Senin, 23 Februari 2009

Menulis dan Konsekuensi

Bandung Mawardi

Kabut Institut (Pusat Studi Sastra, Filsafat, Agama, dan Kebudayaan) didirikan pada 18 Januari 2006. Komunitas ini mengimani dan mengamini kerja kultural dengan membaca, menulis, dan diskusi. Kerja awal dilakoni dengan kegandrungan melakukan pembacaan dan penilaian atas sekian esai, puisi, novel, buku, atau risalah untuk mengolah kompetensi intelektual.
Kabut Institut membuat aksentuasi dalam jagat menulis dengan pelbagai risiko. Pilihan tema dan bentuk tulisan menjadi perayaan pluralistik. Proses menulis kerap diawali dengan pertemuan atau komunikasi melalui sms dan email untuk memerkarakan hal-hal tertentu. Komunikasi dan interaksi itu memungkinkan tiap orang memiliki perspektif beda dan kritis. Perbedaan itu justru jadi pembuka jalan untuk menulis dengan gairah kompetitif. Penguatan dilakukan dengan menulis esai pendek atau panjang untuk dipresentasikan bersama.
Laku menggemaskan kerap terjadi ketika 5 orang penulis di Kabut Institut saling melakukan kritik. Pola sugestif ini menciptakan gairah untuk melakukan apologi atau sadar diri dengan mengangankan dan merealisasikan tulisan dalam parameter lebih tinggi. Kegairahan pun tercipta dengan saling memberikan julukan sebagai konsekuensi ketekunan menulis atau frekuensi publikasi tulisan di media.
Heri Priyatmoko menerima julukan sebagai “ksatria koran” karena tulisan sering dimuat di koran. Haris Firdaus merasa naif dengan julukan “juragan tulisan” karena rajin menulis untuk blog. Bandung Mawardi pasrah dengan julukan “resi di atas angin” karena membuat tulisan dengan bahasa kaku dan wagu. Ridho al Qodri dijuluki “sufi esai” karena membuat perhitungan matang dalam menulis esai meski lambat. Yunanto Sutyastomo mendapat julukan “priyayi artikelis” karena menulis dengan spirit kepriyayian.
Menulis memiliki makna sebagai realisasi dan representasi untuk membaca dan menilai pelbagai hal. Risiko dari menulis memang kerap memberi pilihan-pilihan manis dan sinis. Menulis kadang membuat dunia jadi terang dan gelap. Kondisi itu ditentukan oleh tanggapan dan bentuk apresiasi ketika tulisan termuat di koran atau majalah. Tulisan jadi pertaruhan harga diri dan kompetensi penulis.
Kabut Institut melakukan kerja kultural besar dengan membuat acara Workshop Penulisan Kritik, Esai, dan Jurnalisme Sastra (2008) di Solo. Acara itu jadi bukti untuk silahturahmi dalam olah dan ulah menulis. Menulis menjadi spirit dan konsekuensi untuk manusia sadar diri dan membebaskan diri dari kedunguan. Silahturahmi penulis itu membuat gairah menulis menemukan dalil dan risiko.
Komitmen untuk misi pembelajaran menulis dilakukan Kabut Institut dengan program Pengajian Kalimat. Program ini merupakan ikhtiar dalam pembelajaran menulis selama 5 kali pertemuan dengan kurikulum ambang batas. Pengajian Kalimat dilaksanakan di Kartasura (Sukoharjo) selama bulan Februari 2009 dengan 9 peserta. Belajar menulis bersama itu jadi konsekuensi dan kompensasi Kabut Institut untuk merealisasikan angan masyarakat literasi. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (14 Februari 2oo9)

Tidak ada komentar: