Bandung Mawardi
Kepustakaan Jawa lama merupakan jejak historis penuh misteri dan kontroversi. Kaum intelektual Belanda dan pribumi sejak masa kolonial kerap melakukan studi intensif dan tendensius. Kerja besar dalam membuat salinan atau analisis terhadap kepustakaan Jawa menghasilkan khazanah sejarah Jawa. Membaca pustaka Jawa adalah membaca (sejarah) Jawa. Kepustakaan Jawa mengandung informasi kompleks dan penting dalam ikhtiar merekonstruksi masa lalu. Babad Tanah Jawi menjadi referensi penting dalam ikhtiar menelusuri dan membaca Jawa masa lalu dengan sekian edisi dan versi.
Babad sebagai genre kerap masuk dalam studi sastra dan sejarah. Pemahaman bahasa, struktur tulisan, imajinasi, dan sistem pemaknaan dalam babad menjadi ketentuan label sebagai teks sastra (puisi naratif). Historiografi tradisional cenderung menempatkan babad sebagai referensi sejarah-imajinatif. Babad memiliki sifat religio-magis dan pekat dengan imajinasi. Sifat itu membuat ahli sejarah berada dalam ragu untuk memakai babad sebagai sumber sejarah yang sahih. C.C. Berg dalam buku Penulisan Sejarah Jawa (1974) mengingatkan bahwa Babad Tanah Jawi meiliki tendensi sebagai ekspresi kultural yang tak bisa mutlak dikatakan sumber sejarah atau bacaan sastra-mitos-imajinatif.
Thomas Stamford Raffles dalam The History of Jawa menilai babad mengandung informasi-informasi penting dan cukup akurat untuk studi sejarah Jawa. J.J. Ras (1986) membuat bantahan bahwa babad tak patut menjadi bahan acuan untuk mengungkap masa lalu Jawa sebelum ada komparasi dengan sumber-sumber Eropa. Polemik itu tidak mengganggu akademisi kolonial dan pribumi untuk intensif memberi perhatian atas sekian babad dengan tendensi filologis dan sastra ketimbang pamrih historis.
S. Margana dalam buku Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial (2004) mengungkapkan babad merupakan problematik dalam historiografi modern. Para sejarawan kerap memahami babad sebagai tulisan atau sumber sejarah dalam tendensi subjektif. Para sejarawan yang menolak peran babad sebagai sumber sejarah memiliki argumen bahwa babad rentan dengan bias dalam menggambarkan fakta-fakta sejarah. Babad cenderung menjadi percampuran dari fakta dan mitologi. Para sejarawan yang akomodatif justru menerapkan metode dan metodologi tertentu untuk menjadikan babad sebagai sumber informasi mumpuni ketimbang sumber-sumber kolonial.
Babad Tanah Jawi dalam studi kritis kerap menjadi acuan polemik mengenai kontroversi pengarang dan proses publikasi. Kontroversi terjadi untuk kesahihan penyusun Babad Tanah Jawi. Beberapa pihak mengakui ada Babad Tanah Jawi versi keraton dan versi para peneliti Belanda (Gupermanen). Kontroversi itu dibarengi dengan penerbitan Babad Tanah Jawi dalam pelbagai versi. Masing-masing versi beda penyusun dan beda dalam muatan kisah secara kuantitaif dan kualitatif.
J.J. Meinsma (18774) dalam edisi Serat Babad tanah Djawi wiwit sangking Nabi Adam dumugi ing Taun 1674 menunjukkan bahwa informasi mengenai pengarang (Carik Bajra) tertutupi oleh informasi politik dalam sejarah Jawa. Hoesein Djajadiningrat (1983) memberi informasi bahwa ada sekian tambahan teks dalam redaksi dan penggubahan oleh Carik Bajra. Babad Tanah Jawi menjadi akumulasi dari sekian babad tua dengan muatan sejarah Jawa sampai pada masa pemerintahan Amangkurat IV (1719-1726).
Publikasi Babad Tanah Jawi muncul dalam pelbagai edisi dan versi. Raden Panji Joyosubroto pada tahun 1917 mengeluarkan Babad Tanah Jawi dengan aksara Jawa dalam 4 jilid. Balai Pustaka mengeluarkan edisi Babad Tanah Jawi susunan R. Ng. Yasadipura dengan aksara Jawa dalam 31 jilid selama 1934-1941. W.L. Olthof mengeluarkan edisi Babad Tanah Jawi saking Nabi Adam doemoegi ing Taoen 1647 di Leiden (Belanda) pada tahun 1936. Edisi Olthof ini hadir dalam terjemahan bahasa Indonesia dengan judul Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1947 pada tahun 2007. Penerbitan Babad Tanah Jawi dalam versi ringkas dilakukan oleh Sugiarta Sriwibawa dengan judul Babad Tanah Jawa dalam 2 jilid (1976 dan 1977) memakai bahasa Jawa.
Ikhtiar ambisius untuk penerbitan dalam edisi bahasa Indonesia dilakukan oleh tim penerjemah dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (Amir Rochkyatmo, Sri Soekesi, Adiwinamarta, Sri Timur Suratman, Parwatri Wahjono) dengan prakarsa Siti Joya Fatmi Gunaevi dan sponsor dari Amanah Lontar. Tim itu mengeluarkan edisi Babad Tanah Jawi: Mitologi, Legenda, Folklor, dan Kisah Raja-Raja Jawa (2004) dalam 6 jilid tebal setebal lebih dari 1500 halaman. Seri terbitan itu memakai bentuk prosa untuk membuat terobosan pada publik pembaca biar tidak kerepotan dalam membaca dan memahami. Peran Sapardi Djoko Damono sebagai editor membuat hasil terjemahan itu memiliki tingkat keterbacaan dan mutu literer.
Ide untuk penerbitan Babad Tanah Jawi itu berasal dari Siti Joya Fatmi Gunaevy Djajasasmita yang menginginkan ada terjemahan atas 31 jilid Babad Tanah Jawi susunan R. Ng. Yasadipura. Ide itu direalisasikan dengan mengundang tim penerjemah untuk mengusahakan Babad Tanah Jawi dari bentuk puisi (berbahasa Jawa) menjadi bentuk prosa dalam bahasa Indonesia. Proyek besar itu menunjukkan dedikasi atas kepustakaan Jawa untuk publik Indonesia.
Babad Tanah Jawi merupakan jejak besar dalam membaca (sejarah) Jawa. Kehadiran Babad Tanah Jawi dalam pelbagai edisi dan versi memberi pilihan subjektif-objektif pada pembaca ketika memiliki minat untuk membaca Jawa dalam tendensi filologi, sastra, dan sejarah. Rujukan koleksi Babad Tanah Jawi ada di Keraton Surakarta, Museum Sana Budaya (Yogyakarta), Perpustakaan Nasional RI, Universitas Leiden (Belanda), dan Fakultas Ilmu-Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bacalah Babad Tanah Jawi agar tak kehilangan jejak dongeng dan sejarah Jawa!
Dimuat di Suara Merdeka (17 Mei 2oo9)
Selasa, 19 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar