Minggu, 22 Februari 2009

Indis

Heri Priyatmoko

Selepas seminar Dialog Publik Benteng Vastenburg di Bale Tawangarum kemarin, Mas Bogel tidak langsung balik ke rumah. Ia mampir ke warung langganannya di Gajahan. “Janur gunung, Mas. Kemana saja kok lama tidak nampak batang hidungnya?” sapa Mbak Estik, pemilik warung, sedikit bercanda.
“Sebulan di Arsip Nasional Jakarta mencari dokumen sejarah Benteng Vastenburg,” jawab enteng Mas Bogel.
Tanpa diminta, Mbak Estik segera membikinkan es jeruk kesukaan tamunya ini. “Apa sih peran Benteng Vastenburg di masa lalu, yang sampai detik ini terus diperdebatkan?” tanya Mbak Estik.
“Melihat dengan mata fisik, bangunan di depan kantor pos itu memang tinggal seongak tembok. Namun membaca dengan mata budi, tahukah kita, benteng ini penuh riwayat sejarah. Bangunan tersebut selain untuk pertahanan militer Belanda, juga sebagai civic center. Dari hasil kajian morfologi perkotaan, kalau tidak ada Benteng Vastenburg tidak mungkin Solo tumbuh sebagai kota,” tegas Mas Bogel.
Bukti simbol perkotaan masih ada di sekitar benteng. Seperti Gereja St. Antonius, Javasche Bank (BI), kantor pos, kantor residen (sekarang Balaikota), dan pemukiman Indis-Eropa Loji Wetan.
“Mas, berarti di Solo tempo doeloe pernah hadir kebudayaan Indis, dong?” sela Reni, adik Mbak Estik, yang sejak tadi nguping dan tertarik dengan pembicaraan ringan ini.
“Betul, Ren. Yang dimaksud kebudayaan Indis atau Indo ialah hasil akulturasi antara budaya Barat dengan budaya yang telah ada di tingkat lokal. Percampuran ini meski dipaksakan penguasa Eropa, namun lambat-laun terserap jua,” terang Mas Bogel seraya tangannya mencomot martabak.
Toewan-toewan kulit putih datang ke Hindia Belanda dilarang membawa istri. Maka untuk membereskan urusan dapur, mereka mempunyai koki, lazim disebut nyai. Tidaklah heran bila kehidupan bersama (samenleving) ini membuahkan anak yang disebut Indo. Gaya hidup Indo seperti orang Eropa pada umumnya. Yang wanita tidak memakai jarik dan pria memakai kemeja, bersepatu dan menganut monogami. Dimana tingkah laku mereka menyerupai orang Eropa, kian tinggi pula derajatnya.
“Lha bagaimana gerak sejarah orang-orang Indo ini selanjutnya, Mas?” tanya Mbak Estik karena tak pernah mendengar tema kebudayaan Indis di Solo diangkat dalam forum diskusi.
“Saat Jepang kalah dalam PD II, terjadi chaos atau situasi yang disebut periode bersiap. Suatu keadaan dimana rakyat melawan Belanda untuk mempertahankan orok Indonesia. Bersamaan itu pula, banyak orang Eropa dan Indo yang memutuskan kembali ke negara asalnya (repatriasi). Setelah Belanda mengakui kemerdekaan RI tahun 1949, orang Indo yang masih di Indonesia memilih untuk kembali ke Belanda. Sebagian lagi menyebar ke Papua New Guinea, Amerika Serikat dan Kanada,” Mas Bogel panjang lebar.
“Setelah terusir dari Bumi Pertiwi, bagaimana orang-orang Belanda ini menilai Kota Solo?” Reni kembali sodorkan pertanyaan.
“Mantan Residen Solo, M.B van der Jagt dalam Memoires menulis, orang-orang Belanda tidak bisa menahan kerinduan akan “surga yang hilang”. Mereka menyolek Solo sebagaimana kota-kota lainnya menjadi kota yang cantik. Bahkan lebih cantik dari pada tanah airnya sendiri,” jawab Mas Bogel.
Mbak Estik segera mengaitkan kondisi Solo sekarang. Dalam benak Mbak Estik, apa yang dilakukan Pak Jokowi suatu tindakan yang jempol, memoles Solo dengan semangat Solo’s past is Solo’s future. Turis kian tertarik karena Solo tempat nostalgia yang susah dilupakan. Mungkin generasi sekarang keturunan keempat dan kelima dari kelompok Indis yang pertama. Tapi, tradisi orang Eropa yang perlu kita sadari yaitu mereka gemar melacak jejak dan merenda masa lalu leluhurnya ketika di Indonesia. Artinya, ini peluang pariwisata Solo tempo doeloe.

Dimuat Suara Merdeka 21 Februari 2009

Tidak ada komentar: