publikasi jurnal atau buletin secara rutin dan intensif.
Kasus kehilangan buku bisa dijadikan tanda seru dan tanda tanya untuk semua pihak agar memiliki kesadaran terhadap pustaka. Kesadaran publik terhadap pustaka memang terkesan klise tapi susah direalisasikan. Keberadaan Museum Radya Pustaka kentara jadi tanda bahwa Kota Solo memiliki jejak panjang sebagai Kota Pustaka dan Kota Pujangga. Penamaan itu ingin memberi aksentuasi bahwa konstruksi dan alur peradaban memiliki faktor kunci dalam pustaka. Buku-buku yang hilang tentu harus dicari tapi kesadaran pustaka juga mesti lekas dapat perhatian dan dibuktikan.
Ki Padmasusastra dan Ki Ranggawarsito tentu patut jadi sosok-sosok fenomenal terkait dengan Museum Radya Pustaka. Ki Padmasusastra merupakan kepala perpustakaan pertama yang mengurusi koleksi buku di Museum Radya Pustaka ketika masih di Ndalem Kepatihan. Koleksi buku mengenai khazanah Jawa dipelajari dan diwartakan pada publik melalui jurnal terbitan museum (Wara Dharma). Ki Padmasusastra juga tekun menulis tentang bahasa, sastra, dan falsafah. Spirit untuk mengurusi museum tidak selesai dengan membersihkan atau mendata tapi juga menulis sebagai kontribusi untuk peradaban. Spirit ini kentara tak mendapati ahli waris atau penerus dari pengelola-pengelola museum.
Patung Ki Ranggawasito di halaman depan bisa dijadikan bukti ketekunan pengarang untuk membaca dan menulis. Pujangga keraton pada abad XIX ini patut jadi spirit untuk ikhtiar pembentukan masyarakat literasi. Patung itu secara lahiriah memang diam sejak diresmikan oleh Soekarno pada 1953. Pendirian patung itu memang tidak diniatkan sebagai penjaga abadi museum tapi simbol untuk peran Museum Radya Pustaka sebagai pusat dokumentasi pustaka dari para pengarang pada masa lalu.
Buku-buku kuno yang hilang jangan dijadikan alasan untuk sekadar prihatin atau pamer kecaman. Tindakan realistis yang mesti lekas dilakukan adalah melakukan pembenahan model pengelolaan museum dan pembuatan program-program yang konstruktif. Pelbagai pihak yang memiliki kepentingan mesti dilibatkan dalam ikhtiar menyemaikan museum sebagai pusat pengetahuan dan kebudayaan. Museum sebagai ruang diskusi publik merupakan ikhtiar kontributif yang mungkin dilakukan untuk apresiasi dan membuat museum tak seperti kuburan. Diskusi mengenai sejarah, sastra, seni, spiritualitas, dan wacana kebudayaan tentu memberi gairah untuk membuat museum memiliki aura dan terus menghembuskan nafas kehidupan. Museum Radya Pustaka butuh gairah untuk hidup dan bukan gairah untuk mati.
Dimuat di Suara Merdeka (24 April 2oo9)
Kamis, 14 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar