Heri Priyatmoko
Membayangkan duduk menggelar tikar di bawah pohon rindang sembari melihat bunga teratai di kolam adalah sesuatu yang menyenangkan.
Sambil merasakan tusukan angin sepoi-sepoi segar di kulit ari, mendengar suara cicit burung dan melihat keceriaan anak-anak bersampan ria, seolah menjadi sebuah kenikmatan tiada tara. Suasana seperti itu bisa ditemukan di Solo utara, tapi tempo doeloe.
Kota Solo yang sebentar lagi menginjak usai ke 264 tahun, ternyata banyak meninggalkan kisah indah bagi wong Solo. Dalam tulisan ini, saya akan mengulas sejarah taman kota di Kampung Lor (Mangkunegaran) yang tak kalah indahnya dengan Kebon Raja (Taman Sriwedari) di Kampung Kidul (Kasunanan). Ruang publik yang hilang dan kini hanya bisa ditemukan dalam memori kolektif masyarakat, yaitu Taman Tirtonadi dan Minapadi.
Keraton Mangkunegaran mencapai zaman keemasan ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh Mangkunagoro (MN) VII (1916-1944). Bermodal setumpuk uang kas praja, MN VII yang berotak brilian dan lulusan Leiden, Belanda itu, ingin menyolek daerah kekuasaannya menjadi cantik dengan memakai konsep garden city Negeri Kincir Angin.
Pada riwayatnya, pembuatan Taman Tirtonadi sebetulnya tindak lanjut dari usaha MN VII bersama Belanda untuk mengatasi banjir tahunan yang acap melumat Kota Solo.
Maka dibuatlah Kali Anyar atau banjir kanal yang diarahkan ke timur menuju ke Bengawan Solo. Juga dibangun tanggul dari utara Balekambang hingga Kandang Sapi. Guna memanfaatkan air Kali Pepe yang mengalir melalui pintu air Kali Anyar dan sekaligus memoles pemandangan, dibikin kolam kecil dan dihiasi bunga teratai. Kemudian kolam itu diberi nama Tirtonadi atau oleh MN disebut Partinah Park, yang diadopsi dari nama salah satu puterinya.
Dikisahkan oleh Soeyadi (1983), saban sore, taman ini dipenuhi anak-anak kecil dan pelajar yang bermain naik ombak banyu, timbangan dan bandhulan. Sementara muda-mudi memadu kasih di taman pada malam hari dengan menikmati keindahan bulan dan suara jangkrik. Novel sejarah Solo Di Waktu Malam karangan Kamadjaja (1950) merekam bagaimana warga Solo benar-benar termanjakan oleh keberadaan ruang publik ini. Penduduk sekitar pun dapat mengais rezeki dengan berjualan bermacam-macam makanan dan minuman di dalam taman. Interaksi sosial terjadi dan kapital sosial tumbuh di sini. Dampaknya, hubungan sosial dan kerukunan masyarakat terjaga.
Tak berselang kemudian, MN VII membuat telaga kecil untuk memancing ikan dan bersampan. Telaga itu diberi nama Minapadi. Taman kian menarik karena dibangun jembatan penghubung antara Tirtonadi dan Minapadi yang disebut kreteg senggol, lantaran jaraknya sempit sehingga orang yang berpapasan pasti bersenggolan.
Keindahan serta kesejukan suasana di taman itu mengilhami Gesang mengangkat nama Tirtonadi dalam sebuah lagu. Satu petikan bait lagu itu, Tirtonadi yang permai, di tepi sungai mengumandangkan sampai di negara Jepang. Pasalnya, ketika itu ”saudara tua” Jepang menjajah Indonesia. Saat revolusi kemerdekaan, kedua taman itu akhirnya minim perhatian.
Setelah era kemerdekaan, keberadaan ruang publik itu malah semakin tenggelam. Perebutan ruang terjadi. Wilayah ini berkembang menjadi pusat aktivitas transportasi berupa terminal bus dan nama Tirtonadi diabadikan menjadi nama terminal kelas A. dengan adanya terminal, kondisi taman semakin tidak karuan dan kumuh. Adanya tempat pencucian mobil, tambal ban, dan orang jualan kijing menambahkan kesumpekan.
17 Februari adalah ulang tahun kelahiran Kota Bengawan. Berawal dengan merenda masa lalu, kita kembali ke kondisi sekarang. Solo sebagai kota modern di mana terdapat banyak orang hidup di dalamnya tentu sarat masalah yang kompleks. Kini, Walikota Joko Widodo bekerja keras tak ubahnya seperti MN VII yang berusaha menata kota. Beliau mengembalikan fungsi ruang publik dan tamanisasi di sepanjang bantaran sungai dengan pendekatan hati bukan dengan tangan besi.
Kerja ini semestinya kita hargai. Penghargaan itu diwujudkan dengan kebersamaan kita untuk turut serta memelihara taman kota, bukan justru merusak, menyerobot tanah, dan mencorat-coret (vandalisme). Tanpa cinta, semuanya akan sia-sia. Umur kota kian menua, kita harus mendukung program Pemkot dalam membumikan semangat Solo’s past is Solo’s Future.
Dimuat di Solopos, 3 Februari 2009
Minggu, 08 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar