Rabu, 04 Februari 2009

Afrizal Malna: Bahasa adalah Hantu yang Mengancam

Bandung Mawardi

Bahasa adalah hantu untuk memberi ancaman hidup dan mati atas kelahiran puisi. Afrizal terus mengurusi bahasa sebagai dalil dan risiko. Eksplorasi dan eksplanasi tentang bahasa bertebaran dalam tubuh puisi.. Afrizal dalam puisi-puisi lama tampak mengimani dan mengamini bahasa melawan rezim. Puisi-puisi lama Afrizal kerap mengandung “dendam di setiap akhir kalimat”. Dendam itu perlahan menyusut dalam puisi-puisi mutakhir. Penyusutan dendam itu tak merampungkan kritik Afrizal atas rezim bahasa. Bacalah petikan puisi soda susu dan bahasa indonesia buat radhar sebagai sambungan maklumat bahasa dengan pengenduran dan kegamblangan: bahasa Indonesia seperti rumah sakit / yang meninggalkanmu seorang diri / dengan soda susu di sebuah makan / malam. Dendam bahasa mengantarkan sepi, alienasi, dan resistensi.
Bahasa Indonesia memang mengandung hasrat hidup dan hasrat mati. Afrizal Malna sejak awal hidup dan tumbuh dalam bahasa Indonesia dengan sekian tanda tanya dan tanda seru. Bahasa Indonesia untuk puisi adalah menciptakan kehidupan dan kematian di antara kamar mandi dan peti mati. Afrizal mahfum bahwa melahirkan puisi dengan bahasa Indonesia seperti melahirkan perih dan tawa kecil. Bacalah petikan puisi rendra diares ini: lubang bahasa mengucapkan perih atas rezim bahasa: aku besar dalam bahasa indonesia yang dijaga oleh tentara, / bebek-bebek yang setiap lehernya / menyimpan sebutir peluru. Lalu kata-/ kata terasa pahit memasuki / kalimat, untuk melihat keadaan di / sekelilingku. Masa lalu itu terus mengiringi usia lelaki gundul dan tubuh tua untuk melahirkan puisi lalu tumbuh menyapa siapa saja.
Puisi adalah alasan migrasi dari kota ke kota tanpa henti. Istirahat di sebuah kota selalu menjadi resah untuk pindah tanpa melupakan jejak. Puisi pun jadi alasan untuk migrasi estetika dengan bahasa. Puisi hidup dan mati karena bahasa. Afrizal melakoni migrasi untuk puisi sebelum kota jadi mati dan bahasa jadi basi. Penemuan dan kehilangan memberi tanda tanya dan tanda seru untuk masih mengimani dan mengamini puisi. Afrizal dalam puisi pindah ke kota lain dengan satire mengisahkan kesibukan penyair melahirkan puisi: kami sibuk / mencari kota. tempat puisi bisa mem- / bangun atap bahasa. Kalimat ini mengisyaratkan hasrat penyair hidup dalam otoritas bahasa.
Penyair dan puisi adalah perkara genting dalam laku Afrizal ketika awal menulis puisi dan repot mengalami gundah dan kemalasan menulis puisi. Afrizal selalu tak selesai untuk memberi tanya dan merumuskan jawaban atas puisi. Afrizal mengurusi puisi sebagai ambang batas peti mati dan takdir kehidupan karena bahasa. Bahasa ingin direalisasikan sebagai nasib.
Nostalgia dan gairah untuk menulis selalu rentan dengan lelah dan sekarat. Afrizal pun dengan lugas sejak lima tahun lalu mengatakan lelah mengurusi sastra. Afrizal pun merasa lelah untuk mengurusi puisi dalam periode tertentu. Bahasa dalam puisi Indonesia mutakhir kerap mengandung obat tidur. Afrizal tak ingin tidur nyenyak tanpa pertaruhan dan janji atas kenikmatan tanpa akhir. Lelah dan sekarat dialami Afrizal. Pengganti untuk penolakan tidur adalah sibuk memasuki tari dengan segala risiko. Afrizal pun pernah dengan kalem mengaku: “Aku penari. Aku bukan penyair.” Pengakuan itu mengejutkan dan kecut.
Kesanggupan memasuki kembali puisi membuat Afrizal harus membuat rumusan lain sebagai lanjutan atau jalan lain dari jalan lama. Afrizal pun sanggup melahirkan kitab puisi Teman-temanku dari Atap Bahasa. Puisi-puisi dalam kitab itu merepresentasikan belokan gairah, pengulangan, dan kebingungan. Bacalah dan pilahlah puisi-puisi Afrizal dalam kitab itu dengan penentuan kriteria. Puisi-puisi Afrizal dalam curiga penulis telah mengalami lompatan jauh menuju tepi lirik.
Afrizal kentara mengusung getir dari kamar tidur atau buku harian seorang lelaki pemurung. Simaklah petikan puisi taman bahasa ini: aku sedang / bersedih, karena tidak bisa menulis pu- / isi. hanafi bilang para penyair takut / mengosongkan kamarnya sendiri dari / sampah bahasa .... kini aku tak menulis puisi lagi. dan / tak tahu lagi caranya bersedih ... Konstruksi bahasa Afrizal lahir dari detik-detik sekarat di ruang istirahat. Bahasa jadi perkara genting dalam puisi dengan bahasa getir.
Jejak langkah panjang si kepala gundul dan tubuh kurus sampai pada babak mengejutkan ketika majalah Tempo memilih Afrizal Malna sebagai Tokoh Seni (Puisi) untuk tahun 2oo8. Pilihan itu menggenapi sekian penobatan untuk Afrizal sebagai penyair mumpuni di Indonesia. Penyair mumpuni di ruang kecil tanpa keramaian. Penulis membaca lembaran di majalah itu dengan takjub dan mengajukan tanya lirih: “Mengapa puisi-puisi Afrizal masih belum mati?”
Tim penerima mandat dari Tempo (Sapardi Djoko Damono, Sitok Srengenge, A.S. Laksana, dan Adi Wicaksono) mengajukan argumen bahwa “puisi-puisi Afrizal memberikan sugesti dunia sehari-hari yang tidak lazim.” Penjelasan lanjutan adalah puisi-puisi Afrizal menegaskan: “puisi pertama kali datang untuk dinikmati, bukan berpretensi untuk dimengerti. Puisi-puisinya menangguhkan konklusi. Ia tak membebaskan kata dari makna, tapi membenamkan makna baru pada kata.” Apakah legitimasi atas puisi-puisi Afrizal Malna itu memang menandakan nasib puisi Indonesia modern tidak selesai dalam perayaan puisi lirik? Puisi-puisi Afrizal Malna belum sekarat?


Dimuat di Suara Merdeka (25 Januari 2oo8)

1 komentar:

D3V1L mengatakan...

mas bandung kulo suka kalian esai njenengan tentang afrizal, tapi kok selalu dominan pada puisi ya, mbok kali-kali dikhususke pada cerpen ato prosana, menarik juga lo, ya,,ya,,ya,,